NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20

Bakda magrib, malam minggu Wage menurunkan hawa lembut ke atas Desa Wonosari. Langit tak benar-benar gelap—masih ada sisa cahaya jingga di ufuk barat yang belum sepenuhnya padam. Angin menyelinap pelan lewat celah jendela, membawa aroma tanah dan dedaunan basah.

Di rumah Ki Ratmoyo, suasana terasa damai. Di ruang tengah, Ki Ratmoyo duduk bersila di atas tikar pandan, mengenakan sarung garis-garis dan kaos lengan panjang. Ia tengah bercakap santai dengan Sundari, istrinya, yang duduk bersandar di sisi dinding, menggenggam cangkir teh hangat.

Topik mereka tidak berat—tentang rencana panen di sawah kecil warisan mertua, tentang kabar dari adik Sundari di Blitar, tentang listrik yang sempat padam sore tadi.

Sementara itu, Ki Sanusi, orang tua sepuh yang kini jarang banyak bicara, duduk di kursi kayu tua yang diletakkan menghadap televisi. Matanya mengarah ke layar yang menayangkan berita malam, tapi tatapannya tampak jauh—seperti tengah menapak pada kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu arahnya. Sesekali ia mengangguk kecil, mungkin bukan karena isi berita, melainkan karena pikirannya sendiri.

Di dalam kamar, Asmarawati duduk di meja belajarnya. Lampu meja menerangi halaman-halaman buku pelajaran yang terbuka. Namun, matanya lebih sering melirik ponsel yang tergeletak tak jauh dari bukunya. Tak ada notifikasi baru, tapi jarinya tetap menyentuh layar—membuka, menutup, lalu membuka kembali, seolah berharap sesuatu muncul di sana.

Suasana rumah terasa seperti malam-malam biasanya. Hening, tapi bukan sunyi yang asing—melainkan keheningan yang akrab, yang ditenun dari kebersamaan orang-orang yang saling diam dengan caranya masing-masing.

Tak ada suara keras. Tak ada ketukan. Hanya detik jam dinding yang terus berjalan, dan suara gelas diletakkan pelan di atas tatakan. Waktu seperti berjalan lambat di rumah itu, seolah enggan meninggalkan mereka yang masih ingin duduk, bercakap, atau sekadar diam dalam damai.

Dan malam pun terus tumbuh—seperti benih yang disemai keheningan, menunggu sesuatu yang belum diketahui akan mekar jadi apa esok harinya.

"Assalamualaikum..."

Sebuah salam terdengar dari arah depan, lirih namun jelas. Membelah keheningan malam dengan sopan santun yang sudah jarang dijumpai.

"Waalaikumsalam," sahut Ki Ratmoyo dan Sundari hampir bersamaan dari ruang tengah.

Ki Ratmoyo menoleh ke arah istrinya, lalu berkata pelan, "Sepertinya ada tamu. Bukakan pintunya, Bu."

Sundari mengangguk dan segera bangkit. Langkahnya ringan melewati ruang tamu yang senyap, menuju pintu depan. Begitu daun pintu terbuka, tampak sosok muda berdiri di teras, mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jins gelap. Senyumnya ragu, tapi matanya sopan.

"Asmarawati ada, Bu?" tanya Wiji hati-hati.

"Eh, ada, le. Masuk dulu, ayo."

"Sembah nuwun, Bu. Kula lenggah ten mriki mawon."

(Terima kasih, Bu. Saya duduk di sini saja.)

"Oh iya sudah, sebentar. Ibu panggilkan dulu Asmara." Sundari tersenyum, lalu menoleh ke dalam.

"Asmara! Ini ada tamumu, Nduk!"

Tak butuh waktu lama, pintu kamar terbuka. Asmarawati muncul dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir sederhana, matanya langsung berbinar saat melihat siapa yang datang.

"Mas...?" sapanya pelan. Ia lalu duduk di bangku rotan di sisi teras, berhadapan dengan Wiji yang sudah lebih dulu duduk.

"Kamu ndak sibuk, kan?" tanya Wiji sambil menyandarkan punggungnya.

"Ndak, Mas. Sampean dari mana dan mau kemana?" Asmarawati membenarkan letak taplak meja kecil di antara mereka.

"Aku dari rumah. Dan tujuanku ya... cuma kesini." Jawabannya sederhana, tapi jujur.

Asmarawati mengerucutkan bibir. "Kok ndak ngabar-ngabarin dulu, kalau mau ke sini?"

