Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Menyambut Yang Melamar
Hari Senin yang melelahkan. Benar-benar menguras fisik dan pikiran. Selain kerja yang tak bisa melirik ke kiri dan ke kanan karena ada pengawas yang teriak-teriak memberi peringatan agar kerja cepat, otak Tya buntu memecahkan teka teki bagaimana bisa chat konfirmasi masuk ke nomornya selang tiga puluh menit setelah telepon dari Diaz terputus—bahwa izin libur hari Rabu disetujui.
Mas Diaz sedekat apa dengan manajer Primatex? Sakti sekali ucapannya.
Rasa penasaran itu mengganggu lagi pikiran selama perjalanan pulang menuju rumah. Yuni memberinya tumpangan karena dirinya ada keperluan ke jalan yang searah dengannya.
"Mampir dulu, Yun."
"Keburu tutup tokonya. Aku langsung jalan ya."
"Okay. Makasih ojek gratisnya, Yun."
Yuni hanya merespon dengan satu kali klakson. Melajukan motornya lurus berbaur dengan kendaraan lainnya.
Tya berjalan cepat memasuki pintu pagar yang tertutup rapat. Ada mobil sejuta umat yang terparkir di pekarangan. Ia kenal betul mobil siapa itu. Bukannya masuk, Tya memilih melipir lewat jalan pinggir sebelah kiri yang tembus ke halaman belakang melewati pintu teralis besi. "Mending ketemu Joko."
"Susan, kapan sih kamu sadar nikah sama Bisma itu hidupmu susah."
Tya urung membuka pintu teralis karena indera pendengarannya tak sengaja mendengar kalimat bernada jengkel yang keluar dari mulut perempuan. Tiada lain suara ibunya Susan. Terbawa angin dari jendela ruang tengah.
"Ralat, Ma. Hidup kami sederhana bukan susah. Dan aku bahagia, Mama. Sungguh. Bisma suami dan ayah yang baik, yang bertanggung jawab. Dia selalu usahakan yang terbaik buat aku dan Nesha."
"Tapi kamu kerja kasar gini, Susan. Jualan kue bikin sendiri. Padahal waktu gadis kamu gak pernah pegang pekerjaan rumah, nggak pernah masak. Ada bibi yang siap layanin kamu. Coba kalau dulu kamu gak keras kepala pengen nikah sama Bisma, hidupmu nggak akan melarat gini. Mending pulang yuk, Nak. Bawa Nesha juga. Mama sedih lihat anak kesayangan Mama pakai daster belel gini. Biasanya juga modis, glowing."
"Ini karena aku lagi di dapur, Ma. Bajuku bagus-bagus kok, punya skincare juga. Kalau keluar pasti selalu modis. Bisma meskipun ojol, dia sering beliin aku baju baru nggak nunggu lebaran."
"Iya palingan dari toko biasa. Bukan dari butik. Susan, asal kamu tau aja, Kevin masih sering nanyain kamu. Dia mau nunggu kamu jadi janda."
"Astaghfirullah, Mama. Mama lebih baik pulang sekarang. Keburu Tya pulang. Aku nggak mau Mama bicara nyindir dan nyinyir di depan Tya."
"Iya, Ma. Lebih baik kita pulang sekarang. Mama terlalu banyak bicara. Tujuan kita ke sini kan mau nengok anak dan cucu. Bukannya jadi ribut gini."
"Papa bukannya dukung Mama. Ya udah, ayo pulang."
Hening. Dan Tya yang berdiri rapat di sisi jendela, mengembuskan napas perlahan. Memang selama ini ibunya Susan selalu bersikap sentimen terhadapnya dan Bisma.
Padahal Mbak Susan udah bicara jujur kalau dia bahagia meskipun hidup sederhana. Aku nih saksinya. Setiap hari tinggal seatap. Kak Bisma dan aku selalu bikin Mbak Susan ketawa. Mereka bahagia kok. Bibirnya Bu Yati emang kudu diulek.
Tya mendengus ke arah depan saat terdengar suara pintu mobil ditutup. Segera melipir sebelum keberadaannya ada yang lihat.
"Joko! Aku mau curhat." Tya berdiri di hadapan kandang. Leher si Joko langsung keluar dari sela jeruji seolah siap jadi pendengar. Sikapnya yang tenang menunjukkan sudah makan dengan kenyang.
"Rabu aku mau dilamar. Fix sekarang mah udah nggak ragu lagi buat nerima projectnya Bu Suri. Aku bukan aja harus lunasin utang, tapi juga harus bantu Kak Bisma biar kakakku gak diremehkan lagi sama mertuanya."
"Menurut kau gimana, Ko? Kalau dukung aku, patok nih tangan." Tya membuka telapak tangannya. Disodorkan di hadapan kepala ayam jago kesayangan Bisma yang dirawat sejak seukuran kepalan tangan orang dewasa. Umurnya dua bulan lebih tua dari Nesha. Sehingga Tya sering meledek kakaknya kalau si Joko itu anak pertama.
Dan sesuai yang diharapkan. Si Joko mematuk telapak tangannya dua kali. Membuat Tya girang. "Kau emang bestie , Joko. Thank you support-nya ya. Mau mandi dulu aku. Bye."
Tya masuk lewat pintu depan setelah mobil orang tuanya Susan tidak ada. Seolah tak tahu apa-apa, ia berucap salam dan lalu menghampiri Nesha yang sedang bermain masak-masakan.
"Tante mau beli apa?"
"Mau beli mie ayam dong. Cepetan ya. Udah lapar nih."
"Okeee. Tunggu ya semenit."
Pandangan Tya terantuk pada dua kantong besar yang ada di samping meja TV. Kalau bukan belanjaan, mungkin itu oleh-oleh, pikirnya.
