📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali bersama
Setelah sesi olahraga pagi yang melelahkan di halaman belakang Gedung Militaryum, Rom ambruk duduk di bangku kayu tua di pinggir lapangan. Tubuhnya basah keringat, napasnya tersengal-sengal, dan otot-ototnya berdenyut seperti setelah misi tempur sungguhan. Ia bersandar ke dinding beton, mata menatap kosong ke rumput hijau yang baru dipotong, mencoba redakan detak jantung yang masih kencang. Arloji di pergelangannya berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa hari baru saja dimulai—tapi baginya, ini cuma jeda sebelum kekacauan berikutnya, termasuk pelatihan heli siang ini.
Elesa kebetulan lewat dari arah kantin, tas selempang di bahu dan map strategi di tangan—mungkin baru selesai rapat pagi dengan Marckno. Ia berjalan cepat, mata menunduk ke tanah seperti ingin melewati tanpa terlihat, langkahnya ringan tapi tergesa. Rom lirik dia sekilas, hati berdegup aneh—grogi yang aneh, seperti remaja yang baru sadar perasaannya. Elesa juga lirik balik, tapi cepat alihkan pandang, pipinya memerah tipis. Tak ada kata-kata, hanya keheningan canggung yang menyelimuti mereka seperti kabut pagi.
Saat Elesa tepat lewat di depan Rom, suara tawa kasar Juliar mengusik ketenangan. Si "Pria Gorila" itu muncul dari belakang pohon, tubuh gemuknya bergoyang-goyang, tangan menepuk-nepuk perut seperti sedang hibur diri sendiri. "Cieee, cie, cieeeeee! Hahahaha, pasangan muda sepertinya kalian butuh bantuan nih!"
Rom mendengus kesal, wajahnya memerah bukan karena olahraga lagi. "Menyingkirlah, brengsek!" gumamnya pelan, tapi cukup tajam buat Juliar dengar.
Elesa berhenti jalan tiba-tiba, kakinya membeku di tempat, mata melebar kaget tapi nggak balik badan.
Juliar nggak berhenti, malah tambah semangat, suaranya nyaring seperti terompet rusak. "Jangan kayak gitu dong, Rom. Santai dibawa kalem aja. Ngobrol yang gak penting dulu, nanti pasti kerasa nyaman. Ayolah, aku cuma bantu. Coba lah Rom tanyakan..." Ia berbalik ke Elesa, senyum lebar seperti badut. "Apa Elesa sudah makan? Sudah mandi? Apa sudah... ehmmm, kalau belum punya pacar, Rom yang ganteng ini siap—"
Plakk! Rom tendang pinggang Juliar tepat sasaran, nggak keras tapi cukup bikin si gemuk itu meringis dan mundur selangkah. "Aduh! Oke-oke, kalian lanjutkan tanpa aku. Hahaha, selamat bersenang-senang!" Juliar pergi sambil geleng-geleng kepala, langkahnya cepat menuju gedung, tapi tawa kecilnya masih bergema pelan.
Sekarang, tersisa Rom dan Elesa di situ—sama-sama grogi, udara tebal seperti tak bisa bernapas. Elesa nggak pergi, malah berdiri diam beberapa saat, tangannya meremas ujung tas seperti mencari pegangan. Rom garuk kepala, coba mulai obrolan. "Ell... aku ga marah padamu," katanya pelan, suara serak karena kelelahan.
Elesa menoleh pelan, tatapannya ragu, bibirnya bergetar tipis. "Aku... juga tidak..." jawabnya, suara hampir bisik.
Rom angguk-angguk, coba senyum kecil. "Aku minta maaf, karena nggak membalas pesanmu... Aku—"
Elesa potong cepat, tapi lembut. "Kamu sibuk dengan urusan heli kan? Aku... kamu semangat ya."
"Ya, aku semangat. Makasih... dan aku minta maaf lagi," balas Rom, tatapannya tulus.
Elesa goreskan rambut di balik jilbabnya. "Harusnya aku yang minta maaf. Kamu pasti kesal sama temenku kemarin ya? Maaf, aku ga punya niat bikin kalian bertengkar sebenarnya."
Rom kaget, mata melebar. "Loh, bukankah dia pacarmu?"
Elesa gelengkan kepala pelan, wajahnya memerah lagi. "Ga lagi. Aku putus dengannya."
Rom geser tubuhnya di bangku, secara tak langsung beri ruang buat Elesa duduk di sebelahnya. "Kenapa emang?"
