Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Sore hari, Alessandro pulang dari perusahaan diantar oleh Bernardo Duarte, asisten kepercayaannya.
Berjalan ke ruang kerja, Bernardo masih setia mengiringi langkahnya. Masih ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan.
“Apa tidak sebaiknya Anda membersihkan diri lebih dulu? Mungkin pikiran Anda akan lebih rileks jika tubuh dalam keadaan segar.” Bernardo memberanikan diri untuk bicara.
“Maksud saya, Anda terlihat lelah. Lagipula semua sudah berjalan sesuai dengan keinginan Anda. Jadi seharusnya kita tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.” Bernardo memperbaiki ucapannya karena Alessandro menatapnya terlihat tidak suka.
“Humm, baiklah aku akan bersih-bersih dulu.” Alessandro meninggalkan Bernardo sendirian di ruang kerja.
“Saya akan meminta seorang pelayan menyiapkan minuman untuk Anda.” Bernardo pergi ke dapur tanpa mendengar jawaban Alessandro.
…
Beberapa saat kemudian, Alessandro sudah kembali bersama dengan asistennya di ruang kerja. Alessandro benar-benar menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja hanya demi mengalihkan perhatian dari kondisi Virginia.
“Sebaiknya Anda istirahat. Anda terlihat benar-benar lelah,” ucap Bernardo.
“Jangan mengaturku. Aku tahu apa yang aku lakukan.” Alessandro terlihat sangat tidak suka.
“Maaf, saya tidak bermaksud demikian. Tetapi jika terus memforsir diri, mungkin jika nanti Nona Virginia bangun, justru Anda yang tumbang.”
Alessandro menatap Bernardo sengit, tapi sekejap kemudian melunak. Tampaknya nama Virginia cukup ampuh untuk menaklukkannya. Alessandro menutup berkas di tangannya. Dan bermaksud bangkit.
“Anda ingin menengok Nona Virginia?” tanya Bernardo.
Alessandro keluar dari ruang kerja tanpa menjawab.
“Pelayan telah menyiapkan teh herbal untuk Anda. Sebaiknya diminum dulu, agar tubuh Anda lebih rileks.” Bernardo bahkan mengejar sambil membawa cangkir di tangannya.
Karena kesal dengan asistennya yang begitu cerewet, Alessandro menerima cangkir itu dan menenggak teh yang sudah hangat kuku hingga habis. Bernardo memperhatikan dengan tatapan yang rumit.
“Ini, kau sudah puas?” Alessandro menyerahkan kembali cangkir yang sudah kosong pada Bernardo.
Bernardo hanya menerima itu sambil menundukkan sebentar kepalanya. “Maafkan saya, Tuan.” gumamnya dalam hati
“Kamu pulanglah. Maaf, karena keegoisanku, kamu jadi ikut lembur tiap hari.”
“Dengan senang hati. Itu sama sekali bukan masalah bagi saya.”
Tak lagi mempedulikan asistennya, Alessandro berjalan menuju ruang rawat Virginia. Tanpa tahu, kalo Bernardo ternyata tidak langsung pulang sesuai perintahnya.
Beatrice yang melihat kedatangan tuannya, menunduk hormat lalu pergi.
“Kenapa kamu betah sekali untuk tidur? Apakah duniamu yang sekarang begitu nyaman?” Seperti biasa Alessandro langsung duduk di kursi di samping ranjang Virginia sambil memegang tangan wanita itu yang tak terpasang selang infus.
“Aku ingin datang padamu sebagai pangeran berkuda putih, yang menciummu dan membangunkanmu dari tidur panjang, apakah boleh?"
Alessandro menggenggam jemari wanita itu menempelkan di pipinya menatap sendu ke arah wanita yang masih betah memejamkan mata hingga saat ini.
“Ini bahkan sudah lima bulan. Apakah punggungmu tidak terasa pegal? Ayo bangunlah! Setidaknya bangun sebentar saja dan lihat aku! Jika kamu lelah, boleh tidur lagi.” Alexander terus saja berbicara seorang diri. Menumpukan siku pada tepian ranjang menggenggam tangan Virginia yang masih Iya tempelkan di wajah.
