NovelToon NovelToon
Rojali Dan Ratih

Rojali Dan Ratih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Ilmu Kanuragan
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RR 20

"Cuma satpam gila—serang!"

Seseorang berteriak. Suaranya keras, penuh amarah, membakar semangat preman-preman berseragam.

Yohana membelalak. Ia tidak menyangka Yoga akan senekat ini. Hanya demi jabatan…

“Ini sudah gila…” pikirnya.

Tiba-tiba—

"Klik!"

Lampu padam.

Gelap total. Listrik mati.

Suara bergemuruh dari langkah kaki tergesa—disusul jeritan pendek…

"Aaaarrghh!"

Crakk! — suara tulang patah, kasar dan basah, menggema di ruang tertutup.

Yohana tersentak. Ia terjun ke bawah meja, tubuhnya gemetar hebat.

Napasnya memburu, bahunya naik-turun, keringat dingin membasahi pelipis.

"Ayah... apakah ini akhir hidupku? Maafkan aku... karena terlalu keras kepala," bisiknya lirih. Matanya berkaca-kaca dalam gelap.

Semua menjadi senyap.

Mencekam.

Tiba-tiba—

"Klik!"

Lampu menyala.

Yohana masih meringkuk di bawah meja. Ia membuka matanya perlahan…

Ruangan kacau. Kursi berserakan, dokumen beterbangan.

Tapi…

Tak ada satu pun orang di sana.

Kosong. Hening. Hanya satu hal yang aneh…

Kulit kacang.

Berserakan di lantai. Banyak sekali.

Di sudut ruangan, seperti ada seseorang yang duduk mengupas dan memakannya sambil menonton kerusuhan tadi—tanpa peduli apa pun.

"Pluk!"

Sesuatu menyentuh rambut Yohana.

Kulit kacang.

Kecil. Ringan. Tapi menghantam saraf ketakutannya seperti batu besar.

Yohana menahan napas. Matanya melebar. Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri, takut teriakan lolos dari tenggorokan.

Lalu—

Sebuah suara terdengar.

Tenang. Dalam.

Nada suaranya seperti sedang menikmati pertunjukan sirkus.

"Ah… kacangnya habis. Sayang sekali."

Yohana terdiam. Matanya menatap ke arah suara.

Di pojok ruangan, seseorang duduk bersandar santai di kursi yang entah dari mana datangnya.

Rojali.

Wajahnya tenang, seperti biasa. Tapi di tangannya, ada serpihan darah kering.

Bukan dari dirinya. Dari orang lain.

Di balik pintu, beberapa sosok tubuh tergeletak—tidak bergerak.

Yohana menutup mulutnya lagi.

Bukan karena takut pada Rojali… tapi karena baru sadar:

Orang yang ia angkat jadi satpam bukan sekadar penjaga.

Rojali menoleh perlahan. Tatapannya tenang, datar.

"Bu Yohana, Anda baik-baik saja?"

Yohana masih gemetar, tapi mencoba berdiri.

"Kamu… kamu baik-baik saja?"

Rojali mengangguk ringan, seolah tak ada yang baru saja terjadi.

"Tentu saja saya baik-baik saja, Bu."

Tak ada sedikit pun ketakutan dalam wajahnya—justru ketenangan seorang pria yang sudah lama berdamai dengan kekerasan.

Yohana berjalan pelan ke luar ruangan.

Begitu melangkah ke koridor depan, matanya membelalak.

Tumpukan manusia.

Beberapa security dan preman bergelimpangan, sebagian mengerang kesakitan. Ada yang memegangi lengan patah, ada yang menunduk sambil memuntahkan darah. Semua dalam kondisi masih hidup—tapi babak belur.

"Kamu yang melakukan ini…?" tanya Yohana pelan, matanya masih sulit percaya.

Rojali berdiri santai di belakangnya.

"Bukan saya, Bu… Mereka tadi lagi main kuda-kudaan."

Jawabnya enteng, seperti sedang bercanda tentang anak-anak tetangga.

Yohana mendesah pelan. Ia merogoh ponsel dan menelepon polisi.

Tak lama kemudian, iring-iringan truk polisi datang. Petugas segera bergerak, mengamankan satu per satu tubuh yang tergeletak.

Suasana proyek kembali sunyi.

Yohana berdiri di atas undakan kantor proyek. Matanya menatap ke arah lahan luas yang masih setengah dikerjakan.

