NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 18 Perasaan Terdalam

Lya melamun, menatap langit malam yang kosong dari jendela kamar kosnya. Cahaya bintang lenyap, tertelan gemerlap lampu kota di antara gedung-gedung tinggi. Di tangannya, ponsel masih menampilkan layar panggilan yang baru saja berakhir—dari Ayahnya.

Ayah menelpon lagi malam ini, suaranya terdengar lelah namun tegas, meminta Lya untuk pulang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dada Lya sesak. Ibunya jatuh sakit—kabar itu membuat pikirannya beku, antara ingin segera pergi atau tetap bertahan di kota perantauannya, menjadi putri durhaka yang tidak peduli.

Pasalnya, Lya tidak pernah benar-benar mengingat momen indah bersama kedua orang tuanya. Sejak kecil, Ayahnya selalu menekannya untuk belajar lebih keras—untuk melampaui Anna, kakaknya yang selalu dijadikan perbandingan.

Sementara Ibunya seperti patung; diam, pasif, hanya menonton ketika sang suami berbuat kejam pada kedua putrinya.

Dan jujur saja, setelah Anna meninggal, ingatan Lya tentang rumah menjadi kabur. Yang ia ingat, rumah itu semakin sunyi. Tekanan memang berkurang, tapi juga tak ada lagi percakapan yang berarti. Hanya sepi yang menggantung di antara mereka, seakan setiap kata sudah lama kehilangan makna.

Seharusnya tidak ada alasan bagi Lya untuk terlalu memikirkan kabar itu. Namun entah mengapa, berita tentang ibunya yang sakit justru membuatnya termenung.

Tak satu pun dari kedua orang tuanya pernah meninggalkan kenangan indah untuk diingat. Tapi anehnya, kabar buruk yang baru saja ia dengar malam ini menimbulkan sedikit rasa cemas—rasa yang tak seharusnya ada, namun tak bisa ia abaikan.

((Besok pulanglah, Lya... Ibu ingin bertemu denganmu))

Satu kalimat dari Ayah terus terulang di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak henti memutar nada yang sama. Kalimat itu terdengar seolah dunia akan berhenti bagi mereka—dan entah kenapa, membuat Lya kembali teringat pada Anna, di pertemuan terakhir mereka.

Kalimat yang lahir dari mulut orang-orang yang sudah kehabisan harapan.

Mungkin itu sebabnya Lya merasa tak sanggup mengabaikan kedua orang tua yang, seharusnya, sudah lama tak perlu ia pikirkan.

Setelah melamun cukup lama, akhirnya Lya membuat satu keputusan yang sejak tadi terus ia ragukan. Untuk terakhir kalinya, ia mendongak, menatap langit malam yang hitam dan tanpa bintang.

Lalu perlahan, Lya beranjak dan menutup jendela kamarnya—seolah menutup satu bab yang tak lagi bisa ia hindari.

Hingga pagi menyapa di hari Jumat.

Kebetulan, mata kuliah yang seharusnya Lya hadiri hari ini dibatalkan—dosen pengajarnya sedang berada di luar kota.

Seolah takdir memang ingin mendorongnya menjadi anak berbakti, menuruti permintaan Ayahnya.

Begitu kepastian itu ia terima, Lya segera berkemas. Ia mengisi satu tas ransel kecil dengan beberapa pakaian dan laptopnya—barang seadanya untuk perjalanan yang bahkan belum ia yakini sepenuhnya.

Semula, Lya berencana naik bus untuk pulang ke kotanya.

Namun ketika ia baru hendak mengenakan sepatu dan memesan mobil daring, ketukan di pintu kamar terdengar lebih dulu—membuyarkan semua rencana yang sudah tersusun di kepalanya.

Meski sempat terdiam sejenak, Lya tetap membuka pintu tanpa mengeluh. Lagipula, memang tak ada yang perlu dikeluhkan.

Saat pintu terbuka, Lya tak pernah menyangka akan menemukan sosok Leo di hadapannya.

