“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27. Ajakan pacaran
Aroma telur dadar baru matang memenuhi ruangan. Widya menuangkan teh hangat ke gelas, lalu duduk berhadapan dengan Arman.
“Masih panas, Mas. Pelan-pelan.” ucap Widya sambil mendorong piring.
Arman menatap sebentar, lalu tersenyum tipis. “Karena kamu yang nyiapin, panas pun jadi pengen cepet-cepet aku makan, Wid.”
Widya mendengus kecil. “Modusnya mulai.”
Arman hanya terkekeh lirih, kemudian menyendok nasi dengan tenang. Mereka makan beberapa suap dalam diam, hanya suara sendok yang terdengar. Tapi sesekali Arman melirik, memperhatikan cara Widya meniup suapan yang terlalu panas.
“Hari ini kelasmu siang ya, Wid?” tanya Arman memecah kesunyian.
“Iya,”
“Sayang sekali.” tambah Arman menyayangkan.
“Kenapa?”
“Aku nggak bisa nganterin kamu, nggak bakalan ada yang pegang pinggangku.” Arman mengedipkan menggoda.
“Gombalnya ngeri, ah.” Widya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Arman kembali terkekeh.
Setelahnya Arman mencondongkan badan sedikit, tidak berlebihan, cukup untuk membuat jarak mereka menipis. Lalu tngannya diam-diam menyodorkan piring berisi potongan telur dadar ke arah Widya.
“Coba yang ini, bagian tengah. Aku yakin rasanya lebih pas.”
Widya menoleh, ragu-ragu. “Aku kan udah makan, Mas. Udah tau rasanya.”
“Beda. Tadi kamu cuma makan bagian pinggir. Tengahnya lebih lembut,” jelas Arman, tenang tapi ada nada menggoda.
Widya akhirnya menurut, mengambil sedikit dengan garpu. Setelah mencicipi, ia mengangguk kecil. “Iya sih, lebih enak.”
Arman tersenyum puas. “Kan bener.”
Widya hanya tersenyum.
“Wid, akhir pekan besok, kita jalan-jalan yuk!” ajak Arman tiba-tiba.
“Jalan kemana?”
“Kemana aja, yang penting jalan, anggap aja pacaran.”
“Pacaran?” beo Widya.
“Iya, pacaran. Pacaran halal, kalau kamu nggak mau jalan, ya udah, kita pacaran di rumah aja. Mau nggak, jadi pacar aku?” cerocos Arman, Widya bengong.
“Wid, mau nggak?” desak Arman.
Widya meletakkan punggung tangannya di dahi suaminya, merasai suhu badan Arman. “Nggak anget kok.”
“Kamu tuh, nggak romantis sekali.” Arman mencebik.
“Ya Mas Arman sih, makin kesini makin banyak modusnya, makin aneh lagi.”
“Aneh apanya. Lah kan kita harus pacaran dulu, setelah itu….” Arman tidak meneruskan kalimatnya, ia hanya tersenyum, seraya menghabiskan sarapannya. Widya sendiri hanya diam, tapi wajahnya merona.
Arman lalu menaruh sendoknya, kembali mencondongkan badan, menatap Widya lekat-lekat. “Aku serius, Wid. Mau nggak, jadi pacar aku?”
Widya spontan mengalihkan pandangan. “Ya Allah… Mas, kita ini udah nikah. Ngapain lagi pacaran?”
“Justru itu,” sahut Arman cepat. “Kita kan nggak sempet pacaran. Masa kamu nggak mau ngerasain deg-degan ala anak pacaran sih?”
Widya pura-pura sibuk merapikan piring. Dalam hati sih tertarik dengan usulan Arman, kayaknya seru, pacaran setelah menikah.
Arman mengulurkan tangan, menggoyang pelan jemari Widya di atas meja. “Ayolah. Mulai hari ini, anggap aku cowok yang lagi deketin kamu. Kamu boleh jaim, boleh nolak, boleh pura-pura cuek. Tapi hati-hati, aku tipe cowok gigih. Sekali aku naksir, aku kejar sampai dapat.”
Widya tersenyum. “Ada gitu ya pake gaya kejar-kejaran.”
Arman nyengir. “Biar greget. Biar kita bisa saling jatuh cinta . Jadi, gimana, Wid… mau nggak, jadi pacar aku?” desak Arman.
Widya menghela napas, pura-pura mikir lama. “Hmm… nggak tau deh. Kalau pacaran sama Mas Arman, kayaknya ribet. Banyak modusnya.”
Arman langsung pura-pura manyun. “Yah, ditolak. Kasian banget aku.”
Widya langsung tertawa. “Yaudah deh, boleh. Tapi jangan kebanyakan gombal ya.”
“Kenapa? Takut kamu lumer duluan ya?” Arman mencolek dagu Widya, dan Widya hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.
“Jadi mulai hari ini, kita pacaran kan, Wid?” Arman memastikan. Widya mengangguk.
