Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34.. Armando koma
Mobil polisi dan ambulans meraung-raung tiba di lokasi kecelakaan beberapa saat kemudian. Petugas medis segera bergegas mengevakuasi Armando dari dalam mobil ringsek. Dengan hati-hati, mereka memindahkan tubuh tak sadarkan diri itu ke atas brankar dan membawanya menuju ambulans. Alessandro menyaksikan semua kejadian itu dari kejauhan, hatinya diliputi perasaan campur aduk.
Ambulans melaju kencang menuju rumah sakit terdekat, diikuti oleh mobil polisi di belakangnya. Alessandro dengan raut wajahnya yang tetap datar mengikuti dari kejauhan. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada Armando setelah itu.
Sesampainya di rumah sakit, Armando langsung dibawa ke ruang tindakan. Lampu merah di atas pintu menyala, menandakan para dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawanya. Alessandro menunggu dengan duduk di ruang tunggu yang tak jauh dari ruang operasi. mengamati polisi yang bergerak mondar mandir.
Satu jam kemudian, pintu ruang tindakan terbuka dan seorang dokter keluar dengan wajah lelah. sebelah tangannya tampak menghapus peluh yang membasahi keningnya..
Seorang polisi yang sejak tadi menunggu segera menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya polisi itu cemas.
Dokter itu menggelengkan kepala dengan wajah sedih. "Pasien dalam keadaan koma."
Alessandro yang juga mendengar informasi itu tampak terkejut.
"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kondisinya sangat kritis. Kami belum bisa memastikan apakah dia akan selamat."
Polisi itu menghela napas panjang. "Baik, Dok. Terima kasih atas usahanya. Kami akan menghubungi keluarga pasien berdasarkan kartu identitas yang ditemukan di dalam saku baju tubuh tuan Armando Mendoza."
"Semoga ada keajaiban," ucap dokter itu lirih, sebelum kemudian berlalu meninggalkan ruang tunggu.
Polisi itu kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi nomor yang tertera di kartu identitas Armando. Ia berharap keluarga dari pasien segera datang
Sementara itu, Alessandro masih terpaku di tempatnya, dalam hatinya ikut bersedih atas nasib tragis yang menimpa Armando. Meskipun mereka adalah musuh, ia tak pernah menginginkan ini terjadi. Ia benci Armando yang telah menyakiti Virginia, ingin melihat Armando menderita tapi bukan dengan jalan seperti itu.
Alessandro meninggalkan tempat itu setelah beberapa saat. "Apa aku harus memberitahukan ini pada Virginia? Tapi dia baru saja sadar. Aku tak ingin membuatnya kembali tertekan. Armando telah melukainya sedemikian rupa. Aku akan menjauhkan Virginia darinya."
.
Malam telah larut ketika Nyonya besar mendoza datang bersama dengan cecilia. Keduanya benar-benar syok saat mendapatkan telepon dari polisi beberapa jam lalu.
Nyonya Besar Mendoza dan Cecilia berdiri di depan pintu dan hanya bisa menatap tubuh armando dari balik kaca kecil. wajah mereka berdua tampak basah oleh air mata. Keduanya terpaku, tak mampu berkata-kata. Hanya isak tangis yang memecah keheningan malam.
Dengan tatapan penuh kesedihan, mereka mengamati Armando yang terbaring tak berdaya dari balik celah kaca.
Di balik sana, Armando tampak begitu rapuh. Wajahnya pucat pasi, memar kebiruan menghiasi pelipis dan pipinya. Selang infus menancap di lengan kirinya, mengalirkan cairan bening ke dalam tubuhnya. Dada bidangnya naik turun perlahan, dibantu oleh alat ventilator yang terhubung ke hidung dan mulutnya. Monitor di samping ranjang menampilkan grafik detak jantung dan tekanan darah yang berfluktuasi, menambah kesan dramatis dalam ruangan serba putih itu.
Ruangan itu tampak steril dan dingin. Selain ranjang Armando, hanya ada beberapa peralatan medis seperti monitor EKG, mesin ventilator, dan rak berisi obat-obatan. Sebuah lampu operasi menggantung di atas ranjang, memancarkan cahaya terang yang membuat wajah Armando semakin pucat.
Nyonya Besar Mendoza tak kuasa menahan air matanya. Ia teringat akan sosok Armando kecil yang selalu ceria dan penuh semangat. Ia teringat akan semua kenangan indah yang telah mereka lalui bersama. Kini, putranya terbaring lemah, berjuang antara hidup dan mati, dikelilingi alat-alat medis yang asing.
"Armando, anakku," bisik Nyonya Besar Mendoza lirih, suaranya bergetar. "Bertahanlah, Nak. Ibu mohon, jangan tinggalkan kami."
Cecilia pun tak kalah sedih. Ia teringat akan semua kebaikan Armando padanya. Ia teringat akan janji-janji manis yang pernah mereka ucapkan. Kini, semua terasa begitu jauh dan mustahil. Pria yang dicintainya terbaring tak berdaya, dikelilingi alat-alat yang menopang hidupnya, dan ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Armando, bangun!" bisiknya pelan. "kenapa jadi seperti ini?" gumamnya.
"tenang. dulu, Ma. Sebaiknya kita pulang. Besok kita datang lagi. Aku takut mama sakit jika terus seperti ini." Cecilia berusaha membujuk mamanya agar mau meninggalkan tempat itu.
"Tapi kakakmu?" nyonya besar mendoza tampak tak mau beranjak.
"Ada dokter dan perawat yang menjaga. Sergio juga sedang mengurus segala administrasi. Sebentar lagi pasti kembali ke sini. Kita pulang ya. biar Sergio sja yang menunggu kakak. "
Akhirnya nyonya besar mendoza menurut meskipun berat. Walaupun Armando keras kepala, tetap saja itu adalah putra yang sangat disayanginya. mereka pun pergi dari depan ruang rawat Armando masih dengan menghapus air mata.