Elesa ragu sebentar, tapi akhirnya duduk—justru mepet ke Rom, bahu mereka hampir bersentuhan. "Ya... susah kalau diceritain. Kamu ga bakal paham."
Rom senyum miring, tatapannya hangat. "Cerita aja. Aku bakal dengar."
Elesa terkikih kecil, suara ringan yang bikin hati Rom meleleh. "Oke, aku cerita. Tapi kamu jaga rahasia ya?"
Rom angguk tegas, geser duduk lagi biar ruang lebih longgar—tapi Elesa malah deketin lagi. "Dia aneh, padahal dia bilang pengen jaga aku. Masak setelah kejadian kemarin, dia bilang aku murahan—tidur di rumah cowok sama aja kasih kesempatan buat disentuh."
Rom tersentak, wajahnya penuh penyesalan. "Aku minta maaf. Aku beneran ga sentuh kamu. Aku cuma... bawa pulang karena mabuk berat."
Elesa senyum ke arah Rom, mata berbinar. "Aku ga percaya, maaf. Sekalipun kamu ulang terus kata itu."
Rom goreskan kepala, bingung. "Tapi kau ga merasa sesuatu... em, maksudku kalau aku perkosa kamu... harusnya... sakit atau apa gitu."
Elesa nepuk tengah pahanya pelan, suara plok ringan. "Ini bakal sakit kan? Engga, ini ga sakit. Tapi setidaknya aku di kamar mu, ga nutup kemungkinan kau nakal—sekalipun belum sampai ke..." Matanya melirik ke bawah sebentar, lalu balik ke mata Rom, pipinya merah jambu.
Rom mengangguk pelan, suara serak. "Emmm... aku..."
Elesa potong lagi, tapi nada main-main. "Aku ga percaya okeee..."
Rom menunduk, tangan meremas lutut. "Gara-gara aku kamu jadi putus. Aku benar-benar ga kepikiran. Kayaknya aku memang kelewatan."
Elesa gelengkan kepala, tangannya menyentuh lengan Rom pelan—sentuhan ringan yang bikin Rom tersentak. "Setidaknya aku lebih bebas. Tanpa dia, aku bisa ke manapun tanpa larangan, tanpa dikekang orang posesif." Ia benarin jilbabnya, gerakan anggun yang bikin Rom tersenyum dalam hati.
"Apa kamu ga marah lagi sama ku?" tanya Rom, suara lebih lembut.
Elesa terkekeh, suara seperti musik. "Ga... ga mungkin ku maafin maksudnya." Tapi matanya bilang sebaliknya—hangat, penuh godaan.
Rom melerik samping, tatapannya penuh rasa bersalah tapi lega. "Aku janji, besok aku balas pesanmu satu-satu. Dan... kalau ada waktu, mungkin kita bisa ngopi bareng? Bukan di kantin sini, tapi di luar—kalau kamu mau."
Elesa kikih lagi, tangannya masih di lengan Rom. "Ngopi? Serius? Oke, tapi kamu yang traktir. Dan cerita dong soal heli Apache mu—aku penasaran gimana rasanya komando dari atas."
Rom tertawa kecil, pertama kali hari ini. "Deal. Tapi jangan kaget kalau ceritanya lebih chaos daripada misi kemarin." Mereka duduk lebih dekat sekarang, obrolan mengalir seperti air—dari heli ke cerita konyol Juliar, sampai rencana akhir pekan. Grogi tadi hilang, diganti keakraban yang hangat, seperti teman lama yang baru sadar betapa cocoknya mereka. Arloji Rom berdetak pelan, tapi kali ini seperti irama lagu bahagia.
Setelah bercerita panjang soal misi kemarin—bagaimana helikopter Apache nyaris kena rudal balik, koordinasi yang kacau dengan Air-Rium, dan frustrasi yang bikin Rom merasa seperti jongleur yang pegang terlalu banyak bola—mereka diam sebentar. Udara di halaman belakang Militaryum terasa lebih ringan sekarang, angin pagi menyapu daun-daun kering di tanah, dan suara jauh tim Shadaq yang lagi briefing terdengar samar. Rom lirik Elesa, wajahnya yang lembut di bawah jilbab rapi, dan tiba-tiba paham sesuatu yang selama ini dia abaikan.
"Aku paham sekarang kenapa kamu sering merenung, Ell," kata Rom pelan, suaranya campur lelah dan pengertian, tangannya menyeka keringat di dahi. "Memimpin lebih sulit ketimbang cuma menjalankan perintah. Kayak aku kemarin—semua detik di langit terasa seperti beban, bukan cuma naik turun."