"Maaf, aku tadi ndak sampai kepikiran. Pingin ke sini aja... langsung," kata Wiji sambil menunduk.

Tak lama kemudian, suara pintu terbuka dari dalam. Sundari muncul lagi sambil membawa secangkir teh hangat di atas nampan hitam bergambar bunga mawar.

"Kok ngobrolnya di luar? Mbok ya di ajak masuk, Nduk. Di luar dingin," katanya lembut.

Wiji buru-buru menjawab, "Boten nopo-nopo, Bu. Kersane ten mriki mawon. Isis."

(Tidak apa-apa, Bu. Biarlah di sini saja. Sejuk.)

Sundari tersenyum tipis, lalu meletakkan cangkir teh itu di atas meja bundar di antara mereka. Setelah itu, ia kembali ke dalam, langkahnya pelan, menyisakan dua muda-mudi itu di bawah sinar lampu teras yang kekuningan.

Malam pun terus berjalan, membawa mereka dalam percakapan yang tak perlu buru-buru selesai.

"Siapa to, Bu?" tanya Ki Ratmoyo pelan sambil tetap duduk, tak segera menoleh.

"Sepertinya itu anaknya Pak Kaji Mispan, Pak. Yang kemarin mengantarkan selendang milik Asmara itu lho," jawab Sundari sambil membereskan gelas teh yang baru diletakkan.

Sekilas, raut wajah Ratmoyo tampak berubah. Tatapannya yang tadinya tenang, kini seperti dilapisi awan mendung tipis. Ia pun berdiri, berjalan pelan ke jendela, menyingkap tirai, lalu mengintip ke arah teras rumah. Di sana, di bawah temaram lampu gantung, duduk Wiji—anak dari lelaki yang sudah lama ia simpan dalam bilik kekhawatiran masa lalu.

Ia diam. Hatinya bergolak, tapi wajahnya tetap datar. Ia tahu, sebagai orang tua dan tokoh masyarakat, ia tak boleh bertindak gegabah.

Ratmoyo menarik napas, lalu membuka pintu dalam dengan suara yang sengaja dibuat terdengar.

"Sudah lama, Le?" sapanya singkat, mencoba menjaga nada suara tetap tenang.

"Nembe mawon, Pak," jawab Wiji sopan, sambil sedikit membungkukkan badan. Suaranya rendah, penuh tata krama.

Tak ada kalimat lanjut dari Ratmoyo. Ia hanya mengangguk tipis, lalu kembali masuk ke dalam. Tapi langkahnya tak tenang. Ia mondar-mandir dari ruang tengah ke ambang ruang tamu, lalu kembali lagi. Seolah tubuhnya gelisah mencari tempat untuk menyandarkan perasaan yang tak selesai.

Sundari yang melihat kelakuan suaminya, akhirnya tak tahan.

"Ada apa to, Pak? Kok mondar-mandir kayak mandor kebon tebu saja!" tegurnya, setengah bercanda.

Ratmoyo tersentak pelan, tapi buru-buru menutupi. "Eh, ndak apa-apa, Bu. Bapak cuma... ya merenggangkan otot sedikit."

Sundari mencibir halus, sambil menggelengkan kepala. "Ada-ada saja Bapak ini."

Ia tak pernah tahu, bahwa nama Mispan bagi Ratmoyo bukan sekadar "lawan politik" semasa dukungan kepada Lurah Sungkowo dulu. Di matanya, itu hanya percikan kecil dari dunia desa yang wajar—adu gagasan, beda pandangan.

Tapi tidak bagi Ratmoyo. Di balik senyum tenangnya malam ini, tersimpan kenangan pahit dari masa lalu. Ketakutan yang belum pernah dibicarakan, bahkan kepada istrinya sendiri. Ketakutan yang diam-diam masih hidup—dan kini, hadir kembali dalam bentuk seorang anak muda yang tengah duduk di teras rumahnya, bercakap dengan putrinya yang paling ia sayangi.

Dan malam pun berjalan. Di dalam rumah, gelisah menari di dada lelaki tua yang pandai menyembunyikan riwayat. Sedang di luar, dua anak muda masih bercakap di bawah teras yang diam-diam menyaksikan segalanya.

