NovelToon NovelToon
Keluarga Langit

Keluarga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Cinta setelah menikah / Keluarga
Popularitas:482
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.

Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.

Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.

Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.

Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.

Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.

Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.

Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Yang Berbeda

Laju udara dingin menusuk tulang, namun tidak sedingin ketakutan yang Rohim rasakan. Ia melesat di udara, sebuah meteor api yang tak terkendali. Kekuatan Energi Matahari miliknya menciptakan dorongan panas yang dahsyat, mendorongnya ke depan dengan kecepatan gila. Di gendongannya, Shalih terasa panas, Energi Bintang putranya bereaksi dengan panasnya Rohim, menciptakan efek akselerasi yang tak masuk akal.

​Di sampingnya, Fitriani mengekor, terhuyung-huyung. Ia memeluk Humairah erat-erat, tubuh mungil putrinya memancarkan aura kosmik lembut yang membantu menjaga keseimbangan mereka. Fitriani berjuang keras. Ia memanggil Cahaya Bulan di dalam dirinya, menciptakan bidang gravitasi mikro yang memungkinkan ia tetap melayang. Hijab putihnya berkibar liar, menutupi wajahnya yang pucat. Ia hanya fokus pada satu hal: tidak jatuh.

​Mereka terbang melintasi lautan luas, melewati batas waktu dan benua dalam hitungan jam. Di bawah, dunia berputar cepat, tampak seperti peta yang buram.

​"Kita... kita mau ke mana, Yah?!" teriak Fitriani, suaranya parau, nyaris hilang tertiup angin.

​Rohim memejamkan mata, memfokuskan energi. Ia mengarahkan dirinya dengan naluri, tidak dengan peta. Hanya satu tempat yang ia tuju, satu-satunya tempat yang terasa seperti surga setelah semua neraka yang mereka lalui.

​"RUMAH! KITA KE RUMAH, BU! BATARA RAYA!" balas Rohim, suaranya menggelegar, berjuang melawan deru angin dan energi di sekelilingnya.

​Kecepatan mereka mulai berkurang saat mereka mendekati daratan. Dorongan Energi Matahari Rohim terasa memudar, ia mulai kelelahan. Pendaratan. Itu adalah tantangan yang paling menakutkan.

​Melesat menembus awan tebal, mereka melihatnya: Batara Raya. Kota pelabuhan yang ramai, dengan jembatan megah yang membentang di atas selat. Dan di antara deretan rumah-rumah yang padat, ada satu tempat yang mereka kenal.

​Rohim berusaha keras mengendalikan dorongan panas di kakinya, mengubahnya menjadi daya pengereman. Tubuhnya bergetar hebat. Mereka turun dengan kecepatan yang masih terlalu tinggi, menabrak atap rumah-rumah di sekitarnya. Dua atap rumah tetangga hancur berantakan saat mereka jatuh.

​BRUKK!

​Mereka mendarat keras di halaman belakang rumah mereka sendiri. Tanah bergetar, Rohim dan Fitriani jatuh terduduk di antara reruntuhan tanaman dan puing-puing genteng. Nafas mereka terengah-engah, tubuh mereka sakit, namun mereka selamat.

​Humairah, yang terbangun akibat guncangan keras, mulai menangis nyaring. Shalih, yang masih digendong Rohim, membuka matanya, menatap sekeliling dengan ketakutan.

​Rohim segera berdiri, memeluk erat Shalih. Ia melihat Fitriani yang masih terduduk di tanah, wajahnya dipenuhi air mata dan lumpur. "Bu! Kita sampai! Kita berhasil!" Rohim mencoba meraih tangannya, suaranya dipenuhi kelegaan.

​Fitriani tidak bergerak. Ia hanya menatap tangannya yang memeluk Humairah, dan melihat puing-puing di sekelilingnya. Matanya kosong.

​"Fitriani?" Rohim berlutut di depannya, tangannya gemetar.

​"Aku... aku tidak ingin kekuatan ini, Yah," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata mengalir deras di pipinya. Hijabnya yang kini berantakan, memperlihatkan rona aneh yang memancar dari kulitnya. "Aku membunuh mereka, Yah. Kami melukai banyak orang. Di pesawat... di sana... di sini... kita menghancurkan rumah orang..." Ia menunjuk puing-puing di sekeliling mereka.

​Shalih, yang tadinya diam, kini merangkak turun dari gendongan Rohim, mendekati ibunya. "Bukan Ibu... Aku yang melakukannya, Bu. Aku yang mengeluarkan cahaya panas itu," ujar Shalih, suaranya pecah, dipenuhi rasa bersalah. Ia merangkak ke pelukan Fitriani.

​Melihat anak sulungnya yang polos mengakui telah melukai orang lain, Fitriani runtuh. Ia memeluk Shalih dan Humairah, isakannya berubah menjadi raungan keras. "Aku ingin mati saja, Yah! Aku ingin semua ini hilang! Aku ingin hidup kita kembali normal!"

​Rohim merasakan dadanya sesak. Ia melihat kehancuran fisik di sekelilingnya, dan kehancuran psikologis yang lebih besar di dalam diri istrinya. Ia tahu, trauma Fitriani adalah yang paling dalam. Semua yang terjadi, kematian massal, pelarian, dan kini kekuatan yang mengubah mereka menjadi senjata—semua itu terlalu berat untuk ditanggung oleh hati seorang ibu.

