Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Damian menghela napas panjang, pikirannya campur aduk. Apakah ini akan membuat Anya semakin terpuruk, atau justru menjadi titik baliknya?
"Ada lagi?" tanya Damian pada Alex.
"Ya, Tuan. Kami menemukan jejak Revan mencoba menghubungi beberapa orang penting di luar negeri. Sepertinya dia berencana melarikan diri," lapor Alex.
"Awasi dia," perintah Damian.
Damian menutup telepon dan mengusap wajahnya kasar. Ia merasa lelah dengan semua ini. Ia ingin melindungi Anya, tapi ia juga tidak ingin ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga Anya dengan Revan.
Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Memandang lampu-lampu kota yang berkelip-kelip di kejauhan. Ia merenung, mencari cara untuk membantu Anya tanpa harus melukai hatinya.
Ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Pemandangan kota yang ramai tidak mampu menghapus kegelisahannya. Ia tahu Anya selama ini memendam impian besar: menjadi seorang desainer sukses dan memiliki butik sendiri. Mungkinkah ini saat yang tepat untuk mewujudkan mimpinya?
Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya. Damian tersenyum tipis. Ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu Anya bangkit kembali.
Keesokan harinya, Damian bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Anya, lalu berjalan menuju kamar tidur dengan langkah mantap. Ia membuka pintu perlahan dan mendapati Anya masih tertidur lelap.
Wajah Anya terlihat pucat, namun damai. Damian mendekat dan berjongkok di samping ranjang. Ia mengamati wajah wanita itu dengan seksama. Ia melihat tekad dan semangat yang selama ini tersembunyi di balik kesedihannya.
"Anya," panggil Damian lembut, sambil mengusap rambut Anya perlahan.
Anya menggeliat dan perlahan membuka matanya. Ia menatap Damian dengan tatapan kosong, lalu mengerjap-ngerjapkannya, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk.
"Damian?" gumam Anya dengan suara serak.
"Selamat pagi," sapa Damian dengan senyum hangat. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo bangun." lanjut Damian.
"Anya," panggil Damian lembut, sambil mengusap rambut Anya perlahan.
Anya menggeliat dan perlahan membuka matanya. Ia menatap Damian dengan tatapan kosong, lalu mengerjap-ngerjapkannya.
"Damian?" gumam Anya dengan
"Selamat pagi," sapa Damian dengan senyum lembut, berusaha menyembunyikan kecemasan yang ia rasakan. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo bangun, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Anya hanya mengangguk lemah dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Damian menghela napas dan menunggu Anya di ruang makan.
Beberapa menit kemudian, Anya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sedikit lebih segar. Ia duduk di kursi dan mulai menyantap sarapan yang telah disiapkan Damian.
"Bagaimana tidurmu?" tanya Damian, berusaha memulai percakapan.
"Lumayan," jawab Anya singkat, tanpa menatap Damian.
Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Damian tahu, Anya masih belum bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Ia harus berhati-hati dalam memilih kata-kata.
"Anya," panggil Damian, memecah kesunyian. "Aku tahu kau selama ini memendam impian untuk menjadi seorang desainer. Aku ingin membantumu mewujudkan impianmu."
Anya terdiam. Ia menatap Damian dengan tatapan bingung. "Maksudmu?" tanyanya.
"Aku akan membantumu membuka butik sendiri," jawab Damian dengan mantap. "Aku akan menyediakan modal dan semua yang kau butuhkan."
Mata Anya membulat. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kau serius?" tanyanya, suaranya bergetar.
Damian mengangguk. "Aku serius. Aku tahu kau berbakat dan punya potensi besar. Aku ingin kau bisa meraih impianmu," ujarnya tulus.
Anya terdiam sejenak, mencerna semua perkataan Damian. Air mata tiba-tiba mengalir di pipinya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.
"Terima kasih, Damian," ucap Anya dengan suara lirih, namun penuh dengan ketulusan. "Kau benar-benar baik padaku."
Damian tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Anya. "Aku melakukan ini karena aku peduli padamu, Anya. Aku ingin melihatmu bahagia," ujarnya.
Anya Anya membalas genggaman tangan Damian dengan erat. Ia merasakan kehangatan dan ketulusan dari pria itu. Untuk pertama kalinya sejak kejadian yang menimpanya, Anya merasakan secercah harapan.
"Tapi, kenapa kau melakukan ini untukku?" tanya Anya, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Kau tidak harus melakukan ini."
Damian menghela napas sejenak sebelum menjawab. Ia menatap mata Anya dengan tatapan lembut dan penuh kasih. "Karena aku menyayangimu, Anya," ucapnya tulus. "Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu."
Anya terkejut mendengar pengakuan Damian. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria itu memiliki perasaan padanya. Ia selama ini hanya menganggap Damian sebagai teman, sebagai orang yang telah membantunya keluar dari kesulitan.
"Damian ..." ucap Anya lirih, tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu," sela Damian. "Aku tidak memintamu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu dan aku akan selalu ada untukmu."
Anya terdiam sejenak, memikirkan semua perkataan Damian. Ia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ia merasa berterima kasih dan terharu dengan perhatian Damian. Namun, di sisi lain, ia masih belum bisa melupakan Revan sepenuhnya.
"Aku ... aku butuh waktu untuk memikirkannya," ucap Anya akhirnya. ia sebenarnya juga merasakan hal yang sama terhadap Damian tapi ia masih ragu dengan perasaannya sendiri.
"Tentu," jawab Damian dengan senyum maklum. "Aku akan memberikanmu waktu sebanyak yang kau butuhkan. Yang terpenting, aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu."
Anya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia merasa lega karena Damian tidak memaksanya untuk memberikan jawaban. Ia tahu, ia harus fokus dulu pada perceraiannya dengan Revan, dan juga masalah yang sedang ia hadapi sekarang.
"Kalau begitu, mari kita mulai merencanakan butikmu," ucap Damian dengan semangat. "Apa yang ada di benakmu? Konsep seperti apa yang kau inginkan?" tanya Damian mencoba mengalihkan suasana tegang yang sempat tercipta di antara mereka.
Bersambung ....
di tunggu karya karya selanjutnya ya