Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Udara pagi masih segar, jalanan kota mulai dipadati orang yang bergegas menuju aktivitas masing-masing. Burung-burung berkicau samar di antara bising klakson, dan sinar matahari baru saja menyelinap di antara gedung-gedung tinggi.
Chesna berjalan kaki dengan langkah ringan namun terburu, seragam sekolahnya rapi. Di tangannya ada roti bekal yang ia gigit sambil sesekali menyeruput teh hangat dari sedotan kecil. Rambutnya yang belum sempat dikuncir bergoyang mengikuti irama langkahnya. Bagi Chesna, berjalan kaki ke sekolah adalah rutinitas biasa, ia bahkan menikmatinya, meski kadang membuatnya sedikit kelelahan.
Sampailah ia di zebra cross yang ramai. Lampu merah menyala, membuat barisan mobil dan motor berhenti rapi. Chesna menunggu sebentar, lalu melangkah dengan percaya diri menyeberangi jalan.
Di salah satu mobil sport hitam yang mencolok, duduk Gideon di kursi pengemudi. Ia sedang menyalakan musik pelan, wajahnya bosan dengan rutinitas macet pagi hari. Namun pandangannya tiba-tiba tertarik pada sosok yang melintas di depan mobilnya.
Mata Gideon menyipit, menajamkan fokus. “Itu…” gumamnya pelan.
Seketika memorinya terlempar pada kejadian beberapa hari lalu, insiden tabrakan kecil di lorong sekolah, saat seorang cewek menantangnya dengan tatapan menyebalkan tanpa rasa takut sedikit pun. Cewek yang membuatnya kesal setengah mati.
Kini, cewek itu ada di hadapannya. Tapi berbeda dari bayangan di lorong sekolah, kali ini Gideon melihat lebih jelas, tas yang terlihat bukan barang mahal, sepatu yang jelas-jelas bukan keluaran terbaru. Ditambah lagi, cara gadis itu berjalan penuh percaya diri, meski jelas ia berasal dari kalangan biasa.
Alis Gideon terangkat. “Apa-apaan ini? Cewek itu… dia jalan kaki ke sekolah?” gumamnya, setengah tak percaya.
Sebuah pertanyaan besar berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin gadis seperti itu bisa masuk ke sekolah bergengsi, sekolah yang biasanya hanya dipenuhi anak-anak dari keluarga kaya raya dan terpandang?
Gideon mencondongkan tubuhnya sedikit, mencoba memastikan wajah gadis itu. Dan benar, tidak salah lagi, itu si cewek pemberani yang menantangnya tanpa gentar.
Namun Chesna sama sekali tidak menyadari tatapan tajam yang mengikutinya. Ia tetap berjalan lurus, menyeberang dengan santai, dan melanjutkan langkah menuju sekolah
Lampu lalu lintas kembali hijau, membuat Gideon tersadar. Ia menginjak gas, mobil mewahnya kembali melaju. Tapi pikirannya tertinggal di zebra cross tadi.
“Cewek rendah itu… apa yang dia lakukan di sekolahku?” bisiknya, semakin penasaran.
___
Sejak pagi di zebra cross itu, bayangan Chesna tidak bisa hilang dari kepala Gideon. Mobil mewah, rumah besar, segala fasilitas serba ada, itulah dunia yang selama ini ia kenal. Jadi, melihat gadis dengan seragam pudar dan langkah penuh percaya diri berjalan kaki menuju sekolah bergengsi sekelas mereka, membuat Gideon semakin bingung.
“Dia siapa sebenarnya? Anak siapa?” pikirnya sambil menggigit ujung pensil, duduk di kelas sambil pura-pura mencatat.
Di jam istirahat, rasa penasarannya semakin memuncak. Gideon duduk bersama gengnya, anak-anak populer yang selalu menjadi pusat perhatian. Namun, matanya sibuk menelusuri halaman sekolah, mencari sosok yang sudah membuatnya kesal sekaligus heran.
