Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.
•••
Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.
•••
“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”
“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”
“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kekasih Halalmu – Malam Ini
Berganti hari, sore ini Galang mengirimkan pesan ada Hana dan mengajak-nya jalan-jalan. Kebetulan ada pasar malam yang baru saja dibuka baru-baru ini yang tidak sengaja laki-laki itu lihat saat pergi main bersama teman-teman-nya, dan saat itu pun Galang mengingat Hana yang sangat menyukai pasar malam.
Pukul setengah tujuh Hana telah selesai berpakaian dan segera keluar kamar. Hana menyusul Galang yang sudah menunggunya diruang tamu. Hana melihat Galang yang sedang ngobrol bersama Evan.
“Papa masih bersikap baik sama Galang, Papa bahkan nggak ngelarang gue berhubungan lagi sama Galang.
Tapi kenapa Papa mau jodohin gue sama Dibran? Apa yang sebenarnya disembunyiin sama Papa?” batin Hana sambil berjalan pelan kearah dua orang lelaki yang sangat di sayanginya itu.
“Sayang?” Hana menoleh pada Lidia yang memanggilnya.
“Udah selesai? Gih, samperin Galang. Nanti keburu malam, kasihan juga dia kelamaan nunggu.”
Mendengar ucapan dari mamanya itu membuat Hana terdiam. Diperhatikannya wajah dari wanita cantik walaupun sudah berusia empat puluhan itu dengan intens. Mamanya adalah wanita paling lembut yang pernah ia temui ataupun ia kenal.
“Ma,” panggil Hana.
Lidia yang sudah melangkah itu kembali menatap ke belakang ketika Hana memanggil. “Iya, kenapa?”
Hana mendekati mamanya lalu menggenggam tangan Lidia. “Mama sama Papa masih bolehin aku keluar sama Galang?” tanya Hana pelan. Bukan tanpa alasan, perjodohan yang mereka lakukan memang tidak disetujui oleh-nya, tetapi masih mengizinkannya keluar bersama Galang jelas mengundang pertanyaan yang sangat besar dikepalanya.
Namun, Lidia tidak memberikan jawaban apapun. Wanita itu terdiam karena pertanyaan tiba-tiba dari putri-nya itu.
“Mama tahu sesuatu kan, soal sikap Papa?”
Hana sudah menunggu jawaban dari Lidia, tetapi wanita paruh baya itu masih diam. “Ma?” panggil Hana lagi.
“Hm?”
“Maaa,”
Lidia menghela napas, kemudian menangkup sebelah pipi Hana. “Nggak papa, sayang. Jangan pikirin apapun dulu untuk sekarang. Mending kamu nemuin Galang, terus kalian langsung pergi. Biar nanti nggak kemalaman pulangnya.”
Sekali lagi Hana merengek pada mamanya untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tetap saja Lidia enggan membuka suara. Menyerah, Hana pun menuju Galang dan Evan diruang tamu, setelah salaman dan pamit sama mamanya.
Evan dan Galang yang melihat Hana sudah datang langsung berhenti bicara. Mereka juga berdiri lalu Galang langsung pamit pada Evan untuk membawa Hana pergi keluar sebentar.
Evan pun mengizinkan asalkan pulang sebelum jam sepuluh malam. Galang dan Hana mengangguk mengiyakan, dan menyalami Evan bergantian. Setelah itu, sepasang kekasih itu langsung keluar rumah dan pergi jalan.
Lidia dan Evan yang melihat Hana dan Galang sudah pergi terdiam di ambang pintu. Lidia mengelus lengan sang suami yang masih menatap keluar walaupun mobil Galang sudah menghilang. “Mas?”
Evan tersadar dan menatap Lidia, ia menggumam sebagai jawaban. “Hana bisa jaga diri, kok. Jangan terlalu dipikirin ya,” ucap Lidia menenangkan.
