Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
Pagi itu ruang rapat yayasan dipenuhi ketegangan. Di meja panjang, para auditor independen sudah duduk dengan laptop terbuka. Kepala keuangan, kepala IT, beberapa staf, dan Bagas hadir. Amara masuk terakhir, membawa binder tebal berisi catatan manual dan bukti foto.
“Baik,” ucap auditor perempuan yang memimpin, “hari ini kami akan membacakan temuan awal. Semua pihak diharap mendengar sampai selesai sebelum memberi tanggapan.”
Suasana hening. Hanya suara mesin pendingin ruangan yang terdengar.
Auditor pria pertama berdiri. “Kami menelusuri transaksi fiktif sebesar belasan juta yang tercatat atas nama Ibu Amara. Hasil forensik menunjukkan transaksi dilakukan pada pukul 01:13 dini hari. Login memakai akun Amara, tetapi dari perangkat ADM-07 di koridor utara.”
Kepala IT menambahkan, “Mesin ADM-07 adalah komputer cadangan yang seharusnya terkunci. Pemilik resminya cuti hari itu. Jadi jelas ada orang lain yang menggunakannya.”
Auditor kedua membuka layar, menampilkan tangkapan CCTV. Sosok berjaket hitam tampak lewat koridor. Tudung menutupi kepala, tetapi cahaya lampu menyorot pergelangan tangan: gelang mutiara berkilat, kuku dicat merah.
Amara merasakan jantungnya berdegup cepat. Itu ciri yang ia dengar sebelumnya—ciri yang sama dengan asisten Meylani, Risa.
Auditor perempuan menutup laporan. “Kesimpulan awal: akun Amara dipakai secara ilegal. Kami menduga ada akses internal yang sengaja dipinjamkan atau dicuri. Audit lanjutan akan menelusuri siapa pemberi perintah.”
Kerabat keluarga yang hadir mulai berbisik-bisik. Salah satunya berkata, “Jadi Amara tidak bersalah?”
Auditor menegaskan, “Berdasarkan bukti digital, tidak ada indikasi Ibu Amara sendiri melakukan transaksi.”
Bagas menatap seisi ruangan. Suaranya dingin namun jelas, “Siapa pun yang mencoba menjebak istri saya sudah gagal. Kita akan tindak sesuai hukum internal dan, bila perlu, jalur pidana.”
Meylani yang duduk di ujung meja tersenyum tipis. “Jangan terburu-buru menyimpulkan. Bisa saja Risa bertindak atas kemauannya sendiri.”
Amara menoleh, menatap lurus. “Risa hanya pion. Semua tahu ada dalang di baliknya. Dan saya akan pastikan dalang itu terbuka ke permukaan.”
Ruangan terdiam.
Setelah rapat, Bagas mendekati Amara di lorong. “Kau berani bicara langsung di depan keluarga. Itu langkah besar.”
Amara menatapnya. “Aku tidak bisa lagi hanya diam, Bagas. Kalau aku diam, mereka akan terus menindas. Lebih baik aku melawan dengan bukti.”
Bagas mengangguk. “Itu yang membuatmu berbeda. Dan itu sebabnya aku mulai percaya, kau bisa berdiri sejajar, bukan di bawah bayangan siapa pun.”
Ada jeda singkat yang membuat dada Amara bergetar. Untuk pertama kali, ia merasa benar-benar dilihat oleh Bagas, bukan sekadar ditoleransi.
Malam itu, Amara kembali ke kamarnya. Ia membuka buku catatan, menulis baris baru:
“Hari ini angka-angka berbicara. Fitnah runtuh, kebenaran bertahan. Aku tahu mereka belum berhenti, tapi aku juga tahu, aku bisa berdiri.”
Ia menutup buku itu dengan senyum tipis. Dari luar, suara hujan turun pelan. Tapi di dalam dirinya, Amara merasakan sesuatu yang lebih hangat: keyakinan bahwa ia kini bukan sekadar korban pernikahan paksa, melainkan seorang pejuang yang mulai menguasai panggungnya sendiri.
Setelah rapat audit berakhir, suasana rumah besar Atmadja tak kalah tegang. Para kerabat masih berbisik di ruang tamu, sebagian menatap Amara seakan menimbang-nimbang kebenaran.
Selvia yang sejak tadi diam akhirnya meledak. “Kau beruntung ada bukti digital. Tapi itu tidak mengubah kenyataan, Amara. Kau tetap membawa masalah ke keluarga ini!”