"Ah, Tante Tya pulangnya telat. Barusan aja kakek sama neneknya Nesha pulang. Nggak ketemu dulu deh." Suara Susan yang terdengar dari arah pintu dapur membuat Tya menoleh.
"Oh ya. Lama mbak tadi di sininya?" Tya memasang wajah kaget. Lebih baik pura-pura tidak tahu.
"Lumayan hampir satu jam. Papa sama Mama ada acara di Bekasi. Sekalian mampir ke sini, itu bawa oleh-oleh. Titip salam aja, katanya."
Tya mengangguk. Kalimat terakhir entah benar atau hanya kalimat tambahan saja, ia tidak ambil pusing.
"Mbak, ada yang mau aku diskusikan. Tapi nunggu Kak Bisma pulang dulu biar sekalian bahasnya."
"Biar Mbak tebak. Ada kaitannya sama Diaz ya." Susan mengerling sambil mengulum senyum.
"Ih uh ah. Mbak jadi punya hobi baru godain aku. Mandi ah." Tya beranjak dari duduknya dengan memasang wajah malu. Mengabaikan tawa lepas kakak iparnya. Tetapi tidak bisa mengabaikan Nesha yang memanggilnya.
"Tante...ini mie ayamnya udah ada."
***
Tya masih bersantai di kamar dengan rambut basah dibiarkan tergerai begitu mendengar suara Bisma berucap salam. Sang kakak pulang pukul tujuh. Terdengar teriakan Nesha yang selalu menyambut dengan heboh. Biarkan kakaknya istirahat dan makan dulu. Ia isi waktu santai dengan scroll media sosial.
[Aku disuruh ibu tanya size sepatu]
Pop up chat dari Diaz itu terlihat oleh mata. Tya segera beralih membuka aplikasi WhatsApp.
"Ini orang to the poin amat. Garing. Nggak nanya lagi apa, udah makan belum."
"Eh, lupa. Kan calsu boongan."
Tya menarik badan hingga duduk sila dengan punggung tegak. Membalas pesan.
[Nomor 38. Maksudnya untuk apa itu, Mas Diaz]
[Kata ibu buat hantaran rabu]
[Oh. Totalitas banget ya Bu Suri]
[Kan harus natural. Kau lupa?]
"Idih ini orang. Setelan juteknya balik lagi. Untung nggak berhadapan. Beneran nilainya 11/100 no debat." Tya menjitak foto profil Diaz yang posenya membelakangi layar menghadap laut lepas.
[Mas...berapa orang yang akan datang? Konsepnya gimana, formal kah? Aku di sini harus siapin apa?]
Kali ini tak segera ada balasan meski pesannya sudah dibaca. Hingga kemudian terdengar gagang pintu diputar dan keponakannya melongokkan kepala .
"Tante Tya....dipanggil Ayah."
Karpet yang terhampar di ruang tengah menjadi tempat berkumpul tiga orang dewasa ditambah seorang bocah yang anteng mewarnai gambar sambil tengkurap.
Tya menceritakan kabar dari Diaz tentang rencana kedatangan Rabu besok. Dan itu sukses membuat Bisma dan Susan terkejut.
"Ini ada balasan dari Mas Diaz." Tya membaca chat yang ditunggunya sejak tadi. "Katanya mau datang berempat. Tidak usah menyambut formal, tidak usah banyak orang cukup keluarga ini aja Ini silaturahmi biasa. Acara santai tapi dengan niat serius."
"Rabu jam berapa?" tanya Bisma.
"Jam 10, Kak. Tadi di pabrik aku udah izin hari Rabu nggak masuk kerja. Jadi kakak jangan dulu ngojol ya."
"Paling ngojol yang pagi aja sehabis ngantar mbakmu ke pasar."
"Dek, nanti sama Mbak di make over ya. Biar Diaz makin ter Tya-Tya." Susan memainkan kedua alisnya.
"Ah, tidak usah. Dandan pakai bedak dan lipcream aja. Sudah cukup, Mbak. Aku bisa sendiri."
"Kakak setuju sama mbakmu. Udah kau nurut aja. Acara spesial gini jangan dandan apa adanya tapi harus ada perbedaan."
***
Malam berganti Selasa pagi. Tya kembali melakukan rutinitasnya. Memberi sarapan si Joko saat kakaknya ke pasar, menyapu rumah, mandi, dan bersiap pergi dengan perut yang terisi sarapan serta bekal makan siang yang dimasukkan ke dalam tas.
Hari ketiga dalam seminggu itu dilalui dengan lancar meski kerja di bawah tekanan. Sudah biasa. Setiap kali mengejar deadline, teriakan pengawas akan terdengar tidak hanya di ruang QC, tetapi juga di ruang sewing. Tya menarik napas dan mengembuskan dengan lega. Setidaknya sehari besok ia akan bebas dulu dari tugas yang melelahkan mata.
Begitu Rabu pagi tiba, rumah sederhana keluarga Tya sudah rapi dengan seluruh kaca jendela yang berkilau bening. Semuanya bekerja sama bersih-bersih rumah dan halaman. Tya juga membantu Susan memasak untuk hidangan. Pukul delapan, pekerjaan rumah pun selesai.
"Dek, mandi duluan gih. Waktunya dandan."
Tya patuh meski dalam hati tertawa geli sekaligus miris. Kedua kakaknya begitu bersemangat. Padahal sang adik yang berperan sebagai tokoh utama sedang bermain sandiwara.
[Aku setengah jam lagi sampai]
Satu kalimat singkat yang dibaca Tya usai dirinya dirias oleh Susan. Membuat dadanya mendadak berdebar-debar.
Duh berasa beneran dilamar.
Santuy aja, Tya. Ini kan
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