Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Lo ngapain di sini?" tanya Jack.
Deva tak menjawab. Tiba-tiba Deva mendekat mengikis jarak di antara mereka berdua, tanpa di duga hujan turun begitu deras membasahi tubuh keduanya.
"Butuh sandaran?" Deva merentangkan kedua tangannya di depan Jack.
Pemuda itu terdiam beberapa saat, matanya yang merah akibat menahan tangis tampak goyah. Detik berikutnya, Jack menarik pinggang Deva dan memeluk gadis itu erat.
Jack menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Deva, membiarkan air matanya jatuh bersama tetesan hujan yang membasahi mereka berdua.
Deva mengeratkan pelukannya. "Lo mau mati bareng?"
"Caranya?"
"Lompat dari gedung paling tinggi."
Jack tersenyum kecut. "Ide bagus. Tapi gue nggak mau."
"Kenapa? Bukannya lo mau nyusul tunangan lo?"
Jack menghela napas berat. "Gue cuma capek, Dev."
Pemuda itu semakin mengeratkan pelukannya, tapi detik berikutnya dia langsung melepaskan pelukan itu hingga membuat tubuh Deva terdorong mundur.
"Lo modus, ya?" tuduh Jack.
"Siapa yang modus?"
"Lo."
Deva menatap Jack tidak terima. "Ge-er banget lo jadi cowok."
"Mana ada, jelas-jelas lo yang meluk gue du--"
Perkataan Jack terhenti saat Deva tiba-tiba membekap mulutnya, gadis itu menatap lekat ke arah mata Jack. "Cerewet."
"Sialan. Lo yang bawel!"
Deva mengangkat kedua bahunya acuh, lalu melenggang pergi dari hadapan Jack begitu saja. Namun, sebelum benar-benar pergi Deva kembali berkata. "Pulang sana, jangan sampai lo mati kedinginan di sini."
Jack terdiam, dia mengamati kepergian Deva yang semakin jauh bersama tetesan hujan yang kian deras.
***
Sekembalinya ke rumah, Deva langsung bertatapan dengan ayahnya. Entah sejak kapan Dion sudah pulang, Deva sendiri tidak tahu. Pagi tadi ia masih ingat rumah dalam keadaan sepi, hanya ada suara Ibu di dapur.
"Dari mana kamu, Dev?" suara Dion terdengar datar, namun ada nada mengintimidasi yang membuat Deva menelan ludah.
Deva menarik napas panjang. "Dari kampus."
"Kampus mana yang biarin mahasiswinya pulang selarut ini?" Dion mendengus, menegakkan tubuhnya di sofa.
Deva melirik ke arah jam dinding. Jarum panjang dan pendek menunjuk tepat di angka dua belas dan enam. Setengah satu malam. Jauh lebih larut dari yang ia bayangkan.
Sebenarnya dia sengaja menunda pulang. Setelah bertemu Jack, dia memilih duduk lama di warung pinggir jalan, menatap hujan deras sambil mencoba menenangkan kepalanya yang berisik.
"Dad, aku capek. Bisa nggak marahnya di tunda aja?" suaranya terdengar lemah, hampir memohon.
Dia tidak sedang mengarang alasan. Hari ini benar-benar melelahkan. Tubuhnya sakit, pikirannya penuh, dan emosinya terkuras habis.
"Kamu ini perempuan, Deva. Kenapa tindakan kamu belakangan ini mirip berandalan?" suara Dion naik satu oktaf, membuat udara di ruang tamu terasa lebih tegang.
Deva menghela napas keras. "Aku cuma... butuh waktu, Dad. Satu hari ini aja, biar aku tidur dulu. Kita bahas besok pagi."
"Deva!" Dion berdiri dari sofa, membuat Deva sedikit mundur. "Kamu pikir dengan cara lari dari pembicaraan semuanya akan selesai? Kamu pulang larut, bergaul dengan orang yang nggak jelas, dan kamu harap Daddy diam saja?"
Mata Deva memanas. "Aku nggak lari. Aku cuma minta waktu. Kenapa setiap aku salah sedikit Daddy langsung ngomel? Aku juga capek, Dad!"
Dion terdiam sesaat. Rahangnya mengeras, matanya menatap putrinya dalam-dalam, seolah mencari kebohongan. Deva menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
"Aku cuma khawatir sama kamu, Dev. Kamu anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Kamu kira Daddy bisa tidur tenang kalau kamu nggak pulang-pulang?" nada suara Dion melunak sedikit, meski masih keras.
Deva menunduk. "Aku ngerti. Tapi Daddy juga harus ngerti aku. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa jaga diri."