Rojali berdiri di sampingnya.

"Sebenarnya Ibu mau buat apa di sini?" tanya Rojali, mencoba mencairkan suasana.

Yohana menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam ke depan, seolah sedang melihat masa depan.

"Tempat wisata. Tempat warga bisa senang tanpa harus ke kota. Dan sekaligus… pusat distribusi pupuk."

Ia menghela napas sebentar, lalu menambahkan,

"Aku juga mau buat sumur bor. Supaya warga sekitar nggak susah cari air bersih."

Rojali menatapnya sejenak.

"Proyek yang bagus, Bu."

Diam. Hening.

Angin sore berembus pelan membawa bau tanah dan debu.

"Rojali…" ucap Yohana pelan, "bisa nggak kamu tinggal di sini 24 jam?"

Matanya menatap Rojali dalam-dalam. Ada kekaguman. Ada rasa aman. Dan mungkin… sedikit kesepian.

Rojali menggeleng pelan.

"Maaf, Bu. Saya sudah punya istri. Saya harus pulang."

Yohana menunduk sedikit. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa kecewa.

"Sayang sekali… Padahal aku butuh kamu. Di sini aku sendirian, dan cuma kamu yang bisa aku percaya."

Rojali diam. Tak menjawab.

Tiba-tiba Yohana tersenyum tipis.

"Bagaimana kalau istrimu juga tinggal di sini?"

"Kebetulan ada bedeng kosong. Aku juga lagi butuh orang buat bagian konsumsi karyawan."

Rojali mengangguk pelan.

"Baiklah, Bu. Nanti saya bicarakan dulu sama istri."

....

...

Sementara itu, di rumah Karman…

Ratih duduk di teras, menatap jalanan dengan gelisah.

Hari mulai sore. Rasa rindu pada Rojali perlahan berubah jadi gelisah.

"Kenapa belum pulang juga, Bang…?" gumamnya lirih.

Di dalam rumah, suasana justru ramai.

Saudara-saudara Sinta, dari pihak keluarga Narti, sudah berkumpul.

Tawa anak-anak terdengar dari ruang tengah. Mereka sedang mencoba satu per satu seragam pesta yang disewa oleh Narti.

"Teh, baju seragamnya bagus-bagus ya!" seru Yuni, adik Narti, sambil memutar badan di depan cermin.

"Iya wa… enak banget kalau dibawa pulang nih," tambah Wina, anak dari Yuni, tangannya mengelus-elus kain satin warna ungu muda itu.

Narti tersenyum.

Matanya berbinar penuh rencana. Tangannya merapikan lipatan di kerudungnya yang bermotif bunga besar.

"Baju ini bisa kalian miliki," ucap Narti sambil tersenyum lebar, "asal kalian mendukungku."

Lisa, sepupu Sinta yang baru datang dari kampung, mendekat penasaran.

"Apa yang harus kami lakukan, Teh?" tanyanya pelan, suaranya lebih hati-hati.

Narti menatap satu per satu wajah para perempuan di ruangan itu.

Matanya tajam, licik, namun tetap dibalut senyum manis.

"Wah, enak banget si Ratih. Mending baju ini buat aku aja," ucap Ratih lirih, mencoba bercanda, walau senyum di wajahnya kaku.

"Emang kamu mau jadi gundik, ha?"

Wina langsung menoleh tajam, suaranya setengah berbisik, setengah mengancam.

Nada suaranya seperti belati, menyayat perlahan.

Tiba-tiba Dedeh, perempuan paling tua di antara mereka, angkat suara.

Selama ini dia dikenal suka membela orang yang diperlakukan tidak adil, dan kali ini dia tak tahan.

"Hey, kalian enak-enak aja pakai seragam… Si Ratih enggak dikasih?" tanyanya dengan nada kecewa.

Narti langsung berdiri, tangannya berkacak pinggang.

"Hey, Deh! Jangan ikut campur! Atau kamu juga enggak akan dapat baju seragam!"

Dedeh menatap adiknya dalam-dalam, lalu menggeleng pelan.

"Heran aku sama kamu, Ti… Salah apa si Ratih itu sampai segitunya kamu singkirkan? Nih, aku enggak mau pakai bajunya!"

Dengan gerakan tegas, Dedeh melepaskan baju seragam dari tubuhnya, melipatnya, dan meletakkannya di meja.

