perjalanan seorang anak yatim menggapai cita cita nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lokalisasi
Saat sampai bengkel, Hadi dan Ferry langsung ke atas loteng , dengan cepat ia menggelar karpet sebagai dasar dan tikar di atasnya,
" Wah asik juga di sini!" seru Ferry saat ia merebahkan tubuhnya di tikar yang baru saja di amparkan
" iya, kalau lagi ga ada kerjaan kita di sini aja, nyantai sambil ngopi" sahut Hadi, ia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dengan perlahan, lalu menghembuskan asap berbentuk O dari mulutnya
" Gw buat kopi dulu ah" Ferry turun lagi ke bawah
" bawa termos sama kopinya aja ke sini" ucap Hadi
" siap" sahut ferry yang sudah di bawah , tak lama ia kembali dengan termos dan plastik berisi kopi dan gelas
Sambil ngopi mereka beristirahat di loteng itu, hingga tak terasa mereka tertipu
Hadi terlelap dengan posisi telentang, satu tangan menutup wajah, sementara Ferry tidur miring dengan mulut sedikit terbuka. Loteng bengkel itu hanya diterangi lampu bohlam kuning redup, membuat suasana semakin nyaman untuk tidur siang. Aroma kayu tua , menjadi ciri khas loteng yang baru di perbaiki
Entah sudah berapa lama mereka tertidur, tiba-tiba terdengar suara langkah berat di tangga kayu.
Tok… tok… tok…
“Hadi! Had! Bangun,!”
Suara tebal dan sedikit serak itu langsung menggema memenuhi loteng. Dari nada suaranya saja, Hadi sudah tahu siapa yang datang.
Dengan mata setengah terbuka, Hadi mengangkat kepala.
“ ada apa kak, Kak Mu’i…?” tanya Hadi
Kak Mu’i berdiri di tepi loteng dengan napas sedikit memburu karena naik tangga cepat-cepat. Wajahnya tampak kesal tapi juga panik.
“ ada Service panggilan orangnya nungguin!” katanya singkat.
Hadi langsung bangun duduk, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
" Di mana?" tanya Hadi
" Di jalan Baru" Sahut Kak Mu'i cepat
“TV di kamarnya rusak! dah cepet kesana. kirain kalian lagi ngerjain apa ga tahunya tidur kayak ayam kampung abis makan dedak.” gerutu kak Mu'i
Ferry yang masih setengah sadar menggaruk kepala dan bergumam
" ada apa ribut ribut?"
“Udah, lu tidur aja. Gue kesana dulu,” ucap Hadi sambil merapihkan alat kerjanya ke dalam tas
Kak Mu’i mendekat, menepuk bahu Hadi. “Tempatnya ga jauh kok. Di Pemandangan.” ucap kak Mu'i
Hadi berhenti memasukkan obeng ke dalam tas. “Pemandangan? Di mana tuh?” tanya Hadi karena ia memang tak tahu di mana lokasi Pemandangan yang di maksud
Kak Mu’i terdiam sejenak lalu menghela napas
. “ emang hadi belum tahu? Itu daerah lokalisasi. Orang-orang sini nyebutnya Pemandangan, ada Pemandangan satu, Pemandangan 2 dan Pemandangan 3. " bisik kak Mu'i
Ferry yang mendengar itu langsung melek.
“Hah?! Pemandangan?!"
Mu’i mengangguk pelan. “Iya. Tapi jangan mikir aneh-aneh. Hadi cuma betulin TV. Yang manggil namanya neng Rara, tadi satpam sana yang kesini" Ucap kak Mu' memberitahukan siapa yang memanggilnya
Hadi menelan ludah pelan. Meskipun ia bukan tipe yang suka macem-macem, mendengar kata lokalisasi tentu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Bukan karena alasan tabu, tapi karena tempat seperti itu penuh kisah panas yang kelam, dan kadang rawan keributan.
“ aman, ga Kak?” tanya Hadi.
“Aman! tenang aja”
“Yakin banget aman,” tambah Ferry sambil tersenyum iseng. “Tapi kalau nanti ada yang manggil ‘mas ganteng mampir dulu’, lu kuatkan iman.”
Hadi melempar kaos kecil ke muka Ferry. “Udah lah, sialan loe.”
Kak Mu’i turun duluan, sementara Hadi merapikan tas perkakas. Ia menghela napas panjang. Service panggilan di tempat seperti itu, ya udahlah, kerja tetap kerja
Dengan mengendarai motor milik Ferry, Hadi berangkat ke tempat yang di maksud kak Mu'i
Kak Mu’i memberikan secarik kertas alamat. dan coretan yang mengarah ke lokasi “Lu tinggal ikutin ini. Dari sini lurus sampai ketemu gapura kecil warna merah. Masuk situ.”
“Oke.”
Hadi menstarter motor dan melaju keluar dari bengkel. Angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma kota yang campur aduk; debu, asap knalpot, dan sedikit bau gorengan dari warung pinggir jalan.