Ia sempat berpikir, setelah pertemuan terakhir mereka, segalanya sudah berakhir—termasuk dunia kecil yang dulu pernah mereka bagi.

Namun kini, Leo berdiri di depan kamarnya dengan penampilan rapi dan wajah yang, mau tak mau, masih sedikit ia rindukan.

”Aku mendapat permintaan dari Ayahmu... Dia minta untuk mengantarmu ke rumah. Kebetulan aku juga ingin pulang sebentar ke sana,” ungkap Leo sebelum Lya sempat bertanya untuk penjelasan.

Mendengar penjelasan Leo, Lya sempat tertegun. Ia tidak salah dengar—Ayahnya sendiri yang secara khusus meminta Leo untuk menjemput dan mengantarnya pulang ke kampung halaman.

Hal itu terasa aneh bagi Lya. Ia masih ingat betul, ketika Anna masih hidup, Ayah mereka nyaris tak pernah peduli. Bahkan saat Anna hendak pulang atau kembali ke kota perantauan, tak ada biaya yang dikirim, tak ada kalimat pamit, bahkan sepatah kata pun tidak.

Dengan pikiran yang campur aduk, Lya kini duduk di samping Leo di dalam mobil.

Mesin beroda empat itu melaju dengan kecepatan tenang, membelah jalan panjang menuju kota kelahiran mereka.

Di antara deru mesin dan pemandangan yang terus berganti, Lya hanya bisa diam—membiarkan pikirannya melayang entah ke masa lalu, entah ke rumah yang menunggunya.

“Bukankah kedua orang tuaku seperti akan pergi dari dunia ini?” tanya Lya tiba-tiba, suaranya pelan tapi cukup untuk memecah keheningan di antara mereka.

Leo di kursi kemudi menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan di depan. Pundaknya terangkat ringan.

“Entahlah,” jawabnya pendek.

Lya tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.

Ia hanya menatap keluar jendela, membiarkan pandangannya mengikuti pemandangan yang terus bergerak mundur—seolah dunia di luar sana berlari menjauh dari mereka.

 “Tapi kalau mereka benar-benar pergi dari dunia ini, aku akan membawamu, Lya... ke tempat di mana tak ada siapa pun selain kita berdua.”

Perkataan Leo membuat Lya terdiam. Ia menoleh, membeku menatap teman masa kecilnya itu.

Leo hanya menatap balik dengan sorot mata yang tegas—penuh keyakinan—seolah kata-katanya tadi bukan sekadar omong kosong.

“Jangan anggap hubungan kita selesai setelah malam itu... Kamu masih tanggung jawabku, Lya. Apalagi sekarang, ketika tak ada lagi yang bisa jadi walimu.”

Ucapan itu menancap dalam di dada Lya. Ia terdiam, tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Pada kenyataannya, ia memang pernah mengira hubungan di antara mereka sudah benar-benar berakhir.

Leo tersenyum tipis, menikmati reaksi Lya yang tampak jelas dari sudut matanya. Obrolan ringan seperti ini terasa asing sekaligus akrab—sudah lama mereka tak berbagi momen semacam itu. Baru sekarang, Leo benar-benar bisa menikmati kembali kebersamaan yang dulu sempat ia kira telah hilang selamanya.

“Lya,” panggil Leo pelan. “Aku minta maaf... karena sempat membuatmu takut.”

Pada akhirnya, permintaan maaf itu keluar juga—terlambat, tapi nyata.

Lya terdiam, kenangan tentang pagi itu berkelebat di kepalanya. Saat hubungan mereka nyaris hancur karena tindakan Leo yang tak bisa ia lupakan. Rasa takut dan sakit yang nyata setelah mengetahui fakta tentang Leo terhadap dirinya. Suara mesin mobil tetap berdengung, tapi di antara mereka hanya tersisa diam yang berat.

Beberapa menit kemudian, diam itu tidak bertahan lama. Lya kembali buka suara memecah keheningan. ”Tidak apa-apa Leo... Bagaimana pun aku juga salah karena sengaja mengabaikan rasa sakitmu.”

