"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Favoritnya
Nina mendesah berat di atas balkon. Haruskah ia lompat saja? Lompat dari lantai dua sepertinya tidak akan mendapatkan luka yang fatal.
Mungkin hanya patah kaki? atau gegar otak?
Tapi pasti Jefan akan semakin membenci tindakan Nina itu kan?
Sekarang suami nya itu tidak tau sedang melakukan apa. Mungkin sudah hampir dua jam Jefan pergi entah kemana.
Namun yang pasti, ia tidak melakukan hal gila itu karena Nina baru saja menghubungi rekannya dikafe untuk bertanya bagaimana kondisi disana.
Dan semua berjalan seperti biasa. Nina berharap akan terus begitu.
Bisa dikatakan lagi-lagi Jefan meninggalkan nya saat ada masalah. Laki-laki itu senang sekali datang dan pergi sesuka hatinya.
Nina mengetuk-ngetuk pagar stainless balkon yang menimbulkan bunyi, sedang berpikir bagaimana caranya ia bisa lepas dari masalah ini.
Kabur? Tidak bisa. Nina sendiri sulit jika harus jauh dari suaminya itu.
Memohon? Tidak cukup, Jefan bahkan terlihat sangat benci setengah mati dengan tindakan Nina ini.
Nina mengacak rambut nya frustasi. Apakah dia harus berhenti bekerja saja? Nina sudah tau perasaan suaminya itu kan?
Tapi apa itu menjamin, bahwa ia tidak akan meninggalkan nya lagi?
Nina sekarang melakukan nya karena ia mulai nyaman dengan segalanya, ritme kehidupan nya sangat menenangkan.
Pagi hari menyiapkan sarapan suaminya, pergi bekerja, pulang menyiapkan makanan untuk suaminya, dan tidur.
Terasa seperti sebuah harmoni yang sempurna. Sayangnya tidak bagi lelaki itu, baginya itu sebuah tindakan yang memalukan, dan rendahan.
Nina meremas kepalan tangannya. Dia tidak boleh kalah. Akan Nina buat bagaimana pun caranya Jefan luluh dan membebaskannya.
"Ah~ tapi aku tidak tau bagaimana caranya"
Tubuh Nina longsor kebawah.
"Apa dia harus mengatakan hal kejam seperti itu"
Nina bangkit dari duduknya, berjalan menuju kasur besarnya yang dingin. Ia meringkuk diatas kasur kebingungan. Otaknya kosong tak mau menunjukkan lampu terangnya untuk masalah ini.
"Ya Tuhan, kenapa mencintai lelaki ini sulit sekali?" Nina mengusap wajahnya gusar.
Nina memandangi plafon polos kamar itu.
Padahal hari ini Jefan berjanji akan memeluknya nanti saat tidur, tapi karena kejadian hari ini, jangankan untuk itu. Nina bahkan tidak yakin lelaki itu akan kembali kerumah hari ini.
Mau sampai kapan ia akan mengurung nya begini?
Dulu dia sangat membangga kan bahwa Nina adalah istri yang tanpa kekangan. Sekarang Jefan malah menjilat ludahnya sendiri.
Lagi-lagi ucapan Laki-laki adalah fatamorgana yang tertunda.
"Dan kenapa aku harus mencintai lelaki yang kubenci itu sih"
Tepat setelah Nina mendengus, suara seseorang membuka kunci pintu terdengar. Nina spontan menoleh dan terduduk tegak.
Iya benar. Itu suaminya.
Nina menatap Jefan dengan memasang wajah waspada.
Lidahnya masih terasa kelu untuk mengajak Jefan berbicara duluan.
Jefan mendekati perlahan. Kali ini lelaki itu agak sedikit tenang, wajahnya sudah agak damai tak lagi memerah.
Jefan berjongkok didepan Nina yang terduduk diatas kasur. Ia hanya menatap Nina lekat-lekat dan menidurkan kepalanya dipaha Nina.
Tangan Jefan bergerak melingkar pinggang ramping gadis itu. Nina tertegun melihat tindakan yang sangat jauh berbeda dari beberapa jam lalu. Tapi, dapat Nina rasakan Jefan yang menangis diam diatas paha nya.
Nina reflek mengarahkan tangan nya untuk mengelus surai rambut hitam milik suaminya itu.
"Nina, apa kau berniat meninggalkan ku?" tanya Jefan dengan suara tercekat, ia masih dalam posisi semula tanpa bergerak.
Nina menunduk mencoba menatap ekspresi wajah Jefan yang coba ia sembunyikan itu.
"Mana mungkin, aku tidak punya cukup kemampuan untuk meninggalkan mu"
Jefan mengusak kepalanya dua kali, mengubah posisi kepalanya menjadi menghadap perut Nina.
"Benarkan? Kau tidak akan meninggalkan ku setelah mendapat cukup uang dari gaji kau bekerja kan?"
Nina tertegun, apa ini alasanya Jefan sangat murka karena hal itu?
