Alea, seorang wanita muda dan cantik, terpaksa menikahi Rian melalui perjodohan. Namun, kebahagiaan yang diharapkan pupus ketika Rian mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan Gina. Patah hati, Alea memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan Rian. Takdir berkata lain, bis yang ditumpangi Alea mengalami kecelakaan tragis. Di tengah kekacauan, Alea diselamatkan oleh Ben, seorang pria berkarisma dan berstatus sebagai bos besar yang dikenal dingin dan misterius. Setelah sadar, Alea mendapati dirinya berada di rumah mewah Ben. Ia memutuskan untuk berpura-pura hilang ingatan, sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru. Ben, yang ternyata diam-diam mencintai Alea sejak lama, memanfaatkan situasi ini. Ia memanipulasi keadaan, meyakinkan Alea bahwa ia adalah kekasihnya. Alea, yang berpura-pura hilang ingatan tentang masa lalunya, mengikuti alur permainan Ben. Ia berusaha menjadi wanita yang diinginkan Ben, tanpa menyadari bahwa ia sedang terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan kebohongan. Lalu, apa yang akan terjadi ketika ingatan Alea kembali? Apakah ia akan menerima cinta Ben, atau justru membenci pria yang telah memanipulasinya? Dan bagaimana dengan Rian, apakah ia akan menyesali perbuatannya dan berusaha merebut Alea kembali?
PAKSAAN
Alea masih terisak di kamarnya, dikelilingi oleh rasa bersalah dan penyesalan. Tiba-tiba, Bi Ani mengetuk pintu kamarnya dengan ragu.
"Maaf, Nyonya, mengganggu lagi," ucap Bi Ani dengan nada pelan. "Ini, Tuan Ben menelepon lagi. Katanya penting."
Alea mengusap air matanya dengan kasar dan menerima telepon dari Bi Ani. Ia menempelkan gagang telepon ke telinganya dengan perasaan campur aduk.
"Halo?" sapanya dengan suara serak.
Terdengar suara Ben dari seberang sana, terdengar riang dan penuh kemenangan. "Halo, sayang. Apa kamu sudah menerima hadiahku?"
Alea terdiam sejenak. Ia membenci nada puas Ben yang seolah-olah ia telah memenangkan sesuatu. "Ya, aku sudah menerimanya," jawab Alea dengan nada dingin.
"Bagaimana? Kamu suka?" tanya Ben dengan nada menggoda. "Aku yakin kamu akan terlihat sangat cantik memakainya."
Alea mengepalkan tangannya erat-erat. Ia berusaha menahan amarahnya. "Kamu pikir aku akan memakai pakaian seperti itu?" tanyanya dengan nada sinis.
Terdengar tawa dingin dari seberang sana. "Sayang, kalau kamu tidak mau memakainya dengan sukarela," jawab Ben dengan nada mengancam, "aku yang akan memakaikannya dengan paksa. Dan kamu tahu aku tidak pernah main-main dengan ucapanku."
Alea terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Ben tidak sedang bercanda. Ia merasa terpojok dan tidak berdaya. "Kamu tidak bisa melakukan ini padaku," ucapnya dengan suara bergetar.
"Oh, aku bisa, Alea. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau," jawab Ben dengan nada meremehkan. "Kamu akan lihat nanti. Aku akan segera pulang, dan aku harap kamu sudah siap dengan 'hadiah' dariku."
Sebelum sambungan telepon terputus, Ben menambahkan dengan nada dingin dan menusuk, "Dan ingat, Alea, kalau kamu tidak mau memakainya atau tidak mau dipakaikan, aku bisa melakukan lebih dari itu. Aku bisa membuatmu telanjang di hadapanku, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhmu. Pikirkan baik-baik apa pilihanmu."
Sambungan telepon terputus. Alea mematung dengan telepon di tangannya. Ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tidak berujung. Ancaman Ben terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin takut dan putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa sangat dilecehkan oleh kata-kata Ben. Bagaimana bisa Ben memperlakukannya seperti ini? Bagaimana bisa Ben mengancamnya dengan cara yang begitu menjijikkan?
"Dengan cara seperti ini, bagaimana aku bisa mencintai Ben?" bisiknya dalam hati. "Bagaimana aku bisa menerima pria yang memperlakukanku seperti objek seksual? Bagaimana aku bisa menghormati pria yang mengancam dan merendahkanku?"
Alea merasa jijik pada Ben, pada dirinya sendiri, dan pada situasi yang sedang ia hadapi. Ia merasa seperti terperangkap dalam sangkar emas yang indah, namun penuh dengan duri yang menyakitkan. Ia ingin melarikan diri, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," pikirnya dengan tekad yang mulai tumbuh. "Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus melawan. Aku tidak bisa membiarkan Ben mengendalikanku sepenuhnya."
Namun, di tengah tekadnya yang mulai membara, Alea juga menyadari bahwa ia tidak bisa bertindak gegabah. Ia harus berhati-hati dan mempertimbangkan setiap langkah yang akan ia ambil.
"Tapi untuk saat ini," pikirnya dengan nada pasrah, "mungkin lebih baik aku menuruti Ben. Jika aku menuruti kemauannya, mungkin dia tidak akan terlalu mengawasiku. Mungkin dia akan sedikit melonggarkan cengkeramannya padaku."
Alea tahu, ini bukanlah solusi jangka panjang. Ia tidak bisa terus hidup dalam kepura-puraan dan ketakutan. Namun, untuk saat ini, ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup dan mencari celah untuk melarikan diri.
