Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah beberapa hari di rumah sakit, Karan kembali sibuk menyiapkan pernikahannya dengan Helena.
"Mas, sarapan dulu." ucap Helena sambil menutup laptop Karan.
Karan menghela nafas panjang sambil menarik pinggang istrinya.
"Sayang, kenapa semakin hari kamu semua cantik saja." ucap Karan.
Helena tersenyum dan mencium kening suaminya.
"Masih pagi jangan ngegombal, Mas. Dilihatin sama Bi Fia, sama Dion".
Karan tersenyum nakal sambil menatap Helena yang tersipu malu.
“Kalau begitu, aku akan gombal diam-diam saja, biar cuma kamu yang dengar,” bisik Karan sambil memeluk pinggang istrinya lebih erat.
Helena tertawa pelan, lalu menepuk dada Karan lembut.
“Sudah-sudah, Mas. Sarapan dulu biar nggak pingsan di tengah persiapan pernikahan.”
Karan mengangguk, lalu duduk di meja makan yang sudah disiapkan Bi Fia.
Helena duduk di sampingnya, menu sarapan sederhana tapi hangat tersaji di depan mereka.
“Hel, aku nggak sabar ingin melihatmu di hari pernikahan kita nanti. Aku janji, aku akan membuat hari itu menjadi momen paling indah untukmu.”
Helena tersenyum manis, menatap mata suaminya.
“Aku juga nggak sabar, Mas. Aku ingin hari itu menjadi awal baru untuk kita, tanpa drama, tanpa takut, hanya kita berdua dan bahagia.”
Keduanya saling bertatapan, senyum dan rasa cinta mereka terasa hangat, seakan semua konflik dan ketegangan yang lalu hanyalah bayangan masa lalu yang kini tertinggal jauh.
Bi Fia masuk sambil menyiapkan teh hangat dan beberapa minuman hangat lainnya.
“Tuan, Nyonya, jangan lupa minum teh hangatnya biar perutnya nyaman setelah sarapan.”
“Terima kasih, Bi. Kita berdua pasti sehat terus, ya, Hel?”
Helena mengangguk sambil menatap Karan yang sedang menikmati teh hangatnya.
“Iya, Mas. Kita jalani semuanya bersama-sama, dari awal lagi.”
Setelah selesai sarapan mereka berdua menuju ke butik untuk mencari gaun pengantin
Sesampainya di butik, Karan meminta istrinya untuk masuk terlebih dahulu.
"Aku terima telepon dulu ya, sayang." ucap Karan yang ponselnya tiba-tiba berdering.
Helena menganggukkan kepalanya dan ia masuk kedalam butik.
Saat masuk ia melihat pelayan butik yang menatapnya dengan sinis.
"Apakah saya boleh melihat-lihat dulu?" tanya Helena.
Pelayan itu tertawa kecil sambil mengejek Helena.
"Wanita kampungan seperti kamu, nggak pantas berada disini." ucap pelayan sambil mendorong tubuh Helena.
Helena terhuyung ke belakang saat pelayan itu mendorongnya dengan kasar, tubuhnya hampir tersandung meja pajangan.
“Arghh!” Helena terjatuh ke lantai, tangannya sedikit memegangi pinggangnya yang sakit. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.
Karan yang sedang menelpon di luar butik mendengar keributan itu. Tanpa ragu, ia segera masuk ke butik, wajahnya tegang dan amarahnya membara.
“Hei! Apa yang kau lakukan padanya?!” teriak Karan sambil melangkah cepat ke arah pelayan itu.
Pelayan itu menoleh, tersenyum sinis. “Ah, suaminya datang. Apa yang bisa kau lakukan, orang biasa?”
Karan menatap pelayan itu dengan mata membara, langkahnya mantap mendekat. Dalam sekejap, ia menampar pelayan itu dengan pukulan keras, hingga tubuh pelayan itu terhuyung ke belakang dan menabrak rak pajangan.
