Bagaimana jadinya seorang anak pelakor harus tinggal bersama dengan ibu tiri yang merupakan istri pertama dari ayahnya.
Alma selalu mengalami perbuatan yang tidak mengenakkan baik dalam fisik maupun mental, sedari kecil anak itu hidup di bawah tekanan dari ibu tirinya.
Akan tetapi Alma yang sudah remaja mulai memahami perbuatan ibu tirinya itu, mungkin dengan cara ini dia bisa puas melampiaskan kekesalannya terhadap ibunya yang sudah meninggal sedari Alma berusia 4 tahu.
Akankah Alma bisa meluluhkan dan menyadarkan hati ibu tirinya itu??
temukan jawabannya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MKIT 26
Sintia menangis kencang, seolah dunia tidak pernah berpihak kepadanya, bahkan dirinya mulai mengeluarkan unek-unek dan mengungkit kenaikan yang selama ini ia perbuat untuk keluarga suaminya.
"Kamu enak ya Pa, bisanya hanya mengancam saja, aku tahu posisiku di sini hanya istri kedua, bahkan meskipun kau menikahimu secara negara akan tetapi selama hidup denganku kau tidak pernah memperlakukan aku dan anakku secara adil, padahal Shaka juga anak kandung juga," ucap Sintia.
"Aku kurang adil seperti apa, semua harta sebagian sudah atas namamu, bahkan aku sudah tidak mempunyai apa-apa, kasih sayangku tercurahkan kepada anak-anakku tanpa berat sebelah, bahkan aku bisa membuat anakku menyayangi adiknya dengan tulus, kasih sayang seperti apa yang kau sebut pilih kasih?" tegas Marcell mempertanyakan letak kesalahannya.
"Kalau Papa tegas dan adil kenapa masih membela si Ameer sudah jelas-jelas dia itu pembangkang dan melawan sama Mama, padahal Mama sudah berusaha menjadi ibu yang baik, bahkan anaknya si Ameer sudah aku anggap seperti cucuku sendiri, dan hal itu masih saja belum membuatnya sadar," ucap Sintia.
"Kau selalu saja mengungkit apa yang sudah kau berikan, seolah kau berbuat itu tidak ikhlas dan selalu menginginkan pamrih, aku tahu karakter Ameer, meskipun dia keras tapi dia tidak pernah menyakitin siapapun jika tidak di sakiti dulu," pungkas Marcell.
Dan tidak lama kemudian dokter keluar dari dalam ruang IGD, untuk memberi tahu kalau saat ini kondisi pasien sudah di tangani dengan baik.
"Selamat malam Ibu Bapak," sapa dokter itu dengan ramah.
"Selamat malam juga Dok, gimana keadaan anak kami?" tanya Marcell.
"Alhamdulillah dia sudah sadar, beruntung cepat di bawa ke sini, dan untuk beberapa hari ini saya akan mengeceknya untuk pemulihan luka di wajah dan kepala," ucap Dokter itu.
"Baiklah Dok, kalau begitu terima kasih banyak," sahut Marcell.
"Sama-sama, ya sudah mari Pak, Bu," pamitnya dengan lirih.
Dokter itu sudah pergi dan sepasang suami istri ini masih tetap saling diam karena merasa kuat dengan pendapatnya masing-masing.
*******
Sementara di tempat lain malam ini Ameer tidak berani lagi melepas istrinya begitu saja, bahkan ketakutan yang menghiasi wajah istrinya masih terlihat jelas, sebagai seorang suami Ameer merasa lengah dalam penjagaan sang istri sehingga Alma mengalami luka fisik yang seharusnya tidak ia rasakan sama sekali.
Tangan kokoh itu mulai mendekap tubuh ringkih itu, air mata istrinya terasa hangat menetes di permukaan kulit tangannya, Ameer semakin geram di buat seperti ini, satu tetesan air mata yang mengalir dari mata istrinya merupakan kesakitan yang harus terbalaskan dengan setara.
"Jangan takut mulai sekarang aku akan tetap menjagamu, tidak akan satu orang pun yang berani menyakitimu," ucap Ameer sambil membingkai wajah cantik istrinya.
Alma merasa sedikit tenang, akan tetapi penyiksaan terhadap dirinya dengan mata terpejam masih menari-nari di dalam bayangannya, bahkan Alma tidak bisa membayangkan jika suaminya itu tidak datang dengan tepat waktu, pasti mereka akan mengubah kejadian itu dengan cara memfitnah dirinya.