Sesaat setelah adzan isya selesai berkumandang, langit Wonosari kian kelam dan angin malam mulai turun perlahan. Dari dalam rumah, Ki Sanusi melangkah keluar. Tangan tuanya menggenggam tongkat kayu. Langkahnya lambat, namun mantap. Ia menuju teras, lalu duduk di antara Asmarawati dan Wiji, yang sejak tadi masih terlibat dalam perbincangan ringan.

Matanya yang mulai rabun menatap wajah Wiji lama-lama. Alisnya sedikit berkerut.

"Sepertinya aku ndak asing dengan wajahmu..." ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Kamu ini, anaknya Mispan, kamu yang sering lewat depan rumah sini, ya?"

Wiji buru-buru menunduk sopan.

"Nggih, Mbah... Kaleresan makaten." (Ya, Mbah... Memang benar demikian.)

"Oh, iya, iya. Aku ingat sekarang..." Ki Sanusi tersenyum tipis. "Bagaimana kabar bapakmu, Le?"

"Alhamdulillah, pangestu panjenengan. Pawartosipun bapak kula sae," (Alhamdulillah berkat doa anda kabar bapak saya baik.) jawab Wiji dengan bahasa krama yang halus dan penuh unggah-ungguh. Nada suaranya tenang, tertata seperti seorang ksatria muda yang tahu benar kapan harus menunduk, kapan harus bicara.

Asmarawati tersenyum melihat itu. Dalam hatinya, ada rasa bangga dan kagum yang tumbuh diam-diam.

"Syukurlah. Senang aku mendengarnya," balas Ki Sanusi, senyumnya keriput namun tulus. Ia lalu menatap ke langit sebentar, seperti sedang menarik kenangan dari udara malam.

"Dulu, waktu masih muda, bapakmu sering berada di sini. Ia ikut aku di Ngudi Laras, jadi penabuh kendang... kadang juga balungan."

Wiji terperangah. Baru kali ini ia tahu bahwa ayahnya pernah menjadi bagian dari kelompok seni yang diasuh kakek Asmarawati itu. Bahkan Asmarawati sendiri ikut terkejut.

"Ya, dulu aku juga sempat mengajarinya mendalang. Dan... ya, bakatnya cukup menonjol waktu itu. Gerakan sabet-nya lincah, suluk-nya mendayu-dayu. Mirip almarhum Ki Hari Bawono, dalang paling terkenal dari Jawa Timur waktu itu..."

Ki Sanusi menghela napas perlahan, lalu melanjutkan,

"Tapi sayangnya, itu tak berlangsung lama. Suatu hari ia memutuskan untuk keluar dari Ngudi Laras. Katanya ingin mencoba peruntungan di dunia usaha. Dan elok tenan, sekarang bapakmu sudah jadi pengusaha sukses."

Nada suara Ki Sanusi tetap netral. Ia memilih menyimpan kisah sebenarnya—kisah pahit yang dulu mencuat di tubuh Ngudi Laras. Ia tak tahu bahwa keputusan Mispan keluar waktu itu bukan karena keinginannya, melainkan karena satu nama: Ratmoyo.

Bagi Ki Sanusi, Mispan adalah masa lalu yang tak sepenuhnya buruk. Maka malam itu, di bawah terang lampu teras dan gemerisik daun jambu, ia merasa seperti melihat masa lalu kembali hadir—dalam sosok anak muda yang sopan, tenang, dan penuh unggah-ungguh.

Obrolan mereka berlanjut hingga jam delapan malam. Ki Sanusi tampak betah. Ia tersenyum berkali-kali, seperti sedang bercakap dengan bayangan masa lalu yang tak ia sangka bisa hadir kembali dalam wujud berbeda.

Namun tidak demikian dengan Ki Ratmoyo. Dari balik dinding rumah, ia mendengar semuanya. Ia tahu siapa yang sedang duduk bersama putrinya. Dan semakin malam, pikirannya makin berisik oleh kekhawatiran.

Wiji—anak dari Mispan, seseorang yang pernah ia hinakan, di masa lalu—kini duduk di rumahnya. Lebih dari itu, ia mulai dekat dengan putrinya. Dalam diam, Ratmoyo tahu, Wiji bukan sekadar kunjungan. Ini Wiji atau benih bom atom yang jika dibiarkan, bisa meledak.

Baginya, hubungan itu adalah percikan api yang rawan menyulut kembali bara lama. Ia, dan Mispan, seperti air dan minyak. Tak bisa menyatu. Tak akan bisa, pikirnya. Tapi malam terus berjalan. Dan waktu, seperti biasa, tak pernah bisa dicegah.