Sekejap wajah Arman berbinar, senyumnya melebar. “Asik! Mulai hari ini, kamu resmi jadi pacar aku. Kalau gitu aku boleh dong panggil kamu ‘sayang’?”
“Terserah mas Arman aja.” Widya menyerah, Arman dalam mode gigih merayu.
Arman langsung tersenyum lebar, lalu berdiri dan mendekati Widya.
“Tanda jadian kalau mulai hari ini kita pacaran,” muah muah, Arman mencium kedua pipi Widya secara bergantian. Widya hanya bisa mengedip-kedipkan kedua matanya, Arman hanya terkekeh, setelahnya bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.
“Sayang, aku berangkat ya.” pamit Arman sambil menggigit bibir bawahnya antara malu dan juga bahagia. Wajah Widya merona. Rasanya geli mendengar Arman memanggilnya ‘sayang’, tapi hatinya senang juga.
“Iya, hati-hati.”
“Kamu nggak cium aku, gitu? Biar semangat aku kerjanya.” tagih Arman.
Widya menghembuskan napasnya panjang, mendekat ke Arman, lalu mencium sekilas pipi Arman. Muah. Arman tersenyum lebar, lalu buru-buru naik ke atas motornya, kuatir telat sampai kantor karena kebanyakan modus.
------
Langit sore merona jingga saat suara motor Arman berhenti di depan rumah. Widya yang sedang menyapu teras menoleh, melihat suaminya membuka helm sambil tersenyum lebar.
“Sayang, aku pulang!” seru Arman, nadanya dibuat dramatis seolah baru pulang dari medan perang.
Widya mendengus, tapi ujung bibirnya terangkat. “Nggak usah lebay, Mas. Baru kerja seharian aja.”
Arman turun dari motor, mendekat, lalu dengan santainya meraih sapu di tangan Widya. “Sini, biar aku yang pegang. Kamu capek, kan?”
Widya heran. “Mas Arman? Sadar nggak sih, ini sapu, bukan buket bunga.”
Arman pura-pura menunduk, mengulurkan sapu itu ke Widya lagi seperti menyodorkan bunga. “Tapi kalau aku kasih sambil bilang ‘buat pacar aku’, kamu pasti luluh.”
Widya memutar bola matanya. “Ya ampun, baru pagi tadi jadiannya, sore udah begini.”
Arman terkekeh, lalu tiba-tiba menarik pergelangan tangan Widya, membawanya masuk. “Ayo, aku ada sesuatu.”
“Eh, apaan lagi modusnya, Mas?” Widya setengah protes, tapi menurut.
Begitu sampai ruang tamu, Arman menaruh helm di meja lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya, sebuah es krim cup. “Tadaaa! Buat pacar aku yang manis.”
Widya tak bisa menahan senyum. “Astaga, bawa es krim dari kantor?”
“Demi kamu. Aku titip di kulkas kantor, takut cair di jalan. Aku tau kamu suka rasa vanilla, kan?” ucap Arman, duduk santai di sofa.
Widya duduk di sampingnya, menerima es krim itu. “Hm… makasih.” Widya menyendok sedikit, tapi saat hendak menyuap, Arman mencondongkan wajah.
“Eh, aku nggak dapet bagian?” tanyanya dengan tatapan polos, padahal jelas modus.
Widya mendesah, lalu menyendokkan sedikit dan menyodorkannya ke mulut Arman. “Nih.”
Arman membuka mulut lebar-lebar, mengunyah sambil tersenyum. “Enak. Tapi ada yang lebih manis dari es krim.”
Widya sudah siap melawan gombalan. “Apa lagi?”
Arman dengan santai mencondongkan badan, lalu mencolek hidung Widya. “Pacar aku ini.”
Widya spontan menahan tawa. “Mas Arman, bisa nggak sih sehari aja nggak bikin gombal?”
“Nggak bisa,” jawab Arman cepat, lalu dengan berani mengecup singkat pipi Widya. “Udah kecanduan.”
Widya terdiam sepersekian detik, lalu refleks menatapnya. Dan sebelum otaknya sempat protes, ia balas dengan kecupan singkat di pipi Arman.
Kedua mata Arman membulat, lalu tersenyum lebar. “Lagi, Wid. Tapi disini.” Arman memajukan bibirnya.
“Nggak mau kalau yang itu, kita kan baru jadian pagi tadi.” tolak Widya.
“Terus, dapatnya kapan?”
“Kapan ya?” Widya pura-pura berpikir, “Tergantung Mas Arman bisa modusin aku apa nggak.”
“Beneran?” kedua mata Arman berbinar, Widya mengangguk.
“Awas ya kalau kamu bohong. Kamu lihat aja nanti.” ucap Arman penuh percaya diri, kalau dia bakal sukses modusin Widya.
“Udah, sana mandi!” Widya mendorong badan Arman, seraya dia kembali melanjutkan menyapu.
“Siap, pacarku yang manis.” ucap Arman seraya memberikan playing kiss ke Widya.
---