NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 21: Satu Wajah, Dua Cerita

Langit sore mewarnai lorong kampus dengan cahaya oranye. Lingkungan kampus masih terlihat mahasiswa berkeliaran dengan agendanya masing-masing, walaupun tidak begitu ramai seperiti jam perkuliahan. Perubahan kontras dapat dirasakan saat Selina memasuki gedung A menuju ruang dosen—suasananya sepi, hanya terlihat beberapa staff TU dan petugas keamanan di dalam. Di tangannya, ada satu map tugas kelas yang harus dia taruh di meja dosen sebelum tenggat pengumpulan.

Begitu sampai di depan ruang dosen, dia menarik nafas kecil. Lampu di lorong ruangan sudah dinyalakan, tapi cahayanya kalah dengan sinar matahari yang masuk dari jendela besar. Dia mengetuk pintu tiga kali sebelum membukanya.

“Permisi.”

Selina menongolkan kepalanya ke dalam ruangan itu. Angin AC langsung menyapu wajahnya. Segar. Di langsung melangkahkan kaki masuk, menuju meja dosen Ibu Ririn. Selina tidak melihat siapapun di ruangan itu sampai suara berat terdengar dari sudut ruangan.

“Nyari siapa?”

Selina refleks menoleh. Meja pojok tepat di bawah AC, duduk seorang pria dengan kemeja biru gari-garis. Rambutnya acak-cakan sedikit dan kacamata yang menggantung di tulang hidung—Baskara.

Selina memegang dadanya karena terkejut dengan kehadrian Baskara yang tiba-tiba.

“Bapak! Saya kaget.”

Baskara tertawa kecil, getaran tawanya menggema di ruangan yang kosong itu.

“Lagian… kamu kayak maling aja,” ujar Baskara sambil membenarkan posisi duduknya.

“Tadi saya udah permisi, kok… dan gak liat siapa-siapa di sini,” jawab Selina.

“Perlu sesuatu?” tanyanya santai.

Selina mengangkat map tugas sedikit. “Mau naruh tugas kelas, Pak… di meja Bu Ririn.”

Baskara hanya mengangguk kecil, lalu pandangannya kembali pda laptop di depannya. Suara ketikan keyboard menjadi satu-satunya suara yang terdengar dalam ruangan selain derungan mesin AC.

Selina melangkah ke meja Bu Ririn, menaruh map tugas di tumpukan map lainnya. Kesunyian ruangan membuat setiap gerakannya terdengar lebih jelas.

“Oh! Selina,” panggil Baskara ketika Selina baru berbalik badan.

Selina langsung mendekati Baskara dengan hati-hati. Bayangan sikap Baskara di kantin masih menghantuinya.

“Kamu belum upload video presentasi yang lain ya?” Mata Baskara masih lengket pada layar laptop.

Selina memiringkan kepalanya sedikit. “Video… presentasi yang mana ya, Pak?”

“Loh? Waktu itu kan saya perintahkan kamu untuk kumpulin video presentasi. Kamu lupa?” Baksra membenarkan kacamatanya sambil menatap Selina.

Selina berpikir sejenak. “Oh! Yang itu… eh bukannya untuk bagian yang minggu bapak gak masuk aja ya?”

“Kamu belum baca chat saya lagi ya?” ujar Baskara sambil tersenyum tipis membuat Selina terkesiap. Buru-buru mengambil ponselnya di tas dan membuka pesan dari Baskara.

Benar saja, dia tidak menbuka chat itu selama hampir tiga minggu. Dia langsung menutup mulutnya yang menga-nga.

“Oh… my God..” gumam Selina pelan. “Pak maaf banget, saya gak tau kalau ada chat baru.”

Baskara menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tenang… tapi matanya seperi ingin menikamnya.

“Jadi chat saya kamu anggurin selama tiga minggu,” ucapnya pelan dengan tekanan yang jelas.

“Nggak… saya gak bermaksud mengabaikan chat bapak. Cuma… kayaknya… notif chat bapak berbarengan sama yang lain jadi saya gak liat.” Dia sendiri sadar, alasan itu agak bodoh.