Jarum jam telah bergeser ke angka setengah sembilan malam. Angin malam berembus pelan, membawa kesejukan dan rasa enggan yang mengendap di dada. Wiji akhirnya berpamitan. Banyak yang ia dapat dari perbincangannya dengan Ki Sanusi malam itu—terutama tentang sang bapak, yang ternyata pernah menjadi murid kesayangan di Ngudi Laras.

Namun, rasa heran masih menggelayut di pikirannya. Mengapa justru bapaknya melarang keras ia mendekati Asmarawati? Kenapa sesuatu yang tampak sederhana ini terasa begitu rumit? Tapi ia tahu, tak mungkin juga ia bertanya pada bapaknya. Kaji Mispan, soal masa lalu itu, bagaikan mengetuk pintu yang terkunci rapat dan dijaga dengan amarah. Bukan perkara mudah. Bapak bukan tipe orang yang bisa diajak kompromi, apalagi bicara hal-hal yang bersinggungan dengan luka lama.

Begitu Wiji berlalu dari halaman, langkahnya menghilang di balik suara malam dan dedaunan, Asmarawati hendak kembali ke kamarnya. Namun, sesampainya di ruang tamu, langkahnya dihentikan.

Ratmoyo berdiri di sana—tegak, bersedekap, dan dengan pandangan yang tak biasa.

“Sejak kapan kamu kenal sama dia?” tanyanya datar, tapi terasa dalam, seperti air sungai yang tampak tenang namun menghanyutkan.

“Baru beberapa hari, Pak,” jawab Asmarawati pelan. Ada sedikit getar dalam suaranya, antara takut dan bingung.

Ratmoyo mempersempit jarak. “Bapak dengar-dengar... katanya kamu sering ketemu sama dia di tanggul Brantas. Benar itu? Ayo, jujur!”

Asmarawati menelan ludah. Ia berusaha menjaga nada suaranya. “Sinten ingkang ngendiko kados meniko, Pak?” (Siapa yang mengatakan seperti itu, Pak?) jawabnya mencoba mengelak.

Namun, belum sempat Ratmoyo menggali lebih dalam, suara dari belakang datang menyela.

“Lho, temanmu sudah pulang, Nduk?” tanya Sundari sambil melangkah ke ruang tamu.

“Sudah, Bu,” jawab Asmarawati cepat. Kesempatan itu digunakannya untuk segera berlalu—menyelamatkan diri dari mata ayahnya yang tajam.

Ratmoyo hanya berdiri diam. Menyandarkan diri di dinding, sementara pikirannya berkecamuk. Ia tahu, ada yang tak beres. Tapi ia sendiri belum sanggup menjelaskan perkara lama yang belum selesai. Diamnya bukan tanpa sebab—melainkan karena tak tahu harus mulai dari mana.

Sundari memperhatikannya. “Dari tadi bapak masih berdiri di sini?” Ratmoyo buru-buru berkilah.

“Oh, ndak, Bu. Tadi bapak habis dari depan. Benerin lampu.”

Sundari mengangguk, walau raut wajahnya menyiratkan kecurigaan kecil. Tapi ia memilih tak bertanya lebih lanjut.

Sementara itu, di dalam kamar, Asmarawati duduk termenung. Pundaknya melorot. Tatapannya menabrak bayang-bayang tembok. Kata-kata Wiji kemarin kembali mengapung dalam pikirannya:

"Jika seandainya kamu mencintai seseorang, tetapi kamu ditakdirkan tidak bisa nyawiji dengannya, maka apa yang akan kamu lakukan?"

Pertanyaan itu kini terasa nyata. Bukan sekadar ungkapan puitis dari percakapan malam kemarin. Tapi seperti cermin yang memantulkan kekalutan hatinya. Ia tahu, cintanya kepada Wiji bukan sekadar rasa remaja. Tapi kini, di balik pintu kamarnya, ia menyadari bahwa cinta itu telah memasuki wilayah yang rawan.

Malam telah larut. Di kamarnya yang remang, Asmarawati duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang separuh terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan tersapu angin, menari-nari dalam kesunyian malam minggu wage yang kian menebal. Suara jangkrik bersahutan dari kejauhan, seperti paduan suara kecil yang tak pernah lelah menyanyikan gelisahnya dunia.

Di dadanya, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah rasa yang menggumpal, seperti kabut di pagi buta: tak tampak, tapi membekap.