Sesekali menutup mulutnya yang menguap. Memperhatikan penunjuk waktu, baru pukul delapan malam. Kenapa tiba-tiba saja dia mengantuk? Tak biasanya, bahkan ia terbiasa baru bisa tidur menjelang pagi hari.
“Virginia, aku mencintaimu,” gumamnya. Kedua matanya yang menatap wajah Virginia perlahan semakin redup dan akhirnya terpejam . Kepalanya terkulai lemas tergeletak pada sisi ranjang berbantalkan punggung tangan Virginia. Apakah mungkin karena begitu lelahnya?
Tanpa ia sadari wajah yang sejak tadi menjadi hiasan dalam bola matanya, mata yang terpejam sejak lima bulan lalu, perlahan meneteskan beningan kristal di sudutnya, jatuh ke bantal melewati pelipis yang terlihat tirus.
.
.
Virginia tengah berjalan di tepi pantai yang gelap. Kakinya perlahan masuk ke dalam air, semakin ke tengah dan semakin ke tengah.
“Virginia, kamu mau ke mana?”
Wanita itu menoleh, ada wajah Armando terlihat jauh di belakang. Tak menghiraukan keberadaan mantan suaminya, wanita itu melanjutkan langkah dan semakin ke tengah hingga air mencapai pinggangnya.
“Virginia, jangan pergi Ayo kita pulang ke rumah, ya?”
Mendengar kembali teriakan Armando, Virginia menghentikan langkahnya dan menoleh. “Rumah? tanyanya. “Apa aku masih punya rumah?” Wanita itu menatap getir.
“Maafkan aku aku sudah tahu bersalah. Aku akan memperbaiki semuanya,” teriak Armando.
“Sudah terlambat. Aku tidak mau lagi. Di dunia ini tidak ada yang menyayangiku, maka aku akan mencari duniaku sendiri.” Virginia melanjutkan langkahnya.
Suara teriakan Armando terus terdengar, tetapi wanita itu tetap tak peduli. Membiarkan air matanya terus menetes tanpa sedikitpun keinginan untuk menghapus. Ini adalah Air mata terakhirnya. Setelah ini ia tak kan menangis lagi.
“Virginia… Apa kau juga akan meninggalkanku?” suara yang terdengar asing bagi Virginia, tetapi Virginia merasa familiar. Wanita itu menoleh, mengerutkan kening. Ada seorang pria mengenakan pakaian mewah serba putih. Jas putih, celana putih. Namun, wajah pria itu tak terlihat.
Pria itu berjalan mendekat dan mengulurkan tangan. “Jangan pergi! Berikan seluruh lukamu hanya padaku! Biarkan aku yang menghapusnya.” Entah kenapa Virginia memilih mengangguk dan menyambut uluran tangan pria itu.
.
.
“Bagaimana? Apakah Tuan sudah tidur?” Bernardo mendekati Beatrice yang baru saja melihat ke melongokkan kepala ke dalam kamar.
“Sepertinya sudah, tuan Bernardo.” Beatrice menjawab dengan raut sedikit ragu.
“Kerjakan yang aku perintahkan sekarang!” Dengan isyarat tangannya, Bernardo memerintahkan beberapa pelayan pria untuk bergerak.
“Apa nanti tuan tidak akan marah?” Beatrice benar-benar takut.
“Kita pikir belakangan!” Bernardo membuka pintu lebar. Empat orang pria membawa masuk sebuah sofa bed dan meletakkan di sebelah ranjang pasien. Beatrice memasang sprei dan bedcover, juga meletakkan bantal yang empuk.
Setelah semua tertata rapi dan nyaman, pelan-pelan Bernardo melepas tangan Alessandro yang sedang menggenggam tangan Virginia.
Setelah genggaman terlepas, Bernardo dengan dibantu oleh seorang pelayan pria mengangkat tubuh pria itu dan memindahkannya ke sofa bed, kemudian menyelimutinya.
“Kalian semua keluar! Jangan khawatir, tuan baru akan bangun besok pagi.”
Beatrice dan para pelayan pria mengangguk dan pergi sesuai perintah Bernardo.