Baskara hanya mengangkat satu alisnya, tersenym tipis, dan memetik jari. “I knew it,” ternyata dia tidak marah. “Untung saya belum kasih deadline, kalau enggak kamu yang bertanggung jawab atas nilai temen kelas kamu ikutan saya coret.”

Selina mengusap lengannya, merinding. Tentu, itu kesalahan fatal. Bisa-bisa dia didemo satu kelas karena tidak menyampaikan informasi yang lengkap.

“Maaf, Pak. Saya akan segera sampaikan ke kelas untuk upload video presentasinya.”

“It’s fine, setidaknya kamu mengakui kesalahanmu.” Suaranya pelan tapi mengandung nada menggoda yang halus. Cukup membuat Selina merasa sedang dipermainkan secara elegan.

Dia menatao Selina lagi. “Kalau sama dosen lain, kamu gak akan seberuntung ini.”

Selina mengangguk cepat. “Siap, Pak. Nanti saya bakal rajin cek chat dari dosen biar gak keulang.”

Sempat hening, Selina rasanya ingin langsung menjatuhkan bom pertanyaan tentang ‘kembaran’ itu. Tapi sepertinya terlalu beresiko.

Baskara menata ulang map tugas di mejanya, lalu tatapannya kembali ke Selina.

“Kenapa? Sibuk kah? Ada kerjaan lain?” tanyanya santai.

Selina membuang nafas pelan.

Oke. This is it. Let’s go find the truth.

“Uhm… kebetulan saya baru dapet part time tambahan… tapi saya rasa itu gak bisa dijadiin alasan keteledoran saya, Pak.”

Baskara mengangguk beberapa kali, bibirnya sedikit maju seperti sedang mencari topik obrolan lain.

Dalam benaknya, dia menimbang cepat persoalan tempat kerja Selina—tidak bisa ditutupi kalau dia juga Leonhard alias bosnya. Melihat cara Selina menatapnya, ada sesuatu yang membuatnya waspada.

Haruskah dia pura-pura tidak tahu dan memancing Selina bicara? Atau mengalihkan ke topik yang aman supaya tidak menimbulan kecurigaan. Tapi… Baskara yakin Selina sudah curiga, walaupun teorinya salah.

Kembar? Baskara ingin ketawa mendengarnya, tapi dia akui Selina cukup kreatif menemukan teori saudara kembar itu.

Dia mengetukkan jari ke meja, menganati mata Selina yang berbicara. Dalam hatinya, dua versi dirinya bertarung. Leonhard yang dingin dan penuh kalkulasi ingin langsung menekan; Baskara yang terlatih menyamar memilih main aman.

“Kerja di luar jam kuliah memang gak mudah,” ujarnya tenang, tidak terburu-buru.

Dia bertopang dagu di atas meja, membiarkan percakapan ini mengalir ke arah yang Selina pikir dia kendalikan, padahal dia sedang dibaca gerak-gerik tubuhnya.

“Part time dimana?” tanya Baskara menembak peluru duluan. Masih bertopang dagu seolah tertarik dengan obrolan ini.

“Uhm… tempat malam,” jawab Selina menggantung. Nadanya berubah menjadi sangat hati-hati. Dia tidak ingin langsung menjatuhkan bomnya.

Baskara menaikan sebelah alis. “Tempat malam?” ulangnya, seolah ini pertaka kalinya dia dengar.

“Semacam… bar…” jawab Selina, dia seperti sedang menghitung pergerakannya agar tidak meleset. “Saya bantu-bantu buat minuman, lumayan buat nambah jajan.”

“Berani juga kamu kerja di tempat begitu.”

“Kenapa? Bapak gak percaya?” tantang Selina dengan nada bercanda.

“Bukan gak percaya…” ujarnya sambil menutup laptop. “… dunia malam itu keras. Cukup bahaya untuk mahasiswi seperti kamu.”

Selina tertawa kecil, tapi lebih kedengaran seperti mengejeknya. “Saya Selina, Pak. Saya bukan perempuan biasa.”