Mendengar itu, Evan menghela napasnya pelan. Tangannya bergerak untuk menutup pintu. Setelah itu barulah ia berjalan ke ruang keluarga, ditemani Lidia.
Diperhatikannya wajah sang suami yang nampak muram walaupun acara yang ia tonton adalah talkshow komedi. “Mau kapan bicara sama Hana soal ini?”
Pertanyaan dari Lidia membuat Evan semakin diam. Ia sungguh bingung saat ini. “Malam ini,” ucap Evan setelah diam cukup lama yang membuat Lidia sangat terkejut.
“Mas yakin?”
Dengan pasti Evan mengangguk. “Semakin aku nunda, perihal Galang semakin bikin aku khawatir sama Hana. Sekarang pun aku ngerasa jadi ayah paling gagal saat tahu kalau anak aku berhubungan dengan orang yang seperti itu. Aku nggak mau menyesal, Lidia,” ucap Evan sambil menatap istrinya.
Lidia yang melihat itu segera memeluk Evan. Ia mengangguk. “Aku dukung kamu, Mas. Kamu jangan ngerasa gagal, ya, karena kalau kamu kayak gitu, aku juga bakalan ngerasain hal yang sama. Anak kamu, anak aku. Selama ini kamu diam, kan juga buat perasaan Hana,” kata Lidia menenangkan.
Evan mengangguk dipelukan istrinya dan membalas pelukan itu dengan sangat erat.
***
Setelah sampai dilapangan yang penuh dengan pengunjung, Hana dan Galang segera turun dari mobil yang sudah terparkir. Galang menggenggam tangan Hana saat masuk ke pasar malam. Mereka tersenyum saat melihat berbagai permainan dan jajanan yang ada.
“Mau apa dulu?” tanya Galang.
Hana nampak memikirkan sesuatu. “Eum … Komedi putar, tangkap boneka, melukis, lempar bola, terakhir bianglala. Habis itu kita kuliner makanan, baru deh, pulang,” ucap Hana mengatakan semua yang ada di kepala dan keinginannya.
Membuat Galang terkekeh mendengarnya. Ia mengangguk saja sambil tertawa. “Ya sudah, ayo.”
Dengan semangat, Hana mengangguk dan mereka pun mulai menjelajahi pasar malam itu dengan menaiki berbagai wahana. Dimulai dengan naik komedi putar terlebih dahulu, Hana yang paling semangat. Menaiki kuda dan Galang disampingnya. Senyuman tidak lepas sama sekali dari bibir Hana.
Setelah dua putaran, mereka lanjut ke permainan tangkap boneka dengan cara memasukkan beberapa koin lalu mulai menangkapnya dengan mesin. Galang yang memainkannya, dan mereka sudah dapat dua boneka doraemon. Hana semakin senang.
Puas dengan tangkap boneka, Mereka berlanjut sebuah stand yang sebenarnya dituju untuk anak-anak. Tetapi bisa juga di mainkan oleh orang dewasa. Hana memilih gambar Doreamon, sedangkan Galang One Piece. Mereka mulai melukis. Wajah Hana sangat serius, sedangkan Galang yang melihat wajah serius Hana malah tertawa. Ia menggoda Hana dengan mencoret-coret wajah Hana menggunakan tinta lukis.
Hana yang terkejut langsung balas dendam, dan terjadilah perang tinta yang membuat lukisan mereka dengan hasil alakadarnya. Mereka juga sempat berfoto dengan hasil lukisan mereka.
Permainan dilanjut dengan lempar bola yang berhasil dimenangkan oleh Hana, dan sebagai hadiah ia mendapatkan sebuah boneka Doraemon yang berukuran jumbo. Tentu saja Hana semakin riang karenanya. Doraemon adalah karakter animasi kesukaannya!
Permainan terakhir yang ingin mereka naiki adalah bianglala, tetapi Galang meminta Hana untuk istirahat dulu. Sekalian menaruh barang-barang mereka ke dalam mobil. Hana mengangguk saja, tapi saat ingin ikut, Galang menggeleng dan menyuruh Hana untuk menunggu saja di stand nasi goreng.
