Dikhianati cinta. Ditindas kemiskinan. Ditinggalkan bersimbah darah di gang oleh kaum elit kaya. Mason Carter dulunya anak orang kaya seperti anak-anak beruntung lainnya di Northwyn City, sampai ayahnya dituduh melakukan kejahatan yang tidak dilakukannya, harta bendanya dirampas, dan dipenjara. Mason berakhir sebagai pengantar barang biasa dengan masa lalu yang buruk, hanya berusaha memenuhi kebutuhan dan merawat pacarnya-yang kemudian mengkhianatinya dengan putra dari pria yang menuduh ayahnya. Pada hari ia mengalami pengkhianatan paling mengejutkan dalam hidupnya, seolah itu belum cukup, ia dipukuli setengah mati-dan saat itulah Sistem Kekayaan Tak Terbatas bangkit dalam dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Pertama
Mason menggigit bibirnya. "Apa sih maksudnya bermain ‘Petak Umpet Sosis?!"
【Mungkin Anda akan tahu. Itu tergantung apakah Anda menyelesaikan tugasnya atau tidak. Semoga beruntung, Tuan Rumah.】
Mata Mason sedikit meredup saat dia menghela napas dalam-dalam. Dia tidak pernah menyangka tugas seperti ini akan datang pada saat seperti ini, tapi dia selalu tahu bahwa dia akan menghadapi hal-hal seperti ini setelah fitur Harem dari sistem terbuka.
【Durasi: 12 Jam.】
【Hadiah Tambahan: +2 Poin Kekayaan. +1 Keterampilan.】
Selain hadiah tujuh juta dolar dan tambahan pada atributnya, sistem sebenarnya akan memberinya dua Poin Kekayaan, yang dia tahu memiliki nilai yang sangat besar, dan sebuah keterampilan...
Sebuah keterampilan... Mason benar-benar belum mengerti apa gunanya keterampilan itu untuknya, tapi dia tahu itu adalah alat lain menuju kejayaan.
Meskipun tugasnya gila, hadiahnya pun sangat besar.
"Tujuh juta dolar hanya untuk meniduri seorang suster??? Aku akan melakukannya!” Mason menantikan untuk menyelesaikan tugas itu hari ini. Dia makan siang terlambat, sekitar jam 4:30 sore, lalu pergi mandi.
Setelah berganti pakaian baru, dia segera menekan nomor suster Luna.
[Ponsel berdering...]
Butuh beberapa saat sebelum dia mengangkat.
"Halo? Mason?" tanya Luna.
Mason mengangguk. "Hei... ya, maaf meneleponmu selarut ini. Aku merasa sedikit tidak enak badan. Ada rasa sesak di dada lagi. Aku pikir sudah hilang, tapi kembali lagi."
"Kamu sebaiknya datang ke klinik," jawabnya dengan suara yang hampir dingin.
"Aku rasa aku tidak bisa sampai kesana tanpa pingsan. Mungkin... kau bisa datang ke apartemenku memeriksanya di sini? Hanya sebentar saja?" Mason berbohong, tapi dia berusaha menunjukkan keseriusan yang penuh.
Dia memastikan suaranya mencerminkan semua yang dia karang itu.
"Apartemenmu?" tanya Suster Luna, nada suaranya berubah.
"Ya. Tolong, Suster Luna. Aku tidak akan menelepon kalau ini tidak penting," Mason meyakinkan.
Sebuah jeda singkat terjadi di ujung teleponnya, membuat hati Mason juga terhenti sejenak.
"...Baiklah. Kirimkan alamatnya lagi lewat pesan. Aku akan segera kesana."
Akhirnya dia setuju, dan mata Mason langsung berbinar. Sebuah senyum tersungging di bibirnya saat dia tersenyum sinis.
Langkah pertama berhasil!
"Terima kasih," kata Mason sebelum mengakhiri panggilan.
Mason meletakkan kedua tangannya di pinggang. Lalu dengan cepat, terlintas ide baru di kepalanya, dia segera mulai merapikan kamarnya.
