Lin Feng, "Tuan Muda Teoris" dari Klan Lin, adalah bahan tertawaan di Akademi Awan Hijau. Dia jenius strategi, tapi bakat bela dirinya nol besar.
Segalanya berubah drastis saat arwah kakek-kakek telanjang mesum merasuki mata kirinya, memberinya kekuatan cheat [Mata Penjiplak] yang bisa meniru dan menyempurnakan jurus apa pun seketika.
Berbekal otak licik, mata copy-paste super, dan panduan kakek mesum di kepalanya, Lin Feng kini siap mengacak-acak dunia Jianghu. Ini adalah kisah di mana dia mempermalukan para jenius, men- trol/ musuh-musuhnya, dan mengejar tujuan utamanya membangun harem terbesar dalam sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Waktunya Memeras Seseorang
Lin Feng berdiri diam di tengah kamarnya yang mewah.
"...Sumber dana apa?" tanya si Kakek di kepalanya, suaranya terdengar bingung. "Jangan bilang kau mau menjual salah satu guci jelek di kamarmu ini? Itu butuh waktu!"
Lin Feng tidak menjawab.
Dia berjalan perlahan ke lemari pakaiannya yang besar, yang terbuat dari kayu rosewood yang dipernis. Dia membukanya.
Di sana, tergantung koleksi jubah sutra termahalnya. Biru langit, putih bulan, merah marun.
Tapi di sudut, tergantung satu jubah yang... rusak.
Itu adalah jubah sutra putih yang dia pakai saat melawan Zhang Yao. Jubah yang lengannya robek oleh tusukan 'Awan Bergulung' yang gagal itu.
Lin Feng menyentuh kain yang robek itu dengan jarinya.
"Kek," batin Lin Feng, suaranya sangat pelan.
"...Ya?"
"Kau ingat... berapa harga jubah ini?"
"Hah? Yang itu?" Si Kakek terdiam, mencoba mengingat. "Ah! Yang 'Edisi Terbatas Musim Semi' itu! Kau bilang harganya... dua ribu tael perak?"
"Tepat," kata Lin Feng.
"...Kenapa?" tanya si Kakek, masih bingung.
Sebuah senyum.
Sebuah senyum yang sangat lambat, sangat dingin, dan sangat... licik... terkembang di wajah tampan Lin Feng.
"Zhang Yao merobeknya," kata Lin Feng.
"Dia... belum membayarnya."
Hening.
"...Hooo."
Suara si Kakek terdengar serak.
"...Hooo. Hah."
Hening lagi.
Lalu...
"BWAHAHAHAHAHAHAHAHA!!"
Tawa si Kakek meledak, lebih keras dari tawa mana pun sebelumnya. Tawa itu penuh dengan kekaguman yang gila.
"KAU... KAU BAJINGAN KECIL YANG TIDAK TAHU MALU!"
"KAU SERIUS?!" seru si Kakek, suaranya terdengar sangat bahagia. "KAU AKAN... PERGI... MENAGIH UTANG... PADA KLAN ZHANG... UNTUK SEBUAH JUBAH... SETELAH KAU MEMATAHKAN TULANG TANGAN PEWARIS MEREKA?!"
Lin Feng hanya mengangkat bahu, ekspresinya polos.
"Tentu saja," batinnya. "Aku adalah korban di sini. Jubahku dirusak. Aku butuh kompensasi. Ini soal... prinsip."
"PRINSIP?! PRINSIP PANTATMU!" raung si Kakek, masih tertawa terbahak-bahak. "KAU MEMATAHKAN TULANGNYA! KAU MENGHANCURKAN MENTALNYA! KAU MEMBUATNYA JADI BAHAN TERTAWAAN! DAN SEKARANG KAU AKAN MEMERASNYA UNTUK DUA RIBU TAEL PERAK?!
"NAK!" Suara si Kakek terdengar sangat terharu. "KAU ADALAH BAJINGAN TERINDAH, TERLICIK, DAN PALING TIDAK BERMORAL YANG PERNAH KAKEK TEMUI! KAKEK SANGAT BANGGA!"
"Berisik," batin Lin Feng. "Aku hanya mengambil apa yang menjadi hakku."
"LALU TUNGGU APA LAGI?! AYO KITA LAKUKAN! KITA PERGI KE PAVILIUN MEDIS SEKARANG!"
"Tentu saja," kata Lin Feng.
Dia mengambil jubah yang robek itu dari lemari.