Hana kembali mengangguk, ia lalu ke stand nasi nasi goreng sedangkan Galang ke parkiran untuk menaruh barang-barang dirinya dan Hana.
Saat sudah kembali, Galang langsung ke tempat Hana dan mulai makan nasi goreng yang kebetulan sudah dipesan oleh Hana. Sambil makan, Hana bercerita banyak tentang malam ini pada Galang. Ia sangat bahagia, tawanya sangat lepas dari tadi. Bersama Galang, ia bahagia. Tentu saja.
***
Selesai makan nasi goreng, Hana dan Galang lanjut menjelajahi kuliner pasar malam di sana. Dimulai dari ketoprak, creeps, permen kapas, telur gulung, dadar gulung, pop corn, dan masih banyak lagi jajanan lainnya. Mereka sangat menikmati malam yang mereka lalui bersama. Hingga tidak terasa waktu menunjukkan hampir sepuluh malam.
“Kita naik bianglala dulu, yuk, sebelum pulang.” Galang mengangguk saja saat Hana mengatakan itu. Setelah membayar jagung bakar yang mereka pesan, Hana langsung menarik Galang ke loket bianglala untuk membeli karcis.
Antrian cukup panjang, membuat Hana lelah menunggu sambil berdiri. Galang sudah menyuruhnya untuk duduk saja dibangku yang disediakan, tetapi perempuan itu tidak ingin. Ia akan menunggu dan mengantri bersama.
“Kita naik bareng-bareng, nggak mungkin kamu aja yang nunggu. Aku juga harus ikut,” kata Hana yang membuat Galang gemas. Diacaknya rambut perempuan cantik itu sambil tertawa ringan.
Hingga akhirnya penantian mereka tidak berakhir dengan sia-sia. Giliran mereka yang mengambil karcis dan membayarnya sebesar lima puluh ribu untuk dua orang. Setelah itu, mereka harus kembali mengantri untuk bergiliran masuk bianglala.
Tidak selama menunggu karcis, dan mereka saat ini sudah berada disangkar bianglala. Benda besar dan kuat itu sudah mulai berputar, tetapi kadang berhenti karena masih harus mengisinya dengan penumpang yang lain.
Beberapa menit kemudian bianglala itu sudah berputar sepenuhnya. Hana tidak henti-hentinya tersenyum ketika benda besar ini mulai berputar. Setiap putaran yang terjadi, Hana menatap keluar dengan berbinar. Membuat Galang yang duduk di depannya ini ikut tersenyum. Sangat tipis.
“Indah banget,” gumam Hana.
Sedangkan Galang masih menatap Hana dengan intens, kemudian mengangguk. “Sangat.”
“Hm?” Hana menoleh pada Galang.
“Indah,” kata Galang yang masih menatap Hana.
Hana terdiam dengan detak jantung yang tidak bisa ia jabarkan bagaimana debarannya. Dapat ia rasakan pipinya yang memanas ketika Galang masih menatapnya dengan begitu serius tanpa berkedip.
“A-apanya?” gagap Hana.
“Ini.” Galang mengangkat tangannya lalu mengelus pelan pipi Hana yang sudah memerah. Membuat Hana semakin gemetar. Jantungnya tidak lagi bisa ia kendalikan. Kenapa Galang mendadak jadi sweet begini?!
Mata Galang kini beralih dari mata Hana turun ke bibirnya. Ibu jarinya yang sedari tadi terus mengelus pipi merah perempuan itu karena gugup, juga berpindah posisi ke sudut bibir perempuan itu.
Hana mengikuti arah pandang Galang yang membuatnya semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengepalkan kedua tangannya yang berada di samping tubuhnya dengan erat, saat merasakan Galang mulai memajukan badannya.