Kamarnya memang sudah berantakan karena belakangan ini dia tidak punya banyak waktu untuk bersih-bersih, tapi hari ini dia jelas memiliki cukup waktu—hanya saja dia harus melakukannya dengan cepat.
Tak butuh waktu lama, semuanya beres.
Mason duduk di tepi tempat tidur, handuk tergantung longgar di lehernya, kulitnya masih basah karena baru selesai mandi. Udara di apartemen tercium samar wangi kayu cendana dan lilin kayu manis yang sengaja dia nyalakan. Alunan lembut musik jazz terdengar di latar belakang, cukup pelan agar tidak mengganggu, tapi cukup keras untuk mengisi keheningan.
Dia melirik ponselnya. Pukul 6:47 sore.
Dia terlambat.
Atau mungkin berhati-hati, dia menduga.
Bagaimanapun juga, itu menguntungkannya. Memberinya waktu untuk mengulang-ulang kalimat yang sebenarnya tidak dia rencanakan, tapi siap dia improvisasi tergantung pada responnya.
Tugas Ketujuh jelas: ciptakan keadaan darurat yang meyakinkan, pancing Suster Luna datang ke ruang pribadinya, dan jika berhasil, rayulah dia hingga tingkat afeksinya naik hingga 60%. Angka itu menghantuinya seperti papan skor, selalu terasa nyaris terjangkau.
Ketukan lembut terdengar di luar apartemen, sebelum dia sempat menyadarinya.
Dia menarik napas dalam-dalam, berdiri, dan berjalan ke pintu, memastikan handuk masih tergantung santai di lehernya. Saat dia membukanya, di sanalah Suster Luna berdiri, tidak mengenakan seragam putihnya, melainkan blus sederhana dan celana jeans, dengan tas selempang di dada. Dia melihat sekeliling lorong sebentar sebelum menatap Mason.
"Aku biasanya tidak melakukan kunjungan kerumah," katanya.
Mason tersenyum. "Ya, aku mengerti. Tapi kau mengatakan untuk menelepon kalau ada yang terasa aneh lagi. Dan kali ini, memang benar-benar terasa aneh."
Dia melangkah masuk, matanya menyapu ruangan apartemen. Lebih rapi dari yang dia kira. Bersih, minimalis.
"Kau terdengar mendesak di telepon," katanya.
Mason menutup pintu dengan perlahan di belakangnya. "Ya, aku merasa sesak di dadaku lagi. Setelah mandi, aku sempat merasa pusing. Aku tidak mau berjalan sampai ke klinik kalau tiba-tiba pingsan."
Dia mengangkat alis. "Jadi ide pertamamu adalah meneleponku?"
"Aku percaya padamu," jawabnya dengan singkat.
Luna mengedipkan mata, lalu menghela napas pendek dan meletakkan tasnya di sofa terdekat.
"Baiklah. Duduk."
Mason kembali ke sofa, duduk saat Luna mengeluarkan kotak kecil portabel dan sebuah stetoskop.
Dia sedikit berlutut untuk memeriksa denyut nadinya, tangannya menyentuh pergelangan tangan Mason.
"Kau seharusnya datang ke klinik," gumamnya sambil menghitung detak jantung.
"Aku tahu. Tapi aku berharap ada sesuatu yang sedikit... lebih hangat," kata Mason dengan senyum miring.
Dia menatap ke atas. "Mason."
"Apa?" Dia tersenyum, lembut dan menenangkan. "Kau bukan orang yang paling dingin di ruangan ini."
Luna mendesis tapi tidak langsung menarik tangannya.
"Ini bukan semacam lelucon, kan?" dia memperingatkan dengan jelas.
"Bukan lelucon. Menurutmu aku akan menyiram wajahku dengan air, berpura-pura sesak napas, lalu mengundangmu ke apartemenku hanya untuk merayumu?" Dia berhenti sejenak.
"Oke, mungkin itu terdengar seperti sesuatu yang akan kulakukan..."
Mason mengangguk. Sebenarnya, itu adalah kebohongan yang bagus juga... Dia hanya berharap bisa melangkah jauh sebelum Luna menyadarinya.