"Dua ribu tael perak," gumamnya. "Itu modal awal yang lebih dari cukup untuk membeli tungku alkimia kecil dan... berton-ton kotoran kelelawar."
Dia menyampirkan jubah robek itu di lengannya, seolah itu adalah bukti kejahatan.
"Chun Hua!" panggilnya keras.
Pelayannya itu buru-buru masuk. "Y-Ya, Tuan Muda?!"
"Siapkan keretaku," perintah Lin Feng, berjalan ke pintu.
"K-Kereta? T-Tapi Tuan Muda... Anda mau ke mana? K-Kelas...?"
Lin Feng berhenti di ambang pintu, cahaya matahari membingkai sosoknya yang tampan.
Dia tersenyum.
"Aku mau... menjenguk orang yang sedang sakit."
Beberapa saat kemudian.
Paviliun Medis Akademi Awan Hijau adalah tempat yang seharusnya tenang.
Tempat ini selalu dipenuhi aroma herbal yang menenangkan dan suara air mengalir yang damai. Para murid medis yang bertugas di sini dikenal karena kesabaran dan kelembutan mereka.
Itu... sampai lima menit yang lalu.
"D-DIA DATANG!"
"S-Siapa?"
"LIN FENG! 'MATA IBLIS' ITU! DIA MENUJU KE SINI!"
Seluruh lobi Paviliun Medis yang tadinya tenang, kini berubah menjadi sarang lebah yang panik. Para murid medis bersembunyi di balik pot-pot tanaman. Tetua Shen, sang kepala medis, yang sedang menggerus obat, menjatuhkan alu-nya.
"S-Sialan," gumam Tetua Shen. "Kemarin Zhang Yao... hari ini Instruktur Li... A-Apa dia ke sini untuk... pasien ketiga?!"
Lin Feng berjalan masuk.
Dia tidak terburu-buru. Dia melangkah melewati ambang pintu dengan keanggunan seorang pangeran yang mengunjungi tamannya. Jubah biru langitnya berkibar ringan.
Dia berhenti di tengah lobi.
Dia... sedang memegang sesuatu.
Di lengannya, tersampir sepotong kain putih yang robek.
Itu adalah... jubah yang dia pakai kemarin.
Para murid medis menahan napas.
"BWAHAHAHA! LIHAT ITU, NAK!" raung si Kakak di kepalanya. "KAU SEPERTI DEWA KEMATIAN YANG DATANG MEMBAWA BUKTI PEMBUNUHAN! TIDAK! KAU ADALAH DEWA PEMERASAN YANG MEMBAWA TAGIHAN! MEREKA KETAKUTAN SETENGAH MATI!"
"Jaga sikap, Kek," batin Lin Feng. "Aku adalah korban di sini. Aku harus terlihat berduka."
Dia memasang ekspresi paling sedih dan paling tampan yang bisa dia kerahkan.
Dia berjalan ke meja resepsionis, tempat Tetua Shen yang gemuk sedang berkeringat dingin.
"Tetua Shen," sapa Lin Feng dengan suara lembut yang penuh "kekhawatiran". "Selamat pagi."
"T-T-Tuan... Tuan Muda Lin," gagap Tetua Shen. "Suatu k-kehormatan... a-apa... apa yang bisa... s-saya bantu? A-Apa Anda terluka?"
"Saya?" Lin Feng tertawa pelan. Tawa yang terdengar sedih.
"Saya... terluka," katanya, suaranya bergetar. "Terluka... di sini."
Dia menunjuk... ke jubah robek di lengannya.
Tetua Shen memandangi jubah robek itu. Lalu dia memandangi Lin Feng. Dia tidak mengerti.
"Saya di sini," lanjut Lin Feng, "untuk mengunjungi Tuan Muda Zhang Yao."
"A-Ah! Pasien Zhang!" Tetua Shen mengangguk cepat. "Y-Ya! Tentu saja! Dia ada di Kamar VIP Giok, sedang... sedang istirahat. Tulangnya... parah sekali..."
"Saya tahu," kata Lin Feng, suaranya tiba-tiba menjadi dingin. "Saya tahu itu parah."
Dia meletakkan jubah robek itu di atas meja resepsionis.
"Itu sebabnya saya ke sini," katanya.
"Untuk membahas... kompensasi."
tapi overall, ini cukup bagus👍
untuk kalimat 'haaaah' ini seperti menghela napas kan? harusnya Hoamm, mungkin?🤭
maaf kak sok tau, tapi aku lebih nyaman begitu🙏