Dan di sanalah ia melihatnya. Chesna duduk di bawah pohon rindang, membuka bekal makan siangnya yang sederhana. Kotak makan plastik yang sudah agak tergores, isi nasi dengan lauk tempe goreng dan sambal kecil di sampingnya. Sementara kebanyakan murid lain memilih jajan di kantin mahal dengan gaya elit, Chesna tampak begitu santai menikmati bekalnya.
“Gila, dia nggak malu sama sekali?” gumam Gideon, mencondongkan tubuhnya agar lebih jelas melihat.
Namun yang membuat Gideon lebih terkejut adalah cara gadis itu tertawa kecil bersama seorang temannya, Shenia. Tawa itu lepas, tanpa beban, dan entah kenapa terasa asing bagi Gideon. Sesuatu yang jarang ia lihat di lingkaran pertemanannya yang penuh kepura-puraan.
Saat matanya terus mengikuti Chesna, salah seorang teman gengnya menepuk bahunya.
“Eh, bro, ngeliatin siapa sih dari tadi?” tanyanya dengan nada menggoda.
Gideon cepat-cepat mengalihkan pandangan, wajahnya berubah dingin.
“Nggak ada. Kamu aja yang kepo,” jawabnya ketus.
Tapi dalam hati, ia tahu jelas. Sejak kejadian di lorong sekolah, ditambah pertemuan tak sengaja di zebra cross, rasa kesal itu berubah menjadi rasa penasaran yang sulit ditepis.
___
Matahari sore menggantung, menyinari barisan mobil-mobil mewah yang berjejer di depan gerbang. Para siswa bergiliran masuk ke kendaraan keluarganya.
Chesna keluar dengan tas di punggung, melangkah tenang sambil mengeratkan botol minum yang tadi sempat ia isi ulang.
“Chesna!” panggil suara riang.
Chesna menoleh, mendapati Shenia berlari kecil menghampirinya. Rambut Shenia terikat rapi, dan senyum manisnya seakan menularkan semangat. Di belakangnya, seorang supir tengah menunggu di samping sedan hitam mengilap.
“Kamu mau langsung pulang, kan? Yuk, bareng aku aja,” ujar Shenia dengan nada ringan, menunjuk ke arah mobil. “Supirku bisa antar kita sekalian. Daripada kamu jalan kaki jauh-jauh. Panas, capek, belum lagi debu.”
Chesna sempat terdiam sejenak. Hatinya hangat mendengar kepedulian itu, tapi ia juga merasa tak enak. Baginya, ikut naik mobil mewah rasanya seperti masuk ke dunia yang bukan miliknya. Belum lagi, ada beberapa teman yang suka menghinanya secara terang-terangan.
Chesna tersenyum kecil, berusaha menolak dengan halus. “Makasih banget, Shenia. Tapi aku nggak apa-apa kok, biasa jalan. Lagian kos-ku nggak terlalu jauh.”
Shenia mengerutkan kening, jelas belum puas dengan jawaban itu. “Nggak terlalu jauh? Kamu kan tiap hari jalan kaki, aku sering lihat. Jujur aja, pasti capek, kan?”
Chesna tergelak kecil, meski senyumnya agak kaku. “Ya, capek sih... tapi aku sudah terbiasa. Lagi pula, jalan kaki sekalian bikin sehat.”
Shenia menatapnya lekat-lekat, seperti ingin memastikan temannya tidak sungkan. “Kalau kamu nggak enak sama aku, jangan dipikirin. Aku tulus kok. Kamu temenku, jadi wajar kalau aku pengin kamu nyaman.”
Kali ini, tatapan Chesna sedikit melembut. Ia tahu Shenia tulus, tapi tetap tak ingin membebani atau memberi kesan menumpang pada kehidupan temannya yang jauh berbeda dengannya. “Aku ngerti, Shen. Makasih ya. Tapi untuk sekarang aku lebih suka jalan sendiri dulu. Rasanya... lebih bebas.”