*Maaf, Tuan. Tapi saya harus melakukan ini.” sebelumnya,
Bernardo memang sengaja membubuhkan obat tidur ke dalam minuman tuannya. Ia merasa tidak senang sekaligus tak tega melihat kondisi tuannya. Mata Alessandro yang terdapat lingkaran hitam. Bahkan tubuh atasannya itu juga terlihat tidak vit. Bagaimana tidak, siang hari Alessandro bekerja keras, malamnya tak tidur. Begitu betah jika sudah menatap wajah Virginia. Selalu seperti itu setiap hari.
Bernardo menatap datar ke arah Virginia. "Sampai kapan Anda akan betah seperti itu? Jika Anda tidak menyayangi hidup Anda sendiri terserah. Tapi jangan buat orang lain terus kesusahan karena memikirkan kondisi Anda. Bangunlah, Nona Virginia. Di antara orang-orang yang ingin menghancurkan Anda, ada orang yang sangat ingin melihat Anda bahagia." Bernardo keluar setelah mengatakan uneg-unegnya.
Ruangan menjadi sunyi, sepi. Hanya detak jarum jam yang membelah keheningan. Tak seorangpun yang melihat, setitik air bening kembali jatuh ke atas bantal.
Semoga segera bangun Virginia ....
. padahal dah dari bab kemarin yak
siapa kah gerangan pria yg di dalam mimpi itu,,,
bnrn gila tu orng.....
hiiyyy......mna kjam pula....tp ga pa2 lh,kn bls dndm sm mreka krna udh nyktin virginia.....
* Narasi yang Malas: "Cukup sudah. Kesabaran... ambang batasnya." Ini adalah narasi internal yang tidak diekspresikan dengan baik melalui aksi atau dialog. Pembaca tidak melihat proses "batas kesabaran" itu, hanya diberitahu bahwa itu terjadi.
* Keputusan Terlambat: Virginia bertahan lima tahun, kehilangan bayi, diperlakukan buruk, dan baru sekarang ia menyerah? Ini membuat karakternya terasa pasif dan lemah. Drama yang terlalu lama tanpa titik balik yang signifikan membuat cerita terasa berlarut-larut.
* Dramatic Irony Murahan: Vero yang "pura-pura sakit" adalah trik lama untuk memanipulasi. Ini terasa seperti adegan sinetron sore yang diproduksi terburu-buru.
* Kejadian Konyol: Di hari ulang tahun pernikahan, bukannya fokus pada istri, dia malah membawa orang lain ke rumah sakit karena "pura-pura sakit"? Ini bukan drama, ini kebodohan yang sulit dipercaya. Armando terlihat semakin menjengkelkan tanpa alasan yang kuat, dan plotnya terkesan dipaksakan hanya untuk menciptakan penderitaan bagi Virginia.Paragraf 4: "Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli."
* Tragedi yang Dieksploitasi: Kehilangan bayi adalah peristiwa yang sangat menyakitkan, namun di sini terasa seperti sekadar alat untuk menumpuk penderitaan Virginia dan membuat Armando semakin kejam. Ini kehilangan dampak emosionalnya karena tidak ada pengembangan yang layak. Pembaca tidak merasakan kesedihan; mereka hanya melihat satu lagi cobaan yang dilemparkan begitu saja.
* Kedangkalan Karakter: "Armando tetap tak peduli" – Kembali, ini adalah karakterisasi satu dimensi. Mengapa dia begitu kejam? Apa motivasinya? Jika tidak ada, dia hanyalah karikatur, bukan manusia.Paragraf 5: "
Paragraf 2: "Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namun, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk."
* Generalisasi Hambar: "Selalu berusaha menjadi istri yang baik" – Bagaimana caranya? Apa buktinya? Ini adalah deskripsi tanpa isi.
* Karakterisasi Satu Dimensi: Armando adalah gambaran paling klise dari suami antagonis: "dingin dan memperlakukannya dengan buruk." Tidak ada nuansa, tidak ada alasan. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menyiksa Virginia, bukan sebagai karakter yang kompleks. Lima tahun dan tidak ada yang berubah? Plotnya mandek.