Sebenernya alasannya justru sebaliknya, uang itu hanya untuk cadangan kekuatan terakhirnya jika Jefan pergi meninggalkannya tiba-tiba
Nina mendesah pelan, ia menangkup wajah suaminya itu dengan kedua tangannya. Dan mendekatkan wajahnya pada Jefan, menempelkan kening dan hidungnya seperti yang sering Jefan lakukan padanya.
"Tidak akan"
"Maaf, aku menyakitimu lagi. Maafkan aku"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Saya harus bagaimana lagi Nenek? Istriku itu, dia.. bagaimana bisa aku membiarkan melakukan hal berat lagi?"
Jefan memegang batu nisan yang ada didepannya. Matanya sudah sembab dan memerah karena menangis sejak perjalanan menuju kesini
"Bagaimana bisa aku tahan melihatnya terus menundukkan kepala, membungkukan badan, dan melayani semua orang dengan tangan ringkihnya itu?" lanjutnya dengan nada bergetar
"Aku tidak bisa Nenek, aku tidak sanggup melihatnya"
Jefan menundukkan kepalanya dalam. Lelaki bertubuh besar itu menangis tersedu-sedu karena ia sadar atas apa yang sudah diperbuat.
Si brengsek ini kembali menyakiti Nina dengan perkataannya.
Emosi yang tak dapat Jefan kontrol membuatnya harus merendahkan istrinya sendiri. Istri yang sangat ia sayangi melebihi siapapun didunia ini.
"Padahal aku sudah berjanji padamu akan menjaga dan membuat hidupnya nyaman. Tapi aku hanya bisa terus menyakiti nya"
Jefan memandang nanar batu nisan dengan gundukan tanah kotak yang penuh rumput hijau.
"Tolong ampuni aku nek, dan tolong beritahu aku bagaimana cara menghadapi cucu tersayang mu itu"
Jefan kembali teringat saat dulu masa ia masih berteman dengan Nina. Saat kebahagiaan masih bersahabat dengan hidup gadis itu.
Nina sering mengajaknya mengunjungi neneknya. Dan hal yang paling sering Jefan dengar dari Nenek adalah.....
"Jaga hati cucuku itu ya nak, mudah sekali membahagiakan nya tapi begitu juga dengan melukainya"
Jefan terpejam untuk sesaat. Dia kemudian menghela napas panjang dan tersenyum kecil, "Baiklah, aku mengerti, Nek"
Jefan melesat pergi dengan hati yang sudah berhenti bergemuruh. Gejolak yang sedari tadi mencuat keluar sudah reda. Ia bisa berpikiran jernih sekarang.
Dan saat ini, waktunya kembali pulang. Pada Nina istrinya.
Tidak akan Jefan membiarkan Nina berpikir ia akan meninggalkan nya. Lagi.
Jefan melangkah perlahan saat memasuki rumah, perasaan bersalah tentu saja memperberat langkahnya.
Jefan akan runtuh jika saat ia membuka pintu Nina sedang menangis, tapi saat membuka pintu dengan perlahan. Nina gadis itu agak sedikit tersentak karena kedatangan nya.
Nampak wajah waspada menyelimuti Nina.
Apa gadis itu berpikir Jefan akan menyakiti nya lagi?
Ternyata dia semenakutkan itu dimata istrinya sendiri ya.
Jefan memang kejam. Tidak dia bahkan lebih dari brengsek, membuat istrinya terus menderita.
Jefan langsung berjongkok dan memeluk Nina yang sedang terduduk dikasur. Memastikan niat sebenarnya gadis itu, dan kepastian bahwa dia tidak akan meninggalkan nya.
Memohon maaf entah untuk perkataan yang mana, mungkin semuanya. Jefan akui dia sudah gila karena kata-kata kejam yang ia lontarkan untuk Nina tadi.
"Maaf, aku menyakitimu lagi. Maafkan aku"
Nina menangis, bohong rasanya jika Nina merasa tidak tersakiti. Bohong rasanya jika Nina tidak terluka. Tapi, pemberi luka ini adalah favoritnya. Dia orang terkasihnya.
"Kau sudah tidak marah?"
Jefan mengangguk pelan tanpa membiarkan kening mereka terlepas.
"Jika itu benar membuatmu bahagia, aku akan mengizinkannya"
"Terimakasih, suamiku"
Nina tersenyum. Ia masih memegangi kedua rahang tegas suaminya itu dan mencium pipi kiri Jefan dengan lembut.
Lihat kan? semudah ini mendapat kan maaf dari gadis itu.
Semudah ini membahagiakannya.
Jefan memejamkan matanya saat menerima kecupan singkat dari istrinya itu, dia mencondongkan tubuhnya begitu kepala Nina menjauh.
Matanya terpejam dan mendaratkan bibirnya di kening Nina untuk waktu yang cukup lama.
"Aku lapar, bisa buatkan makanan kesukaan ku?"
"Tentu, aku akan memasaknya dengan baik"
"Dan aku mau disuapi"
"Permintaan diterima"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...