Shenia menarik napas, lalu tersenyum lagi meski jelas ada sedikit kecewa. “Oke, kalau itu maumu. Tapi janji ya, kalau suatu hari kamu butuh tumpangan, jangan sungkan ngomong.”
“Janji,” jawab Chesna sambil menepuk ringan lengan sahabatnya itu.
Shenia kemudian melambaikan tangan sebelum masuk ke mobilnya. Sedan hitam itu perlahan melaju pergi, meninggalkan Chesna yang berdiri sendirian di tepi jalan, siap menapaki perjalanan panjang menuju kosnya.
Namun langkahnya terasa ringan karena ia tahu, meski menolak, ia punya seorang teman yang tulus peduli padanya.
Parkiran sekolah bergengsi itu riuh dengan suara mesin mobil mewah, deru motor gede, dan tawa siswa-siswa kaya yang baru saja selesai jam pelajaran. Di antara deretan mobil-mobil kinclong, Gideon berdiri santai sambil memainkan kunci mobil sport miliknya. Beberapa teman cewek memperhatikannya sambil bisik-bisik, namun tatapan Gideon melesat ke arah lain.
Ia melihat sosok yang baru saja keluar dari gerbang kecil samping sekolah. Chesna.
Dengan tas punggung besar dan kertas-kertas tugas yang terlipat di pelukan, gadis itu berjalan cepat melewati parkiran tanpa sedikit pun menoleh. Keringat menetes di keningnya, tapi langkahnya tegap, wajahnya datar.Gideon refleks mengernyit. Dia lagi. Cewek menyebalkan itu.
Ia sempat mengingat tabrakan memalukan di lorong beberapa waktu lalu. Tiba-tiba, rasa jengkel itu naik lagi, terutama saat melihat Chesna tak memberi satu pun lirikan, seolah ia hanya “bayangan tak penting” di sekitar sekolah.
Gideon mendengus kecil, suara khasnya membuat dua teman cewek langsung menoleh.
“Kenapa, Gid?” tanya salah satunya manja.
“Bukan apa-apa.” Gideon mengibas tangan malas, tapi matanya tetap mengunci ke arah Chesna yang makin jauh.
Chesna berhenti sebentar di depan minimarket kecil dekat pagar parkiran untuk membeli beberapa kepaerluannya lalu duduk di pinggir trotoar, meminum air mineralnya. Lagi-lagi, tanpa sadar Gideon memperhatikan. Kontras itu begitu jelas. Semua anak di sekolah ini biasanya menghabiskan waktu di café mewah atau nongkrong di pusat perbelanjaan, sedangkan gadis itu duduk santai dengan minuman seharga koin receh.
Apa dia nggak malu? pikir Gideon geram. Sama sekali nggak cocok di sekolah ini.
Semakin lama diperhatikan, semakin Gideon kesal sendiri. Bukannya menunduk atau gelisah sadar sedang diperhatikan, Chesna malah asyik membuka buku catatan sambil menggigiti sedotan. Wajahnya tenang, bahkan sesekali tersenyum kecil membaca tulisannya sendiri.
“Kurang ajar,” gumam Gideon lirih.
Temannya menoleh lagi. “Apa sih, Gid?”
“Enggak,” jawabnya cepat, lalu memasukkan kunci mobil ke saku celana. Tapi hatinya tetap panas.
Saat Chesna berdiri lagi, membereskan catatan dan berjalan, Gideon tersadar dirinya mengikuti sosok itu dengan tatapan sampai menghilang di tikungan.
Kenapa aku harus mikirin cewek itu lagi? batinnya kesal. Dia bukan siapa-siapa. Tapi kenapa bisa seenaknya masuk ke sekolah ini, dan bahkan… nggak peduli gue sama sekali.
Gideon akhirnya masuk ke mobil, menghentakkan pintu lebih keras dari biasanya. Di dalam, ia menyalakan mesin dengan suara meraung, seolah ingin melampiaskan kekesalannya. Tapi semakin keras suara mesin, semakin kencang pula wajah Chesna menempel di pikirannya.
___
Bersambungggg..