Luna memberinya tatapan tajam.
"Tapi kali ini, aku benar-benar merasa aneh," tambahnya dengan senyum. "Mungkin aku hanya butuh melihat seseorang yang membuatku merasa aman."
Tangan Luna terhenti saat dia memutar bola matanya... Dia memberi sedikit tatapan tajam padanya saat itu.
"Kau memang benar-benar aneh," gumamnya pelan, lebih terdengar terhibur daripada marah.
Mason mengangkat bahu. "Aku sering mendengar itu."
Dia berdiri, memasukkan kembali stetoskop ke dalam tasnya. "Organ-organ tubuhmu normal. Tidak ada tanda-tanda masalah di dada. Apa pun itu, sudah berlalu."
"Mungkin kau adalah obatku," kata Mason dan kali ini dengan suara yang lebih rendah—kurang menggoda, lebih tulus.
Luna menatapnya tajam tapi tidak membalas. Dia hanya berpindah ke sofa untuk duduk dan mencatat di buku kecil. "Kau harus makan lebih baik. Minum lebih banyak air. Tidur lebih awal."
Mason menatapnya dan mengangguk, bersandar di sofa, memperhatikannya. "Mungkin aku akan melakukannya... kalau ada seseorang yang mengingatkanku."
Pena Luna berhenti. Hanya sebentar.
Mason berdiri perlahan dan berjalan ke dapur, menuang dua gelas air dingin. Dia memberikannya satu tanpa bertanya.
Luna menerimanya.
"Kau sebenarnya tidak harus datang," katanya. "Kau bisa saja bilang tidak, atau menyuruhku datang ke klinik besok pagi."
Luna menatapnya. "Aku tahu."
"Lalu kenapa kau datang?"
Keheningan muncul lagi. Ada semacam ketegangan—bukan permusuhan, hanya rasa ragu.
"Karena... aku ingin tahu apakah kau benar-benar baik-baik saja," jawabnya pelan setelah ragu-ragu cukup lama. "Kau terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki banyak orang yang peduli padanya."
Mason mengangguk pelan... Pernyataan itu menghantamnya dengan keras. "Kau benar. Memang tidak."
Luna meneguk air dari gelas. "Kalau begitu, lain kali jangan berpura-pura darurat. Cukup katakan saja kalau kau ingin berbicara denganku," katanya.
Sudah jelas dia mulai ragu kalau Mason benar-benar mengalami nyeri dada.
"Apakah kau akan datang?”
Dia tersenyum tipis, sedikit enggan. "Mungkin."
Percakapan pun mulai mengalir santai setelah itu. Mason berganti baju bersih, masih sedikit basah di bagian kerah. Mereka membicarakan hal-hal acak... gosip kampus, seberapa ketatnya dewan medis, dan bagaimana Mason benci rasa makanan di rumah sakit.
Musik jazz terus mengalun di latar belakang.
Dan Luna tetap tinggal. Bahkan setelah airnya habis. Bahkan setelah jelas Mason baik-baik saja.
Dia tetap tinggal.
Dan Mason tahu tugasnya berjalan lebih baik dari yang dia harapkan.
Karena untuk kali ini, rasanya bukan seperti rayuan.
Tapi seperti koneksi.
Dan di detik berikutnya, Mason bergerak mendekat padanya...
Hanya ada sedikit jarak.
Luna menelan ludah, bergeser sedikit di kursinya.
"Kau... sedang bermain permainan berbahaya, Mason," katanya dengan suara bergetar.
Mason tersenyum, hangat namun berani. "Hanya kalau kau tidak mau memainkannya bersamaku."
Keheningan yang menyusul terasa lebih berat. Napas Luna tertahan, dan untuk pertama kalinya, dia tidak mundur saat jemari Mason menyentuh jarinya.
Seolah waktu berhenti sesaat, dan sebelum mereka menyadarinya, tidak ada lagi jarak di antara bibir mereka, saat Mason menariknya dengan lembut ke arahnya.