Lalu ia berlalu meninggalkan ruangan, wajahnya merah karena menahan emosi.

Lisa, yang dari tadi memperhatikan, bertanya pelan:

"Emang kenapa sih, Teh? Kenapa Ratih enggak dikasih baju seragam juga?"

Narti tersenyum penuh keyakinan, seperti orang yang merasa dirinya paling benar.

"Aku punya guru spiritual, Lis."

"Apa-apa aku tanyakan dulu ke beliau. Dan kata beliau, Ratih itu… energi negatif. Kalau dikasih seragam, rumah tangga Sinta bakal terganggu."

"Nanti suami Sinta bisa direbut Ratih. Katanya aura dia kuat buat menarik laki-laki.”

Lisa masih terpaku di ruang tengah. Hatinya mulai goyah. Ia menoleh ke arah Narti, tapi bayang-bayang wajah Ratih yang selalu sabar terus terlintas di benaknya.

Sementara itu, di dapur…

Ratih masih berdiri di balik tirai, bahunya perlahan turun, napasnya mengendur. Ia mengusap ujung matanya yang basah, lalu mencoba tersenyum saat melihat Dedeh datang.

"Wa…" suara Ratih nyaris tak terdengar.

Dedeh langsung memeluknya erat.

"Yang sabar ya, Nak…"

Pelukannya bukan hanya pelukan keluarga—tapi pelukan seorang perempuan yang paham, bagaimana rasanya ditikam oleh orang serumah.

Ratih menunduk, matanya masih sembab, tapi ia berusaha tegar.

"Aku enggak apa-apa, Wa. Aku baik-baik saja."

Dedeh melepas pelukannya pelan, lalu menatap wajah Ratih yang polos namun dewasa melebihi usianya.

"Uwa tahu kamu anak baik… Tapi mereka itu… keterlaluan. Uwa tahu kamu yang menabung untuk pernikahan dengan Bagas, kamu yang kerja diam-diam biar bisa beli emas buat mahar. Tapi sekarang? Mereka makan jerih payah kamu. Lengkap… sama calon suaminya juga."

Ratih menahan napas. Ada rasa sesak di dada, tapi ia tidak mau menangis lagi.

Air matanya sudah cukup membasahi kisah lamanya.

Ia menggeleng perlahan.

"Wa, aku enggak masalah. Aku enggak mau menengok ke belakang."

"Aku sudah bahagia dengan suamiku sekarang. Aku bersyukur… tidak jadi menikah dengan lelaki yang enggak pernah benar-benar mencintaiku."

Dedeh mengangguk. Ada rasa haru sekaligus bangga di wajahnya.

"Suami kamu itu laki-laki sejati. Uwa lihat cara dia mandang kamu, Ratih… kayak kamu satu-satunya cahaya dalam hidupnya."

Ratih menunduk, tersenyum pelan.

"Aku juga heran, Wa… kenapa aku makin hari makin cinta sama dia. Padahal dulu aku pikir, aku enggak akan bisa sayang lagi ke siapa-siapa setelah Bagas."

1
Purnama Pasedu
kerenkan ratih
saljutantaloe
lagi up nya thor
Ninik
kupikir lsg double up gitu biar gregetnya emosinya lsg dapet
Ibrahim Efendi
lanjutkan!!! 😍😍😍
Ranti Calvin
👍
Purnama Pasedu
salah itu
Purnama Pasedu
sok si kamu sardi
Ibrahim Efendi
makin seru!! 😍😍
Purnama Pasedu
pada pamer,tapi jelek
Purnama Pasedu
nah loh
Ninik
edaaannn....kehidupan macam apa ini
saljutantaloe
nah loh pusing si Narti jdinya
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
saljutantaloe
nah gtu dong ratih lawan jgn diem aja skrg kan udh ada bg jali yg sllu siap membela mu
up lg thor masih kurang ini
Purnama Pasedu
telak menghantam hati
Purnama Pasedu
jurus apa lagi rojali
Purnama Pasedu
tapi kosong ucapannya
Purnama Pasedu
kayak pendekar ya
saljutantaloe
widih bg jali sakti bener dah
bg jali bg jali orangnya bikin happy
Sri Rahayu
mantap thor..
sehat selalu
saljutantaloe
seru thor ceritanya up banyak" thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!