“Lalu... bagaimana kabar pacarmu? Kalian masih belum berpisah?” tanya Leo. Nada suaranya terdengar ringan, seolah hanya basa-basi, tapi sorot matanya tidak berbohong—ia benar-benar ingin tahu tentang hubungan Lya.

Lya terdiam sejenak. ”Semuanya baik... hanya saja...” perkataan Lya terputus-putus, seakan ia sedang berpikir dalam tentang sesuatu ”Belakangan ini ada yang aneh dariku.”

Leo tidak menjawab. Ia hanya menatap Lya sesekali, lalu kembali memandang jalan di depannya. Ia memilih diam, membiarkan teman masa kecilnya itu menuntaskan ceritanya yang masih menggantung di udara.

”Terkadang aku merasa ingin menyembunyikan Ben...”

***

Sudah tiga puluh menit Ben mencoba menghubungi Lya—tidak ada jawaban.

Pesan-pesannya pun masih berstatus belum terkirim, seolah ponsel Lya mati atau berada di tempat tanpa sinyal. Ben menatap layar ponselnya dengan gelisah, mencoba menahan rasa khawatir yang mulai tumbuh tanpa kendali.

Ben berusaha menahan diri agar kepanikan tidak lebih dulu menguasainya. Ia segera beranjak, masuk ke mobil, dan melaju menuju kos Lya.

Begitu mobilnya berhenti di depan pagar, matanya langsung menangkap sosok yang familiar—seorang perempuan berambut cokelat. Ia mengenal wajah itu. Teman Lya. Perempuan yang pernah ia lihat di bioskop waktu itu.

Tanpa pikir panjang, Ben keluar dari mobil dan menghampirinya dengan langkah tergesa, bahkan tanpa sempat mencari tahu siapa nama perempuan itu.

”Hei!” panggil Ben.

Perempuan berambut cokelat itu menoleh. Wajahnya langsung berubah masam ketika pandangannya bertemu dengan Ben—tatapan yang penuh jarak dan ketidaksukaan. Ben tak terkejut. Ia sudah terbiasa dengan tatapan semacam itu. Sebelumnya, Leo juga pernah menatapnya dengan pandangan yang sama—penuh permusuhan.

”Apa kau ingin mengunjungi Lya? Dia ada di kos?” tanya Ben.

”Mana kutahu? Kau, kan pacarnya? Kenapa malah menanyakan hal itu padaku?” ketus Lulu.

Ben merasa tertusuk mendengar kalimat Lulu. Ya, dia memang pacar Lya—setidaknya masih ingin percaya begitu. Namun kenyataannya, ia bahkan tidak tahu di mana Lya berada sekarang. Ia tidak akan menanyakan hal itu jika tahu jawabannya. Tapi kini, yang tersisa hanyalah keresahan—karena ponsel Lya tak bisa dihubungi, seolah dunia benar-benar memutuskan jarak di antara mereka.

Lulu yang menyadari keresahan Ben hanya bisa menggaruk kepalanya, frustasi. Ya, bukan pada Ben, tapi pada Lya. Selama mengenal Lya, baru kali ini Lulu benar-benar merasa ingin menghajar sahabatnya itu saat itu juga.

”Pesanku tidak terkirim... Aku juga tidak tahu dimana Lya berada. Tapi aku tahu kemungkinan keberadaannya...” info Lulu, segera mendapat pandangan penuh harap.

“Di mana dia?” tanya Ben, nada suaranya tegas, seolah siap berangkat ke mana pun—bahkan ke ujung dunia—asal bisa menemukan Lya.

“Aku tidak yakin, sih… tapi mungkin dia pulang ke rumah? Aku mau ke sana untuk memastikan,” jawab Lulu, ragu.

Meski nada Lulu terdengar gamang, Ben justru merasa yakin. Entah kenapa, di antara semua kemungkinan yang berputar di kepalanya, hanya dugaan itu yang terasa masuk akal. Ia memilih mempercayai keraguan Lulu daripada kebingungan dirinya sendiri.

“Kita ke sana! Ayo!” seru Ben tanpa ragu, matanya menatap Lulu penuh tekad.