Ia tahu, ayahnya—Ki Ratmoyo—bukan tipe lelaki yang mudah terbakar amarah tanpa sebab. Tapi malam ini, caranya memandang Wiji... caranya bertanya, caranya diam... semua itu menyisakan tanda tanya yang tak berani ia ucapkan.

Kenapa ayahnya tiba-tiba terlihat gelisah hanya karena kehadiran seorang tamu? Kenapa seolah ada sesuatu yang disembunyikan?

Wiji... Ia bukan hanya lelaki yang hadir dalam hari-harinya belakangan ini. Ia adalah seseorang yang pelan-pelan menumbuhkan harapan di relung hatinya yang selama ini sepi. Ketika Wiji bicara, Asmarawati merasa didengarkan. Ketika Wiji tersenyum, dunia seolah menjadi sedikit lebih ramah. Namun di balik semua itu, kini ada bayangan yang tak bisa ia singkirkan: restu ayahnya, yang sepertinya tidak akan mudah ia peroleh.

Asmarawati tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Ia belum pernah mendengar cerita apa pun dari bapaknya tentang Kaji Mispan. Bahkan nama itu saja jarang disebut di rumah ini. Namun malam ini, dari sorot mata bapaknya, dari cara ia diam begitu lama setelah Wiji pulang, Asmarawati mulai curiga—bahwa ada sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang telah lama terkubur. Sesuatu yang kini terancam terungkit oleh hadirnya Wiji.

Namun ia juga belum berani bertanya. Sebagian karena takut, sebagian karena belum tahu harus bertanya dari mana. Ia hanya menyimpan semuanya dalam hati. Ia mulai menyadari bahwa cinta tak hanya soal dua hati yang saling terpaut, tapi juga tentang bayang-bayang ujian yang kadang tak bisa dihindari.

Sambil menatap langit malam dari balik jendela, ia berbisik dalam hati:

“Tuhan, Kalau cinta ini salah, kenapa ia datang seindah ini? Dan kalau cinta ini kelam, kenapa harus aku yang menanggung cahayanya yang tak pernah padam?”

Ia pun merebahkan tubuhnya perlahan, membiarkan dingin malam menyentuh kulit, dan angin menyusup di sela-sela tirai jendela yang tak sepenuhnya tertutup. Matanya terpejam, seolah hendak mengusir letih dari tubuh yang diam-diam menggigil. Namun, tidur tak kunjung datang. Yang hadir hanya sunyi—sunyi yang begitu hening hingga suara detak jantungnya sendiri terdengar bagai tabuhan gamelan di ruang kosong batin.

Dalam keheningan itu, muncul bayang-bayang samar, seperti bisikan dari ujung senja yang tertinggal. Sunyi itu tak sekadar diam; ia menyelinap, menjelma menjadi tanya yang tak sempat terucap, rindu yang tak berani disampaikan, dan cinta yang malu-malu mengetuk pintu hati. Cinta yang belum sempat berbunga, namun telah mekar dalam angan.

Malam pun memanjang, menjadi panggung bagi mimpi-mimpi yang tak jelas wujudnya. Di sanalah, ia bertemu perasaan-perasaan yang tak sempat ia pahami di siang hari. Sunyi menjadi bahasa, mimpi menjadi pelarian, dan cinta… tetap menjadi rahasia yang hanya dipahami oleh hati yang terjaga dalam gelap.

*******

Keesokan harinya hari minggu siang. Langit di atas Wonosari biru pucat, seperti kanvas yang belum disentuh kuas. Angin menyusup di sela-sela genting tua.

Wiji melangkah pelan menuju samping rumah Ki Ratmoyo. Di sisi pendopo, seperangkat gamelan tersusun diam. Seolah tidur panjang, tapi menyimpan denyut waktu yang belum padam.

Ia berdiri di ujung lantai batu, memandangi bonang, gender, saron, dan gong dengan sorot mata antara kagum dan kikuk. Ada getar halus dalam dadanya—bukan hanya karena gamelan itu, tapi karena tempat ini adalah dunia yang ditinggali seseorang yang kini diam-diam mengisi pikirannya.

“Ndak usah takut, nggak gigit kok,” suara itu datang dari samping.

Wiji menoleh cepat. Asmarawati berjalan ke arahnya, tanpa suara. Ia mengenakan celana kain longgar warna biru tua dan kaos lengan panjang kusam yang sedikit kebesaran. Rambutnya dijepit seadanya, sebagian jatuh di tengkuk. Tak ada riasan, tak ada aksesoris, hanya dirinya yang tenang dan apa adanya.

