Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Yang Berbisik
Pasukan Hale mendirikan kemah di bawah langit tanpa bintang. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah bercampur abu.
Edrick duduk sendirian di luar tenda, Ashenlight tergeletak di pangkuannya. Cahaya biru samar merembes dari bilahnya, meski tak ada api atau obor di dekatnya.
Tangannya menyentuh gagang pedang itu, dan tiba-tiba… suara terdengar. Bukan keras, tapi berbisik, seolah berasal dari jauh di dalam dadanya.
“Edrick… warisanku… api ini bukan hanya cahaya, tapi ujian. Jangan gentar, karena bila kau goyah, api biru akan padam.”
Edrick terdiam, napasnya berat. Ia menutup mata, dan suara itu semakin jelas, menyerupai gaung dari leluhur yang lama terkubur.
“Lawan bukan hanya Kaelith. Ada bara lain… dekat denganmu, lebih dekat dari yang kau kira.”
Edrick membuka mata, keringat dingin membasahi tengkuknya. Ia memandang api unggun pasukannya—dan untuk sesaat, ia merasa ada sesuatu di baliknya, sesuatu merah, berdenyut, seperti menantang.
Di timur, Darius juga terjaga. Ia duduk di tepi api unggun perkemahan Kaelith, matanya menatap bara yang menari.
Bisikan datang, bukan dari pedang, tapi dari dalam dadanya sendiri. Suara itu kasar, penuh amarah, tapi juga… familiar.
“Api ini milikmu, Darius. Kau tidak perlu Ashenlight, kau tidak perlu tahta Kaelith. Kau cukup jadi api sendiri. Biarkan mereka takut. Biarkan mereka terbakar.”
Nafas Darius berat, dadanya naik turun. Ia menutup mata, dan di kegelapan pikirannya ia melihat sosok samar—dirinya sendiri, tapi matanya merah menyala, tubuhnya dikelilingi api liar.
“Saudaramu berjalan dengan api biru. Kau… kau adalah api merah. Dua nyala takkan pernah menyatu. Hanya satu yang bisa bertahan.”
Darius terbangun dari lamunannya, jantungnya berdegup keras. Ia mengepalkan tangan, seolah mencoba meredam bara yang kini jelas-jelas hidup di dalam dirinya.
Malam itu, di dua tempat berbeda, dua saudara mendengar bisikan yang berbeda—satu dari pedang, satu dari dirinya sendiri.
Edrick merasa api biru Ashenlight semakin berat, seolah meminta pengorbanan lebih besar.
Darius merasa api merah dalam dirinya semakin liar, seolah menuntut untuk dibebaskan.
Subuh di perbatasan timur. Pasukan Hale bergerak perlahan menembus hutan berkabut. Pohon-pohon tinggi menjulang, akar-akar seperti tangan raksasa yang menjulur keluar dari tanah. Suasana sunyi, terlalu sunyi.
Rowan menunduk dari kudanya, menyentuh tanah dengan jari. Lumpur masih basah, bercampur jejak sepatu logam.
“Mereka ada di sini. Kita sedang diawasi.”
Edrick mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Pasukan terdiam, hanya terdengar embusan napas kuda. Ia menggenggam Ashenlight, dan cahaya biru samar muncul, membelah kabut.
“Bersiaplah,” katanya singkat.
Anak panah berdesing dari balik pepohonan. Dua prajurit Hale roboh, darah membasahi dedaunan. Teriakan perang menggema.
Dari kabut, puluhan prajurit bersenjata dengan lambang api merah di dada muncul. Mereka berteriak, menebas dengan liar.
“Pasukan Kaelith!” Rowan berteriak, menghunus pedangnya.
Pertempuran pecah. Suara besi beradu, jeritan, dan kabut yang kini bercampur darah.
Edrick maju ke barisan depan. Ashenlight menyala terang, mengiris kabut, membuat musuh mundur sejenak.
Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya biru, menembus zirah, membakar daging. Prajurit Hale yang melihatnya bersorak, keberanian mereka kembali.
“Majulah! Untuk Hale!” teriak Edrick.
Pasukan Hale membalas dengan semangat baru, mengubah barisan yang kacau menjadi gelombang baja yang bergerak maju.
Jauh dari keributan, di atas tebing kecil yang menghadap hutan, Darius berdiri bersama Selene. Ia mengamati pertempuran di bawah, matanya tajam, rahangnya mengeras.
Selene meliriknya. “Itu pasukan saudaramu, bukan? Kau bisa mengenali cahaya pedang itu dari jarak ini.”
Darius terdiam. Ashenlight berkilau biru di kabut, seperti bintang di tengah kegelapan. Setiap ayunan Edrick membuat dadanya bergetar.
Selene melanjutkan dengan suara rendah, “Kau punya pilihan, Darius. Tetap jadi bayangan Kaelith… atau membakar jalurmu sendiri, bahkan jika itu berarti melawan saudaramu.”
Darius mengepalkan tinjunya. Api merah samar berkedip di matanya.
“Saudaraku… atau bukan lagi. Aku akan melihat sendiri siapa yang pantas berdiri di atas abu.”
Pertempuran berakhir setelah satu jam. Tanah hutan basah oleh darah, kabut tipis berubah merah. Pasukan Kaelith mundur, meninggalkan puluhan mayat.
Edrick berdiri di tengah medan, napasnya berat, Ashenlight masih berkilau. Pasukannya bersorak, tapi wajahnya tetap keras.
“Ini baru awal. Darah pertama. Tapi badai yang sebenarnya… masih menunggu.”
Di kejauhan, di atas tebing, Darius memalingkan wajah, meninggalkan hutan bersama Selene.