​Rohim memeluk erat istri dan anak-anaknya. Ia menyandarkan kepalanya ke Fitriani, merasakan aroma antiseptik, keringat, dan debu yang bercampur. Ia tahu ia harus menjadi benteng mereka.

​"Dengar, Bu. Dengar aku," kata Rohim dengan suara berat, namun penuh ketegasan. "Kita tidak meminta ini. Kita adalah korban. Kita melukai mereka demi menyelamatkan diri kita, demi menyelamatkan anak-anak kita. Itu adalah naluri, Bu."

​Ia melepaskan pelukannya, memegang wajah Fitriani dengan kedua tangannya, memaksanya menatap matanya. "Aku janji. Aku bersumpah. Aku akan mencari cara. Kita akan menemukan solusi untuk menghilangkan kekuatan ini. Aku janji, kita akan kembali normal."

​Mendengar janji Rohim, Fitriani sedikit tenang, isakannya mereda menjadi isak tangis yang tertahan. "Sungguh, Yah? Kamu janji?" tanyanya, matanya penuh harap.

​"Janji," jawab Rohim, mengangguk yakin. Meskipun di lubuk hatinya, Rohim, sang insinyur rasional, tahu bahwa kekuatan kosmik ini tidak mungkin bisa 'dihilangkan'. Tapi janji itu, saat ini, adalah satu-satunya obat untuk trauma istrinya.

​Rohim berdiri, menatap sekeliling. Pintu belakang rumah mereka terbuka. Ini saatnya masuk.

​"Ayo, Bu. Kita masuk. Shalih, Nak, kamu kuat. Kita masuk, ya," Rohim berbisik lembut, menggendong Shalih kembali.

​Saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa begitu akrab—aroma masakan Fitriani yang samar, suara televisi yang mati—mereka melihat pantulan diri mereka di cermin. Empat orang dengan pakaian pasien yang lusuh, wajah penuh debu, mata yang lelah dan dipenuhi ketakutan. Dan yang terpenting, mereka melihat aura samar yang masih memancar dari tubuh mereka. Cahaya Bulan di Fitriani, Panas Surya di Rohim, Kilatan Bintang kecil di Shalih, dan Aura Kosmik yang membuat Humairah terlihat seperti boneka yang diselimuti kabut ungu samar.

​Mereka telah pulang. Tetapi mereka tahu, kehidupan normal yang mereka cari sudah hilang, jauh di angkasa.

​"Ayah... apa kita akan tidur di sini lagi?" tanya Shalih, suaranya polos. Ia menunjuk sofa tempat ia biasa tidur sambil menonton kartun.

​Rohim menatap sofa itu, lalu menatap Fitriani. "Iya, Nak. Kita tidur di sini. Tapi kita harus sembunyi. Kita harus sangat, sangat, sangat diam. Karena ada orang jahat yang mau menangkap kita," jawab Rohim, berbisik, nadanya serius.

​Fitriani menatap sekeliling rumah. Rasa bersalahnya kini bercampur dengan paranoid. "Bagaimana kalau mereka sudah tahu kita di sini, Yah? Bagaimana kalau mereka datang besok?"

​Rohim berjalan ke jendela, mengintip. Tidak ada apa-apa. Hanya suasana pagi di Batara Raya yang damai. "Enggak, Bu. Mereka enggak tahu. Kita terbang terlalu cepat. Mereka pikir kita jatuh di Samudra. Untuk sekarang, kita aman." Ia mencoba meyakinkan, meskipun di benaknya ia tahu, tidak ada yang aman dari Miss Armstrong dan pemerintah AS.

​Ia duduk di sofa itu, menarik Fitriani dan anak-anak ke dalam pelukan. Mereka berempat bersembunyi di balik sofa, di ruang tamu yang hangat, sambil mendengarkan keheningan pagi. Keheningan yang terasa mencekik.

​Rohim memejamkan mata, memikirkan Dokter Aris yang rela ditahan demi mereka. Rasa syukur itu memberinya sedikit kekuatan. Aku harus mencari cara. Aku harus menghubungi seseorang. Tapi siapa?

​Ia tahu, kekuatan ini tidak bisa dihilangkan. Itu adalah bagian dari mereka sekarang. Dan jika ia tidak bisa menghilangkannya, ia harus belajar mengendalikannya. Untuk melindungi keluarganya. Janji untuk 'menghilangkan' kekuatan itu ia simpan rapat-rapat sebagai pemantik semangat istrinya. Misi barunya, dan hidupnya yang baru, baru saja dimulai.

Saat mereka meringkuk di balik sofa, suara siaran berita pagi dari televisi tetangga yang samar-samar terdengar. Rohim bisa mendengar penyiar menyebutkan sesuatu tentang 'kecelakaan tragis Artemis IV' dan 'empat korban yang masih hilang'. Lalu, tiba-tiba, penyiar itu berkata, "Pemerintah AS telah mengumumkan Red Alert global. Mereka meminta kerja sama semua negara untuk melacak dan menangkap Ancaman Ekstrem yang berhasil kabur dari fasilitas ISTC..." Rohim dan Fitriani saling pandang, wajah mereka pucat. Mereka tahu, dunia sedang memburu mereka.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!