“Jangan pernah lagi menyentuh istri atau orang lain seenaknya!” suara Karan bergema di seluruh butik, penuh aura yang membuat bulu kuduk merinding.
Para pengunjung butik terdiam, menatap Karan dengan rasa takut campur kagum. Pelayan itu sendiri terkapar di lantai, memegangi pipi yang memerah, matanya penuh ketakutan.
Seorang manajer butik yang kebetulan muncul dari ruang kantor langsung terkejut melihat Karan.
“Tuam Karan...” gumam manajer sambil menatap Karan dengan campuran rasa takut dan hormat.
Karan menatap manajer itu tajam, matanya dingin tapi terkendali.
“Pelayan yang memperlakukan pelanggan seperti itu tidak pantas bekerja di sini. Saya ingin dia dipecat sekarang juga, dan pastikan semua staf mengerti bahwa saya tidak main-main,” ujar Karan dengan suara tegas.
“Ya, Tuan. Semua akan saya urus segera.”
Karan menoleh ke arah Helena, wajahnya kembali lembut.
Ia membantu istrinya berdiri dan memeriksa apakah ia baik-baik saja.
“Hel, kamu tidak apa-apa?” tanya Karan lembut, tangannya tetap menggenggam lengan istrinya dengan penuh perlindungan.
"Aku, baik-baik saja, Mas. Terima kasih sudah datang tepat waktu.”
Karan menarik napas panjang, menenangkan amarahnya.
Ia menatap butik yang kini sunyi, semua staf menunduk takut, dan pelayan yang menyinggung Helena masih terpaku di lantai.
“Kalau kau pikir bisa mengintimidasi istriku, kau salah besar,” bisik Karan.
Karan menghubungi Dion untuk menutup butik yang ada disini.
Manager memohon agar Karan tidak menutup butiknya.
"Mas, jangan ditutup butik ini. Beri satu kesempatan lagi," pinta Helena yang tidak tega melihat manager butik yang memohon kepada Karan.
Karan menghela nafas panjang sambil menatap wajah istrinya.
"Baiklah sayang, karena ini permintaan kamu. Aku tidak jadi menutupnya. Dan sekarang kita cari butik yang lain." ajak Karan.
Helena menganggukkan kepalanya dan mereka kembali mencari butik pengantin.
"Mas, Mas. Sepertinya butik ini bagus,"
Helena menggandeng tangan suaminya dan mengajaknya masuk.
Pemilik butik langsung tersenyum kecil saat ada pembeli pertama.
"Silahkan masuk."
Helena tersenyum tipis dan ia melihat beberapa gaun yang ada disana.
"Maaf sebelumnya, apakah kamu Helena putri Pak Baskoro?" tanya pemilik butik.
Helena terkejut mendengar pertanyaan Sinta dan menatap pemilik butik itu sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Iya, saya Helena. Kamu siapa?" tanya Helena.
Pemilik butik itu langsung memeluk Helena dan mengatakan kalau ia Sinta temannya saat di sekolah dasar.
"Sinta? Sinta yang dulu bantu aku saat jatuh di kantin?"
Sinta menganggukkan kepalanya dan ia menunjukkan foto masa kecil mereka berdua.
Helena menatap foto itu, senyum hangat muncul di wajahnya.
“Iya… kamu yang dulu selalu bantu aku kalau aku jatuh, ya? Wah, nggak nyangka ketemu kamu lagi setelah sekian lama,” ujar Helena sambil tersenyum penuh kenangan.
Sinta tersenyum lebar, matanya bersinar penuh kegembiraan.
“Iya, Helena! Aku nggak percaya bisa ketemu kamu lagi. Dan… selamat ya, dengar-dengar kamu mau menikah dengan Karan!”
Helena tersipu malu dan menatap Karan sebentar, lalu menoleh kembali ke Sinta.