Hanya tinggal beberapa senti lagi bibir mereka akan menyatu, ketika tiba-tiba bianglala berhenti begitu saja. Keduanya lalu segera memisahkan tubuh mereka dengan canggung. Saat menoleh, Hana melihat ke bawah ternyata putaran mereka sudah berakhir.
“U-udah selesai,” kata Hana yang masih gugup. Namun tanpa sadar ia menghela napas lega ketika semuanya tidak terjadi.
Galang juga sedang menghela napasnya, kemudian mengangguk. “Iya, dan maaf buat yang tadi. Itu diluar kendali aku.”
Hana hanya mengangguk sebagai jawaban. “Nggak papa.”
Setelah itu, pintu sangkar mereka sudah dibuka dan mereka keluar. Hana dan Galang nampak canggung.
“Eum ... Mau langsung pulang?” tanya Galang.
Hana langsung mengangguk. “Iya, udah malam. Kata Papa kan, nggak boleh pulang larut.”
Galang juga ikut mengangguk. Setelah itu mereka langsung keluar dari area pasar malam menuju tempat parkir mobil. Saat sampai, Galang langsung membukakan pintu untuk Hana dan melindungi kepala kekasihnya itu agar tidak membentur atas mobil dengan tangannya.
Lepas itu, Galang lalu mengitari mobil dan ia masuk dibagian kemudi. Tukang parkir yang mengarahkan Galang agar tidak salah salah mengeluarkan mobil, diberi imbalan berupa uang sepuluh ribu oleh laki-laki tampan itu.
Dengan senyuman yang mengembang, tukang parkir itu mengucapkan hamdalah berulang kali dan ucapan terimakasih. Ia melambaikan tangannya pada mobil Galang yang sudah melaju.
Kening Hana mengkerut. “Banyak banget?” ucap Hana menatap Galang yang membuatnya laki-laki itu ikut menoleh pada perempuan di sampingnya.
Galang tersenyum tipis. “Nggak papa. Rezeki bapak itu berarti,” ucapnya.
Hana lalu mengangguk saja lalu bermain ponsel. Saat dipasar malam tadi, ponselnya ia silent. Sehingga agak kaget ketika membuka ponsel sudah banyak percakapan yang terjadi.
Hana yang geleng-geleng kepala melihatnya. Tanpa mempedulikan isi dari pesan-pesan yang ada, karena sebagian itu hanya bacotan grup. Hana langsung menandainya sebagai ‘telah dibaca’.
Lalu ada satu pesan yang membuat Hana kembali menghela napas lelah, ketika Nengsih masih menerornya dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Saat kejadian dimana tante Sovia mendatanginya.
“Kenapa, hm? Capek, ya?” Hana berjengit ketika mendengar suara Galang. Ia lalu menggeleng.
“Bukan. Ponsel aku jebol notif,” kata Hana membuat Galang terkekeh.
“Grup?”
Hana mengangguk tanpa berpikir. Toh, memang benar. Tetapi tentu saja Hana tidak memberitahu Galang soal Nengsih yang menerornya. Bisa panjang urusannya nanti.
Kemudian Hana kembali fokus pada ponselnya dan membalas pesan Nengsih.
Hana
Ntar. Jangan sekarang.
Nengsih
Awas kalo kagak.
Gue gelindingin lo dari lorong A ke Z!
Hana
Bacot!
Nengsih
Dih? Bodoamat!
Hana
Y.
Nengsih
HEH!
ANJIM
GOBLOK!
ANTING!!!
Hana tertawa kecil melihat balasan Hana. Ia tidak lagi membalasnya, dan memilih mendiamkannya saja. Lagi. Ia mematikan nada ponselnya sendiri.
***
Beberapa menit kemudian, Mobil Galang berhenti di depan rumah Hana. Mereka sama-sama turun dan Galang mengantarkan Hana hingga depan pintu.
Galang menggenggam tangan Hana saat perempuan itu akan masuk rumah. “Kenapa?” tanya Hana.