Baskara menyeringai. Dalam hati, dia setuju. Selina memang bukan gadis biasa. Dia gadis yang tidak takut terserang bisa yang mematikan.

“Di bar mana? Saya punya kenalan di bar daerah sini,” ujar Baskara. Dia sengaja memancing obrolan dengan kalimat ‘punya kenalan di bar’ untuk melihat tanggapan dari Selina.

Selina tersenyum simpul. Pertanyaan itu datang lebih cepat dari yang dia perkirakan. Kalau dia langsung menyebut bar Vault 33, reaksi Baskara bisa jadi jackpot.

“Bukan bar besar sih, tapi cukup terkenal di kalangan orang tertentu,” jawab Selina, nada suaranya dibuat ambigu dengan sengaja.

Baksara mengangguk pelan, lalu mencondongkan sedikit tubuhnya kedepan. “Terknal… di kalangan siapa?” tanya Baskara, suaranya mengecil dan sedikit memicingkan matanya.

Selina mengerti permainan itu. Dia sedikit mendekat dan membungkuk.

“Kalangan… orang-orang yang punya bayangan,” bisiknya, menatap lurus mata Baskara.

Selina bisa melihat kedutan kecil pada rahang dan tulang pipi Baskara. Dia sudah menempak tepat sasaran.

“Kamu gak takut keselamatkan kamu terancam?” tanya Baskara, di akhir kalimatnya, otot rahangnya menegang lagi.

Selina tersenyum manis—matanya hampir hilang—sambil terkekeh kecil.

Selina menegakkan tubuhnya, mundur satu langkah dari meja Baskara. “Kalau saya takut, dari awal sudah saya hindari tempat seperti itu.” Suaranya tenang, tapi sorot matanya tajam, seolah ingin mengatakan saya tahu banyak dari yang bapak kira.

Ketegangan muncul di udara. Percakapan ini bukan lagi terdenger seperti percakapan antara dosen dan mahasiswa biasa, tapi seperti dua orang yang sama-sama mengukur kemampuan lawan.

“Smart.”

Selina mengernyit. Menunggu Baskara menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi kepintaran tanpa kehati-hatian biasanya berumur pendek.”

Selina pura-pura tidak terintimidasi. Jelas saja, Selina tidak memiliki backup yang kuat. Dia hanya punya dirinya sendiri dan keberanian.

“Saya terima itu sebagai nasihat profesional, tapi Pak… saya punya feeling yang cukup tajam. Apalagi kalau menyangkut hal-hal yang cukup misterius.” Dia berkacak pinggang, dagunya sedikit terangkat.

Baskara tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Misterius?” ulangnya, setengah mengejek, setengah ingin tahu seberapa jauh dia akan menggalinya.

Selina mengangguk pelan. “Kadang orang terdekat kita itu punya sisi msiteriusnya—kayak lagi main riddle. Siapa dalang sebenarnya.” Nada bicaranya menyeret seperti sedang menunjuk pada Baskara secara langsung.

“Kamu… terlalu banyak nonton film thriller ya?” kata Baskara mencoba meredam tensi dan bersikap selayaknya orang awam.

Selina mengangkat bahunya. “Kadang kenyataan lebih thrilling daripada film, Pak.”

Baskara tertawa kecil. Selina menatapnya sambil mengangkat sebelah alis. Bukan ini yang dia inginkan. Baskara terlihat begitu tenang. Tidak ada tanda-tanda kepanikan dalam dirinya—matanya pun tidak memancarkan emosi tersembunyi.

“Pak,” dia berbenti sebentar. Baskara kembali menatapnya. “Kalau misalnya… ada dua orang yang kelihatan mirip banget, samapi orang-orang suka ketuker, atau bahkan gak sadar kalau mereka lagi bertukar peran… itu kemungkinan saudara kembar, kan?”

Baskara tidak meninggalkan pandangannya pada Selina. Tatapannya tenang. Terlalu tenang untuk Selina yang sedang mengejar bukti-bukti.

“Pertanyaan menarik,” jawabnya singkat.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!