“Terima kasih, Sinta. Iya, aku dan Karan akan menikah. Makanya aku lagi cari gaun pengantin yang cocok,” jelas Helena sambil menatap rak-rak gaun di butik.
Karan yang berdiri di sampingnya tersenyum tipis, menatap interaksi Helena dengan hangat. Ia merasa lega melihat istrinya bisa tersenyum tulus, tanpa beban masa lalu.
Sinta menepuk tangan kecilnya, lalu menunjuk ke beberapa gaun.
“Ayo, aku bantu pilihkan beberapa gaun yang cocok buatmu, Helena. Aku masih ingat seleramu waktu kecil, tapi sekarang kita bisa pilih yang elegan dan anggun buat hari spesialmu.”
Helena tersenyum bahagia, merasa hangat melihat perhatian temannya.
“Terima kasih, Sinta. Aku senang kamu masih ingat semuanya,” ucap Helena sambil mulai menelusuri gaun-gaun yang disarankan.
Karan menatap mereka berdua, lalu menepuk bahu Helena dengan lembut.
“Hel, pilih yang kamu suka. Aku percaya selera kamu. Yang penting kamu bahagia di hari pernikahan kita,” ujar Karan.
“Aku bahagia, Mas. Sekarang semua terasa lebih mudah karena ada kamu di sini.”
Sinta mengambil beberapa gaun dan mulai menyiapkannya untuk Helena mencoba.
“Ayo coba ini dulu, Helena. Pasti cocok sama kamu,” ucap Sinta sambil menyerahkan gaun berwarna pastel lembut yang elegan.
Helena mengambil gaun itu dan berjalan ke ruang ganti, sementara Karan menunggu di kursi dekatnya, menatap istrinya dengan penuh cinta.
Beberapa saat kemudian, Helena keluar dari ruang ganti mengenakan gaun yang dipilih Sinta.
Karan sejenak terdiam, matanya berbinar kagum melihat kecantikan istrinya.
“Hel, kamu cantik sekali,” bisik Karan, suaranya penuh kekaguman dan kelembutan.
Helena tersipu malu, menundukkan kepala sebentar, lalu menatap Karan dengan senyum hangat.
“Mas, terima kasih. Aku merasa seperti putri di hari pernikahan kita nanti,” ucap Helena, matanya berkaca-kaca karena bahagia.
Sinta menepuk tangan kecil, tersenyum lega melihat Helena bahagia.
“Luar biasa, Helena! Gaun ini benar-benar cocok sama kamu. Kamu terlihat anggun dan elegan.”
Karan meraih tangan Helena, menggenggamnya erat.
“Hel, aku janji di hari itu kalau aku akan membuatmu merasa istimewa. Selamanya, aku hanya ingin kamu bahagia.”
Helena menatap mata Karan, hatinya dipenuhi rasa tenang dan cinta.
“Mas, aku percaya sama kamu. Sekarang kita mulai lembaran baru ini, dan aku tahu, kali ini semua akan sempurna,” jawab Helena sambil tersenyum .
Setelah itu Helena segera melepas gaun pengantinnya dan memberikannya kepada Sinta.
Sinta membungkus nya dan memberikannya kepada Helena.
"Tidak usah bayar, Hel. Anggap saja Iki hadiah dari aku."
Helena menggelengkan kepalanya dan ia tidak mau jika tidak membayar.
Karan menaruh sebuah cek dan undangan pernikahan mereka berdua.
"Terima kasih atas semuanya, Sinta." ucap Helena.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, Hel. Kamu pembeli pertamaku setelah beberapa bulan ini sepi pembeli" ujar Sinta.
Karan mengambil ponselnya dan meminta Dion untuk merenovasi butik Sinta.
Ia juga meminta Dion untuk mengiklankan butik Sinta.
"Setelah ini, butik kamu akan ramai dan kamu akan kewalahan menghadapi mereka." ucap Helena.
Sinta mengangguk kecil dan kembali memeluk Helena.