Amara berdiri, menatap lurus. “Masalah bukan aku yang buat. Masalah datang dari orang-orang yang takut melihatku berdiri.”
Selvia menegang, hendak membalas, namun Bagas mengangkat tangan. “Cukup. Aku sudah bilang: kita pakai fakta, bukan gosip.” Suaranya dingin, membuat semua terdiam.
Di kampus, gosip audit langsung menyebar ke forum mahasiswa. Artikel yang awalnya menuduh Amara menyalahgunakan dana mulai mendapat komentar baru.
“Kalau bener ada audit, berarti dia nggak salah dong.”
“Yaelah, udah jelas ada yang fitnah. Kasihan banget sih.”
“Aku salut dia masih kuliah dengan tenang.”
Amara membaca komentar itu diam-diam di ponselnya. Ada rasa hangat menjalar di dadanya. Untuk pertama kali, suara pembela mulai lebih keras daripada suara fitnah.
Sore harinya, Amara kembali ke yayasan. Auditor masih bekerja, menelaah detail rekaman CCTV. Ketika video diputar ulang, jelas terlihat sosok berjaket hitam dengan gelang mutiara berjalan cepat ke ruang arsip.
Auditor menunjuk layar. “Ini kunci. Tidak peduli siapa dalangnya, jelas ada orang dalam yang dipakai untuk mengeksekusi. Kami akan melaporkan hasil final besok.”
Amara menahan napas, tapi ia tersenyum tipis. Akhirnya, kebenaran mulai terungkap.
Malam menjelang. Amara duduk di kamar, Binder berisi catatan di meja kecil. Bagas masuk, meletakkan secangkir teh hangat di sampingnya.
“Kau sudah bekerja keras,” katanya singkat.
Amara menoleh. “Aku hanya ingin tidak ada lagi yang bisa memanipulasi aku seenaknya.”
Bagas menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Hari ini aku benar-benar melihatmu bukan sebagai beban, tapi sebagai mitra. Kalau kau terus seperti ini, tidak ada yang bisa menjatuhkanmu.”
Amara terdiam, hatinya bergetar. Kata-kata itu bagai pengakuan kecil yang lebih berharga dari pembelaan siapa pun.
Ia menulis di catatannya sebelum tidur:
“Hari ini aku berdiri di meja terang, dan kebenaran memenangkan satu putaran. Tapi perang belum usai. Aku harus terus maju.”
Keesokan paginya, hasil audit resmi diumumkan di depan dewan yayasan. Semua pimpinan hadir, termasuk beberapa kerabat yang kemarin sempat menekan Amara.
Auditor perempuan berdiri, memegang berkas tebal. “Kami menyimpulkan bahwa Ibu Amara tidak terlibat langsung dalam transaksi mencurigakan. Justru, akun beliau dipakai secara ilegal. Bukti CCTV, log server, dan catatan manual mendukung kesimpulan ini.”
Ruang rapat hening. Beberapa kerabat yang semalam menuduh hanya bisa menunduk.
Amara duduk tegak, jari-jarinya saling meremas, namun ia tidak menunduk lagi. Ia menatap semua orang yang hadir. “Saya tidak minta belas kasihan. Saya hanya minta keadilan. Kalau yayasan ingin berdiri kuat, kita tidak bisa membiarkan sabotase dibiarkan tanpa hukuman.”
Beberapa kepala mengangguk.
Bagas menambahkan, suaranya dingin, “Mulai hari ini, setiap akses yayasan akan diawasi ketat. Dan siapa pun yang terbukti ikut bermain dalam fitnah ini, aku pastikan tidak punya tempat lagi.”
Tatapan Bagas beralih singkat ke arah Meylani. Wanita itu tetap tersenyum tipis, seakan tidak terguncang, tapi jemarinya yang meremas kursi menunjukkan sesuatu.
Malamnya, ketika semua usai, Amara berjalan ke taman kecil di belakang rumah. Udara dingin menusuk, namun hatinya terasa lebih ringan. Ia membuka catatannya, menulis satu kalimat terakhir untuk hari itu:
“Hari ini, fitnah runtuh oleh fakta. Tapi aku tahu, musuhku belum berhenti. Aku pun tidak akan berhenti.”
Ia menutup catatan itu, menatap bintang samar di langit. Untuk pertama kalinya, ia merasa kakinya berdiri di tanah yang kokoh.