Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 20 Hatimu Masih Milikku
Di ruang keluarga Devano duduk di sofa panjang dengan kepala tertunduk. Tangannya yang berbalut perban bergetar menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka fisik, tapi juga dari batin. Di hadapannya Mama Raisa duduk dengan wajah pucat, sedangkan Papa Bryan berdiri menyandar pada tembok, dan Kakek Arthur duduk di kursi kebesarannya sambil menatap tajam.
Devano sudah menceritakan semuanya tanpa ada yang ia sembunyikan lagi. Tentang Giselle, tentang surat perceraian, tentang kecurigaannya pada Delia, bahkan tentang malam-malam ia mencoba menyakiti hati perempuan itu. Ia sudah siap jika semua orang akan marah. Ia pantas menerimanya.
Kakek Arthur menepuk tongkat kayunya ke lantai, suara kerasnya menggema di ruangan itu.
"Sekarang kamu menyesal, Dev?!" bentaknya tajam. "Apa yang kamu pikirkan? Delia selama ini hanya memanfaatkan keluarga kita, begitu?!"
Suasana hening. Mama Raisa menahan napas, Papa Bryan mengeraskan rahang, Liam yang berdiri di sudut menundukkan kepala. Tak ada yang berani menyela kata-kata sang kakek.
Kakek Arthur mencondongkan tubuhnya, sorot matanya menusuk Devano.
"Dengar, Devano… kamu sudah salah kaprah!" suaranya bergetar menahan emosi. "Delia… dia adalah putri dari Tuan Gionardo. Pemilik setengah saham perusahaan yang sekarang sedang kamu pimpin!"
Devano mengangkat wajahnya perlahan, matanya merah, tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
"Aku dan mendiang Tuan Gionardo, sudah berjanji akan membesarkan perusahaan itu bersama-sama. Dia sosok pria yang baik dan juga pekerja keras," lanjut Kakek Arthur. "Tapi kecelakaan tragis merenggut nyawa kedua orang tuanya. Sejak itu Delia hidup sendiri."
Kakek Arthur menahan napas sebentar, kemudian menunjuk Devano dengan jarinya yang bergetar.
"Tapi lihat sekarang… dia bahkan pergi tanpa membawa sepeserpun uang dari perusahaan, tanpa menuntut haknya, tanpa menarik setengah aset yang menjadi miliknya. Dan kamu… kamu justru menuduhnya, menyakitinya…"
Mama Raisa terisak pelan mendengar kenyataan itu. Papa Bryan menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap.
Devano memejamkan mata. Kata-kata Kakek Arthur terasa seperti pisau yang menguliti dirinya satu per satu.
'Aku brengsek… aku benar-benar brengsek,' batinnya. Tangannya mengepal di atas lututnya hingga buku-buku jarinya memutih.
Mama Raisa akhirnya bergerak mendekat, meraih wajah putranya dan mengusap air mata Devano yang jatuh. "Nak… carilah Delia. Bawa dia pulang. Jangan biarkan dia sendiri di luar sana," lirihnya.
Devano mengangguk, matanya menatap kosong ke lantai. "Aku akan cari dia, Ma… Aku janji. Aku akan bawa dia pulang, apapun caranya."
Selama ini Giselle-lah yang telah meracuni pikirannya. Det kata-kata manis, ia selalu bilang jika Delia adalah gadis tak tahu diri, wanita yang hanya memanfaatkan kebaikan kakek Arthur demi mendapatkan kekuasaan dan segalanya. Giselle juga pandai bersilat lidah bercerita tentang Delia hanya seorang wanita murahan yang suka bermain laki-laki dibelakang Dev, termasuk Alvan.
Lalu semua informasi itu terus meracuni pikirannya pelan-pelan hingga menjadi keyakinan buta di kepala Devano. Tetapi kini, apa gunanya lagi menyalahkan orang lain? Bagi Devano, ia sendirilah yang paling bersalah di atas segalanya. Seharusnya ia mampu membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak. Tapi logika dan egonya terlalu besar, menutup mata hatinya sendiri.
Devano memandang seisi ruang keluarga sekali lagi. Mama Raisa masih memeluk surat dokter itu erat-erat seolah sedang memeluk cucu yang belum lahir. Papa Bryan berdiri kaku di dekat jendela, menatap jauh keluar halaman. Kakek Arthur bersandar pada tongkatnya, wajahnya letih namun tatapannya tetap tegas.
"Ma… Pa… Kek…" suara Devano lirih. "Aku harus mencarinya sekarang juga. Aku tidak bisa diam di sini."
Kakek Arthur mengangkat selembar kertas dari meja dan mengulurkannya. "Ini alamat rumah peninggalan orang tua Delia di kota kelahirannya. Mungkin dia kembali ke sana," ucapnya pelan.
Devano menerima alamat itu dengan tangan bergetar. "Terima kasih, Kek…"
Mama Raisa menggenggam pergelangan tangan putranya, air mata masih mengalir di pipinya. "Nak… jangan ulangi kesalahanmu. Kalau kau temui Delia, bicara baik-baik dengannya. Jangan paksa dia. Jangan sakiti hatinya lagi…"
Devano menunduk, mengangguk dalam. "Aku janji, Ma…"
Ia berdiri, merapikan jaketnya. Liam yang sedari tadi diam di sudut ruangan segera bersiap mengikuti. Devano menatap mereka bertiga terakhir kalinya. "Doakan aku menemukan dia," ucapnya sebelum melangkah keluar.
Begitu pintu ruang keluarga tertutup, Mama Raisa menutupi wajahnya. "Semoga dia tidak terlambat…" bisiknya.
Siang itu juga Devano dan Liam melaju meninggalkan kediaman utama keluarga Henderson. Mobil hitam itu meluncur cepat ke arah jalan tol, menuju kota yang menjadi tanah kelahiran Delia, berbekal alamat yang diberikan sang kakek. Hati Devano berdegup kencang, di dalam dirinya berkecamuk antara harapan, rasa bersalah, dan ketakutan… 'Delia, tunggulah aku. Kali ini aku datang bukan untuk menyakitimu.'
Sepanjang perjalanan Dev terus diam. Kedua tangannya terkepal di atas paha, jemarinya bergerak gelisah tanpa sadar. Dari kaca jendela mobil ia menatap keluar, jalanan berkelebat seperti kenangan yang menghantam satu per satu, bagaimana ia pertama kali bertemu Delia, bagaimana ia menghancurkan hatinya sendiri.
Hatinya bergetar, napasnya sesak. Ia ingin berteriak, tapi hanya bisa menunduk dan berdoa agar Delia benar-benar ada di tempat yang akan ia datangi ini. Jika tidak, ia sungguh tak tahu harus mencari kemana lagi.
"Kita pasti akan segera menemukan Nona Delia, Tuan," ucap Liam pelan, seolah bisa membaca isi kepala majikannya. Suaranya seperti selimut tipis yang mencoba menenangkan badai.
Dev mengangkat wajahnya sedikit. "Semoga saja, Liam… Aku tidak akan kembali sebelum bertemu dengan Delia. Aku akan mencari Delia walau sampai ke ujung dunia sekalipun." Ia menelan ludah yang terasa getir.
'Aku yakin Delia… jika hatimu masih milikku,' batin Dev penuh harap, hatinya bergetar.
Liam hanya mengangguk. Ia tahu di balik kata-kata itu ada rasa bersalah yang menggunung dan tekad yang baru terbentuk. Ia juga tahu, kali ini Dev benar-benar serius.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