“Aku minta maaf, ya?” ucap Galang membuat Hana mengernyit.
“Untuk?”
“Soal tadi.”
Hana menatap Galang dengan lekat sambil terus berpikir. Seketika ia mengingat alasan Galang meminta maaf. Pipinya kembali merona saat mengingat kejadian yang hampir saja terjadi tadi.
Ia tersenyum. Galang yang melihat semburat merah dipipi perempuannya itu tertawa kecil sambil mengelus pipi Hana. Sedangkan tangannya yang satu lagi masih menggenggam tangan Hana.
Jelas saja perlakuan Galang yang semanis ini membuat Hana kembali derdebar dengan kencang. Pipinya juga semakin merah hingga merembes ketelinganya yang untung saja ditutupi oleh rambut.
Hana mengangguk. “Iya, Nggak papa, kok. Suasananya aja yang mendukung. Bukan salah kamu juga.”
Keduanya lalu tertawa. “Tapi aku suka,” ucap Galang setelah tawanya reda.
“Apa?”
“Ini,” ucap Galang sambil terus mengelus pipi Hana.
“Merah-merah gini, kamu makin cantik.”
Mendengar ucapan manis dari Galang membuat Hana semakin berdebar. Ia salah tingkah dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan.
“Pinter banget gombalnya,” ucapnya membuat Galang kembali tertawa.
“Udah, sana pulang. Jangan kebanyakan ketawa!”
Galang mengangguk sambil menahan tawanya. “Ya udah, iya. Aku pulang, ya. Kamu langsung tidur.”
“Iya,”
“Jangan lupa bersih-bersih dulu.”
“Iya.”
“Jangan tidur malam-malam.”
“Iya.”
“Jangan main ponsel terus.”
“Iya.”
“Jangan kangen.”
“Iy- eh? Emang nggak boleh?”
Sejenak Galang tertawa. “Boleh, dong. Boleh banget malah,” jawabnya.
Hana berdecak. “Ya udah, sana. Pulang!”
“Dih? Ngambek, mbaknya?”
“Udah malam, Galang,” ucap Hana gemas, membuat Galang tertawa lagi dan mengacak rambut Hana.
Galang mengangguk kemudian meminta pelukan pada Hana yang diterima dengan senang hati oleh Hana. Mereka berpelukan cukup lama sebagai salam perpisahan setelah menghabiskan malam Minggu yang sangat menyenangkan.
Setelah itu, Galang melepaskan pelukan mereka dan mengecup Kening Hana selama beberapa detik. Barulah selepas itu Galang melepaskan ciumannya dan meninggalkan kediaman Hana.
***
Hana sudah masuk rumah dan menemukan jika orang tuanya sedang bersantai di depan televisi. Hana menghampiri Evan dan Lidia. “Assalamualaikum, Pa,
Ma.”
Keduanya menatap Hana kaget. “Eh, waalaikumussalam. Baru sampai? Galang mana?” tanya Lidia.
Hana mengangguk. “Iya. Galang baru aja pulang,” jawab Hana, dan keduanya mengangguk.
Kemudian perempuan itu izin kekamar untuk segera membersihkan badan. Setelah mendapatkan anggukan, barulah Hana naik ke kamarnya.
Sesampainya dikamar, Hana menaruh tas-nya dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Selama beberapa menit dikamar mandi, ia keluar dengan baju yang sudah diganti dan nampak lebih segar.
Selepas itu, Hana langsung merebahkan badannya dikasur. Belum ada lima menit ia rebahan, Ketukan dipintu kamarnya membuat ia kembali berdiri dan membukanya.
“Papa? Kenapa, Pa?” kata Hana agak kaget ketika yang menemuinya adalah sang papa.
Evan menggeleng. “Boleh Papa masuk?”
Tentu saja Hana mengangguk dan membuka pintu dengan lebar agar Evan bisa masuk. Seperti biasa, Evan akan duduk dipinggir kasur sang anak agar terasa lebih dekat dan agak santai menurutnya.