Hanya beberapa menit berkendara, ia mulai melihat tanda-tanda bahwa ia mendekati tempat yang dimaksud. Jalanan semakin sempit, beberapa rumah terlihat tua dan catnya mengelupas. Lampu-lampu jalan sudah mulai redup. Gapura kecil berwarna merah tampak di ujung blok, seperti pintu menuju dunia lain.
Hadi menurunkan kecepatannya saat memasuki gang kecil itu
"Ini Pemandangan." gumam Hadi
Begitu melewati gapura, suasana berubah drastis. Jalan kecil itu dipenuhi rumah-rumah petak berjajar rapi tetapi kusam. Lampu-lampu warna-warni tergantung di depan setiap pintu. Musik dangdut koplo terdengar samar dari salah satu ruangan. Bau parfum murah bercampur dengan aroma alkohol.
Beberapa perempuan duduk di kursi plastik di depan pintu mereka masing-masing, berdandan mencolok, memakai baju ketat. Ada yang mengobrol sambil tertawa keras, ada yang menggoyang kaki, ada pula yang merokok sambil menatap kosong ke jalan.
Mereka semua menoleh saat Hadi lewat.
“Heh, ada tamu baru…”
“Mas Ganteng mampir dong”
“Mas, mampir dulu…”
wanita wanita itu mencoba merayu Hadi, Hadi hanya tersenyum kikuk dan terus berkendara pelan. Ia bukan takut, hanya tidak terbiasa berada di lingkungan seperti ini. Tangannya sedikit dingin memegang stang motor.
Di ujung blok, ia melihat sebuah rumah petak yang cat ungunya lebih cerah dibanding yang lain. Di depannya ada seorang perempuan dengan rambut pendek, makeup rapi, dan pakaian yang terlihat lebih sopan dibanding yang lain, tetapi terlihat lebih menawan
Perempuan itu melambaikan tangan.
“Mas dari bengkel tv, ya?” tanyanya
Hadi berhenti dan mematikan motor. “Iya, Mbak. TV-nya mana?”
“ tvnya di dalem, Masuk yuk, biar bisa dicek di dalam” sahut wanita itu
Hadi mengangguk dan mengikuti wanita itu
Kamar itu tidak terlalu besar, namun terlihat rapi. Ada kasur busa, kipas kecil, meja rias dengan lampu neon, dan bau parfum yang cukup menyengat. Lampu ungu redup membuat suasana tampak seperti ruangan karaoke.
“Namanya siapa, Mbak?” tanya Hadi ingin memastikan apakah benar ia yang memanggilnya
“Namaku Rara,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Biasa di panggil neng di sini, Makasih ya udah mau datang.”
“Gak apa-apa mbak udah kerjaan saya" jawab Hadi
Rara duduk di kursi plastik sambil memainkan tangan
“ ini TV nya mas, Tiba-tiba mati pas lagi nonton. Nggak mau nyala lagi.”
Hadi membuka tas perkakas. “Saya cek dulu ya.”
Ia membalik TV, membuka casing belakang, dan mulai memeriksa komponen-komponennya. Rara memperhatikannya dengan tatapan ingin tahu.
“Mas kayanya masih sekolah yah?” tanya Rara. saat melihat celana yang di pakai Hadi seragam Abu abu.
“ iya mbak aku masih kelas dua STM” jawab Hadi
" Di bengkel kak Mu'i kan kerjanya?" tanya Rara lagi
" Iya kak itu yang service jam segala, di samping Bakso Solo" Jawab Hadi
“Ohh itu. Aku pernah situ. Tapi kok ga pernah lihat masnya.”
“ saya sambil sekolah mbak, jadi cuma ada siang aja, saya juga baru bantu-bantu beberapa bulan.” jawab Hadi
" Ooh baru" ucap Rara dan menatapnya dengan ekspresi lembut, seolah senang karena Hadi sangat sopan
Walau sambil bercakap cakap konsentrasi Hadi tak pecah dalam memeriksa tv itu.Setelah mengecek tegangan dan komponen lain, Hadi akhirnya menemukan masalahnya.
“Flyback-nya mati, Mbak. Ini komponen yang ngasih tegangan tinggi ke layar. Harus diganti.” Hadi mengatakan kerusakan yang ada di TV tersebut
“Bisa sekarang ga?” ucap Rara dengan mata memohon
Hadi membuka tas kecil yang berisi beberapa komponen cadangan. “Kebetulan saya bawa satu.”
“ ya udah mas Hadi pasang aja” Rara menarik napas lega.
Sementara Hadi bekerja, terdengar suara tertawa perempuan dari luar kamar, kemudian suara laki-laki mabuk bernyanyi.
Rara menatap pintu dengan wajah sedikit kesal. “Kalau malam, makin rame.”
“Serem juga ya kalau begini tiap hari,” ucap Hadi sambil tetap fokus.
“Udah biasa. Tapi kalau ada ribut-ribut, ya kadang takut juga. Untung ada satpam tongkrongan di ujung blok.”
Hadi hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Komponen baru sudah terpasang.
“Coba saya nyalakan,” ujar Hadi.
Ia colokkan kabel dan menekan tombol power.
Duuuttt…
TV menyala. Layar biru muncul, lalu suara statis.
Rara langsung tersenyum cerah.