Elesa terkekeh kecil, suara ringan yang bikin mata Rom berbinar. Ia miringkan kepala, tangannya memainkan ujung jilbab seperti kebiasaan saat santai. "Itu sebabnya aku kadang galak. Harus tegas, biar tim nggak goyah. Tapi di dalam... ya, capek juga."
Mereka kembali ke obrolan santai, seperti yang Juliar ajarkan tadi—ngobrol gak penting dulu, biar alami. Rom senyum miring, tatapannya hangat ke Elesa yang duduk mepet di bangku. "Apa kamu udah makan?"
Elesa lirik manja ke arahnya, bibirnya melengkung tipis, mata berbinar seperti anak kecil yang lagi main rahasia. "Udah dong, makan tepat waktu biar ga mules."
Rom tertawa kecil, suara garing tapi lega. "Haha, iya juga. Udah minum? Aku bawa minum nih." Ia angkat botol air dari tas olahraganya, tapi mata Elesa sudah bilang lain.
"Minum air putih udah. Yang belum... emmmm," balas Elesa, suaranya turun jadi bisik genit, tangannya menyentuh lengan Rom pelan—sentuhan ringan yang bikin kulit Rom merinding.
Rom goreskan kepala, tapi senyumnya melebar. "Kamu ini... mau lagi emang?"
Elesa angguk pelan, tatapannya manja penuh harapan, seperti lagi nunggu undangan spesial. "Kalo kamu ajak, aku mau."
Rom mata melebar, suara naik nada tipis karena kaget tapi excited. "Bener nih?"
Elesa angguk lagi, lebih tegas, bibirnya menggigit bawah pelan. "Mau banget. Minum bareng kamu, terus tidur... ehh, kamu jangan nakal kalo aku tidur ya."
Rom tersentak, wajahnya memerah campur bingung. "Loh kok sekarang kayak ngijinin? Padahal kemarin..."
Elesa gelengkan kepala cepat, tangannya naik ke bahu Rom—tekanan lembut yang bikin dada Rom berdegup. "Aku? Ngijinin? Aku lakuin yang aku mau... inget ya, kamu jangan nakal tapi, kalo di sebelahku. Apalagi pas aku tidur."
Rom telan ludah, suara serak. "Emang..."
Elesa tutup mulut Rom dengan jari telunjuknya, gerakan cepat tapi intim, napasnya dekat sekali ke wajahnya. "Jangan keras-keras. Kita udah pernah kan... udah terlanjur kali. Lagi gapapa, tapi jaga batas."
Rom angguk pelan, tangannya balik pegang tangan Elesa—pegangan ringan yang bikin sensasi hangat naik dari perut. "Aku ga mungkin bisa tahan lah, apalagi posisi mabuk. Kita juga harus jaga jarak biar aman."
Elesa mundur sedikit, tapi senyumnya masih ada, mata melebar genit. "Okee... kalo kamu ga yakin yaudah. Kalo selesai, kita langsung pulang."
Rom tersenyum lebar sekarang, tatapannya penuh janji. "Jadi... malam ini kita bakal berdua ya?"
Elesa angkat bahu pelan, suaranya manja. "Terserah, kamu mau ajak aku ga. Kalo mau, ya aku ga bakal nolak."
Rom tersenyum lebih lebar, tangannya geser ke pinggang Elesa sekilas—sentuhan cepat yang bikin Elesa tersentak tapi nggak mundur. "Mau di mana?..."
Elesa tersenyum panas, mata berbinar seperti api kecil yang lagi nyala. "Tempat yang spesial."
Rom miringkan kepala, suara penuh penasaran. "Spesial? Kamu yang pilih, aku nurut. Aku bayar."
Elesa dekatkan wajahnya lagi, bisik pelan tapi tegas, napasnya menyapu telinga Rom. "Tempat... tempat kita bisa berdua..."
Rom tertawa kecil, tangannya angkat seperti hormat. "Baik bu... laksanakan." Mereka bangkit bareng, langkah selaras menuju parkiran—udara pagi terasa lebih hangat sekarang, dan arloji Rom berdetak seperti irama baru yang penuh kemungkinan. Malam ini, mungkin bukan cuma minum dan tidur—tapi awal sesuatu yang lebih dalam, dengan batas yang mereka janji jaga, meski godaan sudah mengintip.