Hana mengikuti Evan dan duduk di samping Evan.
“Bagaimana? Sudah memutuskan tentang perjodohan kamu?” tanya Evan langsung membuat Hana terdiam.
Sekarang? Ia baru saja menikmati jalan-jalannya bersama Galang, dan papa langsung menanyakan tentang perjodohan? Yang benar saja!
“Pa ...” panggil Hana lirih.
“Papa tidak pernah meminta apapun sama kamu. Selama ini, keputusan kamu selalu Papa sama Mama dukung. Tapi untuk kali ini, bisa kamu menerimanya?” kata papa membuat kening Hana mengkerut.
“Bukannya kemarin Papa bilang kalau keputusannya ada sama Hana? Berarti kalau Hana nolak nggak masalah, kan?” ucap Hana.
Evan terdiam, membuat Hana semakin tidak mengerti. Ia menghela napas, lalu sedikit membasahkan bibirnya. “Apa yang sebenarnya Papa sembunyiin dari Hana? Kenapa Papa nggak mau kasih tahu sama sekali sama Hana? Kenapa Papa juga ngelarang Mama untuk nggak kasih tahu Hana tentang apa yang Papa sama Mama tahu?” tanya Hana bertubi-tubi. Evan semakin terdiam karenanya.
Hana masih memperhatikan papanya yang terdiam sangat lama. Mereka saling menatap. Hana bisa melihat ketidakberdayaan seorang ayah ketika harus mengatakan hal akan menyakiti putrinya.
Hana lalu menggenggam tangan ayahnya. “Pa ...”
panggilnya.
Evan balik menatap Hana setelah ia menunduk tidak kuat melihat gurat kekecewaan yang dirasakan oleh sang putri.
“Galang bukan laki-laki yang baik? Sebab itu Papa nggak suka sama dia?” tanya Hana lembut.
Evan menggeleng. “Bukan. Galang laki-laki yang baik.”
“Lalu?” tuntut Hana.
“Tapi dia nggak baik untuk putri Papa.”
Kali ini Hana yang terdiam. Genggamannya ditangan sang ayah melemah, namun masih digenggam erat oleh Evan. Evan tahu kalau perkataannya semakin membuat Hana tersinggung.
“Galang baik, tetapi nggak buat kamu,” ulang Evan.
“Beberapa bulan yang lalu, Papa lihat Galang bersama perempuan lain dikafe, dan itu bukan kakak dia. Mereka hanya berdua, dengan posisi yang sangat dekat.”
Hana semakin terdiam mendengar itu. Benarkah?
“Tapi, Pa, Galang, dia ...” Hana merasakan jika sebentar lagi air yang menggenang dipelupuk matanya akan jatuh.
“Dia baik, Hana. Tapi nggak buat kamu. Alasan kenapa Papa tidak menunjukkan ketidaksukaan Papa terhadap Galang, karena dia sopan. Dia menjaga kamu dengan baik. Tapi nggak sama pergaulan dia yang bebas. Bukan sekali-dua kali Papa memergoki Galang. Sudah cukup sering. Maka dari itu Papa mengajukan perjodohan ini sama kamu.” Evan semakin menggenggam tangan anaknya dengan erat. Hana sudah menangis sejak ayahnya bicara perihal Galang.
Hana terisak. Apakah itu yang membuat papanya khawatir? Dan apakah papa-nya sering melihat galang berperilaku seperti itu diluar sana? Evan yang melihat tangis pilu sang anak membuatnya hancur. Anak-nya benar-benar patah hati sekarang.
“Sekali lagi Papa minta maaf, sayang. Papa sengaja nggak kasih tahu kamu soal ini karena Papa nggak mau lihat kamu nangis karena ini. Papa terlalu takut putri kesayangan Papa kehilangan kebahagiaannya bersama orang yang dia cintai.”
***