"Mas, aku sudah tahu dengan rencana mereka untung saja kamu datang tepat waktu, kalau tidak pasti kamu akan menuduhku berbuat yang tidak-tidak," ucap Alma dengan wajah yang dipenuhi dengan ketakutan.
"Sayang, aku bukanlah tipe suami yang goblok, bahkan di saat pertama kau datang ke rumah ini dan kau mendapatkan fitnah dari ibu tiriku, apa aku pernah menuduh mu yang tidak-tidak bahkan aku langsung percaya begitu saja karena aku tahu karakter mu seperti apa," sahut Ameer meyakinkan hari istrinya.
Ameer begitu tertegun ternyata ketakutan yang dialami dengan istrinya bukan masalah satu atau dua saja, akan tetapi yang lebih Alma takutkan, jika kepercayaan suaminya sudah memudar, dan hal itu benar-benar membuat hati Ameer tersentuh.
"Ya sudah karena sudah larut lebih baik kau tidur dulu ya, gak baik begadang semalaman," pungkas Ameer sambil menidurkan istrinya.
"Jangan kemana-mana, tetap peluk aku," pinta Alma, yang membuat Ameer enggan meninggalkan istrinya.
Ameer masih mendekap tubuh istrinya yang mulai terlelap dari tidurnya hingga tanpa sadar ia pun ikut tertidur bersamanya.
****"****
Langit pagi itu kelabu. Matahari seakan enggan menampakkan dirinya di balik awan tebal yang menggantung rendah. Udara lembab dan dingin menyergap kulit, menyisakan embun yang menggantung di ujung daun dan jendela kaca. Suara hujan rintik-rintik terdengar menenangkan, namun tidak setenang hati wanita yang berdiri diambang jendela kaca itu.
Tawanya tidak terlihat lagi, luka mulai menyelimuti hatinya, ia ingin berteriak atas kejadian yang menimpanya akan tetapi mulutnya tidak sanggup untuk mewakili hanya tetasan air mata yang bisa ia keluarkan dari pada perkataan.
Seketika tangisnya berhenti, ketika suara kecil itu memanggilnya dengan sapaan Mama ... Dan tiba-tiba ia terkesiap langsung menyeka air mata menggunakan tangannya.
"Mama ... Ada apa?" tanya anak itu penuh perhatian.
"Sayang ...," ucapnya tidak sanggup lalu langsung memberikan pelukan hangat terhadap bocah kecil itu.
Alma sadar jika di rumah ini dia di tuntut untuk tidak bersedih, apalagi dihadapan bocah polos yang sekarang mulai melibatkan dirinya dengan hal-hal sederhana, yang membuat dirinya lebih dihargai sebagai ibu sambung di rumah ini.
"Sayang, kau sudah bangun ya?" tanya Alma.
"Sudah Ma," sahut Zaidan.
Alma kemudian mulai menatap wajah polos itu dengan tatapan sayangnya.
"Maaf ya Mama gak bisa datang ke kamar kamu pagi ini," ucap Alma dengan permohonan maafnya.
"Gak apa-apa, kata Papa aku ke sini di suruh hibur Mama, memangnya Mama lagi sedih?" tanya anak itu dengan polosnya.
"He he ... Mama gak sedih kok, Papa hanya ingin menghibur Mama saja tapi lewat kamu," ucap Alma.
"Hah!" Seketika wajah anak itu berubah ekspresi seperti orang dewasa akan tetapi terlihat menggemaskan. "Memangnya Papa gak bisa menghibur Mama, masak pinteran Zaidan," lanjut bocah itu seketika membuat Alma tertawa.
"Ha ... Ha ... Benar sekali ayahmu itu terlalu kaku jadi laki-laki," sahut Alma membenarkan ucapan anaknya tadi.
Seketika luka itu menjadi senyuman yang menghiasi hidupnya, anak kecil itu memang selalu menjadi obat ketika orang dewasa tak mampu menghiburnya.
Tidak di sangka di balik pintu kamar Ameer mendengar semua percakapan antara istri dan anaknya, sebagai seorang suami, dia paham betul kekurangan dirinya yang tidak bisa menghibur hati istrinya sehingga dengan idenya sendiri ia pun mulai menyuruh anak laki-lakinya itu yang dia yakini bisa menghadirkan tawa di saat sang istri di landa kesedihan seperti ini.
"Maafkan aku Al, tapi percayalah tim kami sudah menyelidiki wanita jahat itu dan komplotannya," gumam Ameer lalu mulai masuk menyusul anak dan istrinya ke dalam kamar.
Bersambung ....