“Tunggu! Tunggu dulu!” cegah Lulu cepat. “Memangnya kamu tahu rumah Lya di mana? Itu tiga jam dari sini, lho!”

“Aku tahu!” Ben membalas cepat. “Lya pernah ngajak aku ke pantai yang sering dia kunjungi sama Kak Anna dan Leo. Sisanya tinggal kamu tunjukin, kan? Kamu juga mau ke sana, kan? Kalau begitu, ayo ikut aku saja.”

Tanpa sempat menambahkan sepatah kata pun, Lulu sudah duduk di kursi penumpang, sementara Ben memutar kunci dan menekan pedal gas. Mobil itu melaju menembus jalanan, menuju kota kecil tempat Lya berasal—yang kebetulan juga merupakan kampung halaman Lulu.

Faktanya, Lulu dan Lya bukan sekadar teman; mereka sudah saling mengenal sejak SMA. Dan diingatkan kembali bahwa Lulu menyukai Lya. Berduaan di mobil bersama kekasih orang yang ia suka terasa seperti mimpi buruk. Lehernya pegal karena terus memalingkan pandangan ke luar jendela, berusaha sekuat mungkin agar tidak menatap wajah Ben, seolah pandangan itu sendiri bisa menyalakan bara di dadanya.

“Kau… Lulu, bukan?” tanya Ben, mencoba memecah keheningan yang terlalu panjang.

“Ya. Tapi jangan sok akrab memanggilku begitu. Panggilan itu hanya untuk Lya,” tegas Lulu tanpa menoleh.

“Kalau begitu, aku harus panggil kamu apa?” Ben mencoba tersenyum kecil.

“Jangan panggil aku.”

Sunyi kembali menelan mereka. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, mengisi celah di antara dua orang yang sama-sama menahan diri. Ben cukup peka untuk tahu—Lulu jelas tidak menyukainya.

“Kau menyukai Lya?” tanya Ben akhirnya. Hanya itu alasan yang terasa masuk akal untuk sikap permusuhan Lulu terhadapnya.

Lulu menoleh sekilas, pandangannya tajam. “Kau tidak kelihatan terkejut, ya, mendengar perempuan menyukai perempuan lain?”

Ben mengangkat alis, matanya masih mantap menatap ke jalanan. “Bukan hal baru buatku… aku punya beberapa teman yang juga berbeda.”

Lulu tampak sedikit melunak mendengar ucapan Ben. Tidak banyak orang yang bisa menerima orientasi seksualnya tanpa menatap aneh. Ia memang tidak pernah menutupi siapa dirinya, tapi sikap lugasnya sering membuat orang menjauh.

Teman perempuannya bisa dihitung dengan jari, sementara banyak laki-laki keras kepala yang merasa bisa ’mengubahnya’ menjadi normal.

Lulu tidak pernah mengerti cara pikir seperti itu. Ia menyukai perempuan, ya, tapi bukan berarti ia jatuh hati pada setiap perempuan yang lewat. Baginya, perasaan tetaplah hal yang rumit—tidak sesederhana orientasi yang orang lain salah pahami.

“Kau… kenapa menyukai Lya?” tanya Lulu akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya—seolah ia sendiri ragu ingin tahu jawabannya.

Ben terdiam sejenak sebelum menjawab. “Awalnya aku cuma tertarik sama sosoknya yang penyendiri,” ujarnya pelan. “Tapi setelah aku menembaknya dan kami mulai pacaran, aku mulai lihat banyak sisi lain dari dirinya… hal-hal yang tidak pernah aku sangka ada pada Lya.”

Ia tersenyum tipis, menatap jalan di depan. “Dan entah kenapa, setiap kali aku tahu lebih banyak, aku malah makin ingin tetap di sisinya.”

Lulu menatap Ben dalam diam. Ada ketulusan yang jelas di matanya saat bercerita—tatapan yang penuh cinta. Tatapan yang, tanpa sadar, sama persis seperti yang dimilikinya setiap kali ia memikirkan Lya.