Dion menghela napas berat, lalu meraih keningnya dengan telapak tangan. Keheningan sejenak memenuhi ruangan, hanya suara jam dinding yang berdetak.
"Besok pagi kita bicara," ujarnya akhirnya, suaranya terdengar lelah.
Deva mengangguk pelan, lalu berbalik menuju kamarnya. Langkahnya terlihat berat, tapi dia lega setidaknya perdebatan itu berhenti malam ini. Di balik pintu kamarnya yang tertutup, Deva akhirnya membiarkan air mata yang dia tahan jatuh begitu saja.
"Gue capek, Tuhan." Bisik deva.
Keesokan paginya, rumah kembali dipenuhi aroma kopi dan suara piring beradu di dapur. Deva duduk di meja makan dengan wajah lelah, rambutnya masih sedikit berantakan. Belum sempat dia menyuap sarapan, suara langkah berat ayahnya terdengar dari arah ruang tamu.
"Deva!" Dion muncul dengan wajah dingin. "Kamu pikir dengan tidur semua masalah beres? Duduk yang benar!"
Deva menatap ayahnya dengan mata sembab. Dia menegakkan tubuhnya, berusaha tetap tenang.
"Daddy sudah bilang jangan pulang larut malam, jangan bergaul sembarangan, tapi kamu malah sengaja menantang aku!" suara Dion meninggi, nadanya seperti cambuk yang menghantam dinding.
Deva menghela napas, suaranya lirih. "Dad..."
"Apa? Jangan 'Dad-Dad' segala! Kamu pikir Daddy nggak tahu akhir-akhir ini kamu sering keluar malam, sering bolos kelas? Kamu kira Daddy nggak dengar bisik-bisik tetangga soal kamu? Mau bikin Daddy malu, Dev?"
Deva merasakan amarah yang sudah lama dia tekan mendidih ke permukaan. Tangannya mengepal di atas meja.
"Kenapa Daddy tiba-tiba peduli?" tanyanya lirih, tapi matanya menatap Dion penuh luka.
Dion terdiam sesaat. "Apa maksud kamu?"
Deva berdiri, napasnya mulai tersengal karena emosi. "Kenapa Daddy harus pura-pura peduli sama aku?!" suaranya pecah. "Sejak awal Daddy nggak pernah benar-benar sayang sama aku, kan? Daddy pikir aku nggak tahu?!"
"Deva—"
"Aku dengar, Dad! Aku dengar waktu Daddy bilang aku penyebab Mama mati! Daddy, Gallen, Gio... kalian semua nuduh aku pembunuh cuma karena aku lahir ke dunia ini!" Air matanya jatuh deras, bahunya bergetar.
Dion mengerutkan kening. "Deva, itu—"
"Itu apa? Fakta?!" Deva mendekat, menunjuk dirinya sendiri. "Aku sudah cukup lama hidup dengan tatapan benci dari kalian semua, aku pikir Daddy berbeda dengan kedua kakakku tapi nyatanya aku salah. Aku berusaha jadi anak baik, aku belajar keras, aku nggak pernah bikin masalah, tapi tetap aja Daddy melihat aku kayak aku ini kutukan!"
Dion menahan napas. Kata-kata putrinya menusuk seperti pisau.
"Kenapa Daddy baru sekarang sok peduli? Karena Daddy takut aku bikin malu keluarga? Atau karena Daddy takut orang lain lihat kalau anakmu rusak?!" Deva terisak lirih.
Ruangan hening. Gema kata-kata Deva seakan memantul di dinding rumah. Dion membuka mulutnya, tapi tak ada kata keluar. Untuk pertama kalinya, dia melihat Deva bukan hanya sebagai anak yang bandel, tapi sebagai seseorang yang terluka, yang selama ini berjuang sendirian.
Deva menghapus air matanya dengan kasar. "Aku nggak butuh pura-pura darimu, Dad. Kalau Daddy benci aku, bilang aja. Jangan pura-pura jadi ayah yang peduli sekarang."
Dia berbalik, meninggalkan meja makan, langkahnya berat penuh tekad. Pintu kamarnya dibanting, membuat Dion berdiri terpaku di tempat.
Dion merasakan dadanya sesak. Kata-kata Deva menggema di kepalanya, menampar harga dirinya sebagai ayah. Untuk pertama kalinya dia benar-benar sadar, mungkin selama ini dia memang terlalu keras, terlalu jauh menjaga jarak, sampai anaknya merasa dibenci.
Dion bergumam lirih. "Apa yang sudah aku lakukan?"