"Aku akan bermain sesuai dengan permainannya," pikirnya dengan tekad yang baru. "Aku akan berpura-pura menjadi wanita yang ia inginkan. Aku akan memakai lingerie itu dan menunggunya pulang. Tapi, di saat yang sama, aku akan mencari cara untuk membebaskan diriku dari cengkeramannya."
Dengan langkah berat, Alea mengambil kembali pakaian lingerie yang tadi ia lempar ke lantai. Ia memandangnya sekali lagi dengan tatapan yang berbeda. Kali ini, ia tidak lagi merasakan jijik atau marah. Ia hanya merasa penasaran dan sedikit takut.
Dengan ragu-ragu, ia mulai mencoba lingerie itu. Ia membuka satu per satu kancing bajunya dan membiarkan pakaian itu meluncur jatuh ke lantai. Ia merasa canggung dan tidak nyaman saat hanya mengenakan lingerie yang minim itu.
Ia berdiri di depan cermin dan menatap dirinya sendiri. "Siapa ini?" bisiknya dalam hati. Ia tidak pernah memakai pakaian seperti ini sebelumnya. Ia selalu berpakaian sopan dan tertutup.
Namun, saat ia melihat lebih dekat, ia mulai menyadari sesuatu yang berbeda. Lingerie itu memang minim dan seksi, namun juga indah dan elegan. Ia merasa bahwa pakaian itu memancarkan aura yang kuat dan memikat.
"Sungguh cantik," gumamnya tanpa sadar. Ia tidak menyangka bahwa ia bisa terlihat begitu berbeda dengan pakaian seperti ini. Ia merasa seperti wanita yang baru, lebih percaya diri dan menggoda.
Namun, kesadaran akan situasi yang sedang ia hadapi kembali menghantamnya. Ia tidak bisa terlena dengan kecantikannya sendiri. Ia harus tetap fokus pada tujuannya untuk membebaskan diri dari Ben.
Dengan hati-hati, Alea membuka kembali lingerie itu dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Ia tidak ingin Ben melihatnya mengenakan pakaian itu sebelum ia punya rencana yang jelas.
Setelah itu, ia beralih ke lemarinya dan mulai mencari pakaian lain. Ia melihat deretan pakaian mewah yang Ben siapkan untuknya. Pakaian-pakaian itu sangat berbeda dengan gaya Alea sebelumnya. Ben seolah ingin mengubahnya menjadi wanita yang sepenuhnya berbeda.
Ia melihat beberapa gaun yang sangat mahal, namun jarang ia kenakan. Ia ingin memilih sesuatu yang seksi, namun tetap elegan dan nyaman untuk dipakai di rumah. Ia merasa aneh mengenakan pakaian yang dipilihkan oleh pria yang mengancamnya, namun ia tidak punya pilihan lain.
Akhirnya, ia menemukan sebuah gaun sutra berwarna merah anggur dengan potongan yang pas di tubuhnya. Gaun itu memiliki belahan dada yang rendah dan belahan samping yang tinggi, namun tetap terlihat anggun dan berkelas. Ben pasti senang melihatnya mengenakan gaun ini, pikir Alea sinis.
"Ini dia," gumamnya sambil tersenyum tipis. Ia merasa bahwa gaun ini adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Gaun ini akan membuat Ben terkesan, namun tidak akan membuatnya merasa seperti ia telah sepenuhnya menyerah.
Tepat saat Alea sedang mengagumi dirinya sendiri di depan cermin, Bi Ani mengetuk pintu kamarnya lagi. "Nyonya, maaf mengganggu," ucap Bi Ani dari balik pintu.
"Masuk saja, Bi," jawab Alea dengan nada lembut.
Bi Ani membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Matanya membelalak kagum saat melihat Alea mengenakan gaun merah anggur itu. "Ya ampun, Nyonya cantik sekali!" seru Bi Ani tanpa sadar.
Alea tersenyum tipis mendengar pujian Bi Ani. "Terima kasih, Bi," jawabnya.
Bi Ani mendekat ke arah Alea dan menyerahkan sebuah kotak lagi yang tertinggal. "Ini, Nyonya. Tadi asisten Tuan Ben datang lagi. Katanya ada satu kotak yang tertinggal."
Alea menerima kotak itu dengan bingung. "Kotak apa ini, Bi?" tanyanya.
"Saya juga tidak tahu, Nyonya. Asisten Tuan Ben hanya bilang ini titipan untuk Nyonya," jawab Bi Ani.
Alea menatap kotak itu dengan curiga. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan kotak ini.
Setelah Bi Ani keluar dari kamarnya, Alea segera menutup pintu dan menguncinya. Dengan jantung berdebar kencang, ia membuka kotak kedua itu.
Dan ya, sesuai dugaan Alea, isinya adalah lingerie lagi. Namun, lingerie kali ini jauh lebih ekstrem dari sebelumnya.
Lingerie itu terbuat dari bahan transparan yang sangat tipis. Bahkan, bisa dibilang lingerie itu tidak menutupi apa pun. Lingerie itu lebih seperti hiasan tubuh daripada pakaian yang sebenarnya.
"Gila!" pikir Alea dengan ngeri. Lingerie ini bukan hanya akan terlihat seksi, tapi seperti mengenakan baju padahal nyatanya telanjang.
Selain lingerie transparan itu, di dalam kotak juga terdapat sebuah g-string yang sangat minim. G-string itu hanya berupa seutas tali yang hampir tidak menutupi apa pun.
Alea merasa marah, jijik, dan terhina. Ben benar-benar sudah keterlaluan. Ia tidak hanya ingin mengendalikannya, tapi juga mempermalukannya.
"Aku tidak akan memakai ini!" tekad Alea dalam hati. "Aku tidak akan membiarkan Ben memperlakukanku seperti ini!"