“Tapi kadang aku merasa ragu terhadap hubungan kami,” lanjut Ben, suaranya merendah. “Seperti sekarang… aku tidak tahu ke mana Lya pergi. Dia hampir tidak pernah cerita apa pun jika tidak kutanya...”

Ben menarik napas panjang, pandangannya kosong menatap jalan. “Aku bilang ke diriku sendiri untuk bersabar menghadapi Lya, tidak mendesaknya. Tapi sebagai manusia tidak bisa sabar selamanya, kan? Ada saatnya juga merasa goyah… seperti sekarang.”

Lulu bukannya tidak mengerti. Ia tahu persis perasaan itu—saat merasa sangat dekat dengan Lya, namun di saat yang sama terasa begitu jauh. Ada dinding tak kasatmata yang sulit ditembus, seolah Lya sengaja membangun jarak bahkan dari orang yang ingin menjangkaunya.

Meski menyukainya, Lulu sadar ada batas yang tidak bisa ia lewati. Ada hal-hal tentang Lya yang mungkin tidak akan pernah ia pahami sepenuhnya. Dan justru perasaan itu—antara ingin tahu dan harus menahan diri—yang membuatnya frustasi.

Lulu bukanlah siapa pun bagi Lya—hanya teman SMA yang kebetulan masih bertahan di lingkar kehidupannya. Ia tahu, ada seseorang yang selalu lebih dekat dengan Lya, seseorang yang tak pernah benar-benar pergi: Leo.

Menyukai Lya berarti juga harus menerima keberadaan Leo—teman masa kecil yang seolah punya tempat yang tak tergantikan di hati Lya.

Dan suatu hari, ketika Leo mengetahui perasaan Lulu, lelaki itu mengintimidasinya. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan tatapan dan kata-kata yang tajam, dingin, menusuk perlahan. Sedikit demi sedikit, kepercayaan diri Lulu runtuh, sampai akhirnya air mata mengalir tanpa izin dari matanya—panas, diam-diam, dan penuh rasa malu.

“Menyukai orang seperti itu memang menyakitkan…” ucap Lulu pelan. “Tapi aku mohon padamu, jangan pernah menyerah.”

Ben menatapnya sekilas, tapi Lulu terus berbicara.

“Lya berubah sejak terakhir kali kami masih rutin bertemu. Sekarang… dia lebih terlihat seperti manusia,” katanya, separuh tersenyum getir. “Dulu aku sempat cemas—dia seperti siap mati kapan saja. Aku takut, suatu hari benar-benar kehilangannya.”

Lulu menarik napas panjang. “Tapi sejak dia bilang ada seseorang yang ingin dia prioritaskan, aku sempat cemburu. Tapi setelah mengenalmu, Ben… kurasa aku bisa lega.”

Ia menoleh pelan, menatap Ben. “Kau sangat menyukainya, kan?”

Ben mengencangkan genggamannya di kemudi, buku-buku jarinya memutih. “Tentu saja,” ujarnya pelan namun tegas. “Meski seribu kali ragu… aku tidak pernah berniat melepaskannya.”

Ketika suasana di antara keduanya mulai mencair, suara dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan. Nada itu berasal dari ponsel Ben.

Refleks, ia menginjak rem dan menghentikan mobil di bahu jalan. Tangannya cepat meraih ponsel di dashboard, membuka pesan yang baru saja masuk.

Dalam sekejap, ekspresinya berubah—ketegangan yang tadi memenuhi wajahnya perlahan mencair. Sebuah napas lega lolos dari bibirnya.

((Aku pulang ke rumah orang tuaku... Maaf tidak menghubungimu dulu. Dari tadi ponselku tidak bisa menangkap sinyal))

Pesan dari Lya. Hanya satu pesan singkat, tapi cukup untuk meluruhkan seluruh keraguan yang sempat menguasai Ben. Dada yang sejak tadi terasa sesak kini perlahan mengendur. Ia menatap layar ponsel itu lama—seolah ingin memastikan kata-kata itu benar-benar nyata.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!