“Eh... aku cuma lihat-lihat,” jawab Wiji tergagap.

“Lihat aja ndak apa-apa. Gamelan itu ndak milih siapa yang boleh mendekat. Selama sampean punya rasa.”

Wiji mengangguk. Ia duduk bersila di lantai pendopo. “Aku belum pernah benar-benar dekat begini. Biasanya cuma dengar dari kejauhan. Rasanya seperti lihat dunia yang asing... tapi familiar.”

Asmarawati duduk di sebelahnya, menyandarkan tangan pada balok kayu di belakang bonang. “Ini bonang. Biasanya dia yang nyapa dulu kalau gending dimulai.”

Ia mengambil satu tabuh dan mengetuk pelan. Suaranya mengalun lembut, mengisi ruang kosong di antara mereka.

Wiji memperhatikan. “Aku bahkan gak tahu cara mukulnya. Takut sumbang.”

“Kalau sumbang, berarti sampean manusia,” sahut Asmarawati. “Yang penting jangan asal-asalan.”

Ia menyodorkan tabuh lain ke Wiji. Lelaki itu menerimanya ragu. Pukulan pertamanya ragu-ragu, suara yang lahir pun ragu. Ia tertawa kecil, menunduk.

“Maaf, Bonang. Aku belum kenal kamu.”

Asmarawati tersenyum, memperhatikan geraknya. “Gak apa-apa. Kenalan pelan-pelan. Gamelan itu kayak orang juga. Kalau kamu keras, dia menjauh. Kalau kamu sabar, dia bicara.”

Wiji menoleh, menatap wajah gadis itu dari samping. Di bawah cahaya siang, wajah Asmarawati tampak lelah tapi damai. Ia bukan sinden panggung saat ini, bukan gadis yang dipuja di depan layar pakeliran, tapi hanya Asmarawati—dalam wujud paling jujur dan paling dekat.

“Aku ingin ngerti,” gumam Wiji. “Bukan cuma gamelan. Tapi apa yang bikin kamu jatuh cinta pada ini semua.”

Asmarawati menunduk, lalu menghela napas. “Karena di sini aku bisa diam tanpa dituntut bicara. Bisa merasa tanpa harus menjelaskan. Seperti sekarang.”

Dan siang itu, pendopo tua menjadi saksi. Bukan hanya pertemuan antara dua insan, tapi pertemuan antara ketulusan dan waktu. Di antara pukulan yang belum sempurna, dan diam yang justru paling mengerti.

Asmarawati mulai terasa lebih dekat, tapi tetap ditahan dalam kesederhanaan. Kali ini, setelah belajar menabuh demung, muncul suasana hening yang lembut, sebelum kemudian mereka menyentuh satu fragmen gendhing.

Wiji meletakkan tabuh di pangkuannya, menghela napas panjang. “Rasanya... seperti ngobrol sama sesuatu yang nggak kelihatan.”

“Itulah gamelan,” ujar Asmarawati lirih. “Ia nggak pernah teriak, tapi bisa bikin hati sesak.”

Wiji melirik gadis di sampingnya. Dalam balutan celana kain sederhana dan kaos rumahan, Asmarawati terlihat biasa. Tapi justru karena itu, Wiji merasa lebih dekat. Tak ada topeng panggung, tak ada sorot lampu, hanya mereka berdua… dan suara-suara yang tak sepenuhnya bunyi.

“Dek, boleh gak… kita coba main bareng?” tanya Wiji pelan.

Asmarawati menoleh. “Main apa?”

“Gending pendek aja. Yang sederhana. Aku pengen ngerasain main sama kamu. Walau aku belum bisa.”

Asmarawati tersenyum. Lalu bangkit, berjalan ke arah saron. Ia duduk kembali, mengambil tabuh kecil, dan memulai dengan nada-nada ringan.

Wiji mengikuti. Tangannya masih ragu, tapi ia mencoba mengimbangi. Denting demi denting membentuk potongan kecil dari sebuah gendhing dolanan yang sederhana. Bukan sempurna, tapi cukup untuk mengisi udara pendopo yang sepi dengan sesuatu yang hangat—seperti kenangan yang baru sedang tumbuh.

Namun belum selesai gending itu mengalun, terdengar suara dari dalam rumah:

“Asmara… tolong ambil jemuran, awan sudah ngumpul itu, Nduk!”

Suara Sundari. Lantang, tapi terasa akrab, seperti sentakan kecil dari dunia nyata yang menyelinap masuk.

Asmarawati menghela napas pelan, lalu berdiri. “Ibu… selalu tahu kapan harus motong momen,” gumamnya sambil terkekeh.

Wiji hanya tersenyum, menatap punggungnya yang menjauh ke arah sebelah kanan rumah. Ia masih duduk di samping demung, menatap tabuh di tangannya.

Pendopo itu kembali diam. Angin menyusup perlahan, menggoyangkan kelambu daun pisang di kejauhan. Tapi di dalam diamnya, ada gema yang tertinggal—gema dari tabuhan pertama, dari detak yang belum berani diungkapkan, dan mungkin… dari cinta yang mulai belajar bicara dengan bahasa sendiri. Tanpa aksara, tanpa cakepan, tanpa tangga nada, tapi jujur.

Matahari menyelinap dari sela-sela tirai bambu, menggambar garis-garis cahaya di lantai semen yang dingin. Di dalam kotak, wayang-wayang kulit tertumpuk rapi seperti tubuh-tubuh yang sedang tidur siang—rebah dalam tumpukan, sayap-sayapnya saling menyilang, dan tangkai-tangkainya bersandar pelan satu sama lain.

Beberapa di antaranya terlihat lusuh, beberapa lain masih gagah meski warna-warnanya mulai pudar. Ujung rambut Srikandi menjuntai. Werkudara terlihat gagah. Mahkota Batara Kresna menyembul di sela-sela Dewi Drupadi dan Prabu Puntadewa. Semua diam, tapi bukan mati—mereka seperti sedang istirahat dari lakon-lakon panjang yang pernah mereka mainkan.

Ki Sanusi berjalan dari arah halaman. Suaranya terdengar duluan, gemeretak sandal dan batuk kecilnya yang khas. Ia membawa segelas teh dan selembar sapu tangan yang diletakkan di bahunya.

“Wah, kalian berdua sudah duluan di sini to,” katanya sembari duduk di dekat kotak. “Ini siang bagus buat cerita.”

Wiji dan Asmarawati yang tadinya duduk berdua di pinggiran pendopo segera mendekat. Wiji masih menggenggam tabuh, sementara Asmarawati menepuk-nepuk debu dari lutut celana kainnya sebelum duduk bersila.

Tanpa banyak basa-basi, Ki Sanusi membuka lebar kotak itu. Wayang-wayang tampak bertumpuk seperti hutan dalam tidur. Ia menyusupkan tangannya ke antara tumpukan, dan mengangkat satu tokoh: Reden Janaka atau Arjuna.

“Ini, Janaka,” ujarnya, mengibaskan debu dari sang tokoh.

Ia mengangkat wayang itu tinggi-tinggi, memperlihatkannya kepada mereka berdua. Mata Arjuna dibuat mengarah ke bawah, seperti sedang merenung. Gelung rambutnya melengkung rapi, warna emasnya mengkilat.

“Waktu mudanya, Arjuna ini justru bukan satria yang suka menonjol. Ia suka menepi. Banyak orang tak paham… katanya ia penakut. Padahal dia sedang menata diri. Mencari cara mendengarkan suara hati sendiri di tengah ramai dunia.”

Ki Sanusi tertawa pendek, mengelus kepala Arjuna dengan jari tuanya. “Lha kowe wong loro piye? Sudah bisa bedakan suara hati, atau masih bingung kayak Arjuna waktu belajar memanah buat yang pertama kali?”

Wiji tersenyum kecut. Asmarawati pura-pura merapikan rambutnya, menghindari tatapan.

“Tahu ndak,” lanjut Ki Sanusi sambil menunjuk tumpukan wayang lain, “wayang-wayang ini... semuanya pernah jadi tokoh utama dalam lakon masing-masing. Tapi saat ditumpuk begini, mereka pasrah. Tidur. Tak saling mendahului.”

Ia mengelus satu demi satu, dari Bima sampai Semar, lalu meletakkan kembali Arjuna ke tumpukan. “Begitulah hidup. Ada kalanya kita pentas. Ada kalanya kita pasrah ditumpuk bersama harapan yang belum selesai.”

Suara ayam di kejauhan menyela sebentar, lalu hening kembali. Pendopo itu terang, tapi ada teduh yang lembut di dalamnya.

Asmarawati bersandar ke tiang kayu. “Berarti kami ini masih Arjuna yang menepi, ya, Mbah?”

Ki Sanusi terkekeh. “Ya... dan semoga nanti kalian tahu kapan waktunya tampil. Tapi ingat, tampil bukan buat pamer. Tampil itu karena ada yang harus disampaikan.”

Wiji menatap tabuh di tangannya. Ia menggenggamnya erat—seolah itu adalah panahnya sendiri.

Badan Ki Sanusi menempel di pinggiran kotak wayang. Tangannya berhenti sejenak di atas tutupnya, seperti merasakan degup kenangan yang masih tertinggal di balik kayu tua itu.

“Dulu,” ucapnya lirih, “pendopo ini tak pernah benar-benar sepi. Malam-malam selalu ada suara catur, gamelan, dan tawa anak-anak muda. Salah satunya... Mispan.”

Wiji dan Asmarawati serentak menoleh.

“Bapak?” suara Wiji pelan, seperti tak percaya. “Mbah pernah ngajar Bapak saya?”

Ki Sanusi menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Iyo, Le. Aku pernah ngajar bapakmu. Di sini, di pendopo ini. Waktu dia masih remaja, belum nikah. Kurus, rambutnya keriwil, senyumnya lebar. Tapi kalau soal dalang—rajin, cerdas, tekun. Jarang aku dapet murid seperti dia.”

Ia membuka kotak besar itu, memperlihatkan wayang-wayang yang tertumpuk dalam tidur panjang. Tangannya menyusup pelan ke antara tumpukan dan menarik satu tokoh: Werkudara. Gagah, besar, tapi wajahnya teduh.

“Dia suka tokoh ini,” lanjut Ki Sanusi. “Werkudara. Katanya, dia ingin jadi seperti Bima—jujur, tak neko-neko, tapi kuat menjaga orang yang dicintainya.”

Wiji tertegun, menatap wayang itu.

Ia merasa seperti menemukan pintu tua yang selama ini tertutup rapat di dalam tubuhnya—dan sekarang, perlahan, pintu itu terbuka oleh kisah yang tak pernah ia duga.

Tiba-tiba semua menjadi lebih hening. Tabuh di tangannya terasa lebih berat, seolah membawa beban cerita yang belum selesai. Cahaya matahari jatuh miring ke lantai pendopo, menciptakan bayang-bayang panjang dari kotak wayang yang baru saja ditutup Ki Sanusi. Di dalamnya, para tokoh itu kembali tidur. Tapi tidak dengan tenang. Mereka tidur seperti orang yang tahu: akan tiba waktunya untuk bangun dan bicara lagi.

Di sisi lain, Asmarawati masih duduk diam. Namun Wiji bisa merasakan: ada sesuatu yang berubah dalam tatapan matanya. Bukan hanya ketertarikan, bukan hanya simpati—tapi semacam pengertian yang dalam, seperti seseorang yang tahu betapa panjang jalan menuju pengakuan.

Ki Sanusi hanya tersenyum, membiarkan waktu menutup kalimat-kalimat terakhirnya dengan keheningan. Ia berdiri pelan, membenarkan letak sarungnya, lalu berjalan menjauh tanpa banyak kata. Langkahnya ringan, namun menyisakan jejak seperti guratan pahat di dinding kayu tua.

Dan di tengah pendopo yang kini kembali senyap, Wiji tetap duduk. Ia menatap ke depan, namun pikirannya ke belakang—ke masa lalu yang bukan hanya milik ayahnya, tapi kini juga menjadi bagian dari dirinya. Masa lalu yang tak perlu dimusuhi, tapi dipahami. Dipanggul pelan-pelan, seperti menata kembali seperangkat gamelan sebelum dimainkan.

Dalam hati kecilnya, Wiji mulai bertanya:

Apakah ini panggilan warisan, ataukah jalan baru yang kebetulan mirip? Apakah tabuh pertamanya tadi hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—lebih tua dari dirinya sendiri?

Angin siang bertiup pelan, menggoyangkan ujung rambutnya. Dan tanpa sadar, ia menunduk lagi, menggenggam tabuhnya erat, lalu menatap ke arah kotak kayu jati itu.

Bukan pada tokohnya. Tapi pada ruang kosong di antara mereka—tempat cerita lama yang belum dituturkan secara gamblang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!