Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia dan Shavira
Nadia duduk lesu di sofa tokonya. Tisu-tisu berceceran di lantai, hidungnya merah, matanya bengkak. Isakan tak tertahan lagi.
“Vira… lo jahat banget… boongin gue…!” suaranya pecah.
"heeee...."
Satu gumpalan tisu dilemparnya ke lantai. Tangannya gemetar meraih bingkai foto dirinya dan Shavira semasa SMA. Mereka berdua tersenyum polos dalam seragam putih abu. Nadia menatap lama foto itu, senyum getirnya dibasuh air mata yang tak kunjung berhenti.
8 tahun lalu…
Byuuurrr!!!
Air dingin dari ember mengguyur tubuh seorang siswi berhijab, membuat seragamnya basah kuyup.
“Hahaha! Rasain lo, dasar kutu buku sok cantik! Jangan sok-sok deketin Andreas, ya! Lo itu bukan selera dia!” cibir salah satu gadis berambut sebahu.
Pluk! Ember bekas siraman dilempar seenaknya, ke kepala shavira.
“Heh, udah lah, jijik gue lama-lama liat muka si kampung!” timpal temannya yang bertubuh gempal, disambut tawa puas dari ketiganya.
“Ehem!”
Bruuuk!!
Sebuah tubuh melompat dari atas pagar taman sekolah. Gadis berambut pendek dengan seragam lusuh menjejak tanah, tongkat kasti di tangannya terangkat. Tatapannya tajam, penuh amarah. Bibirnya melengkung sinis.
“Jangan bergerak.” Suaranya berat, menusuk. Tongkat itu diarahkan tepat ke dada si ketua geng.
“Beraninya lo ngebully orang di wilayah gue?”
Si rambut sebahu menelan ludah, wajahnya tegang. “A-apa maksud lo?!”
Nadia mendengus, menggeser lidahnya ke pipi lalu menyeringai.
“Lo pikir gue gak liat semua dari tadi? Kalau mau jadi pengecut, cari tempat lain. Di sini… lo nginjek wilayah gue!”
“Halah, lo siapa sih? Gaya sok preman!” ejek si gempal sambil nyengir meremehkan.
Nadia melangkah maju, menundukkan wajahnya sedikit, menatap tajam. “Nama gue Nadia. Dan ya… lo bener. Gue preman. Nakal, bandel, urakan. Tapi justru itu alasan gue gak segan bikin muka lo hancur kalau masih berani ngerendahin orang lain.”
Si cungkring tak tahan mendengar ancaman itu, langsung melayangkan tangannya.
Tapi dengan cepat!
Nadia menepis keras dan tubuh si cungkring terhuyung, jatuh tersungkur.
Nadia terkekeh pendek. “Lemah.”
Dua sisanya maju serentak.
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi si ketua geng.
Bughh! Tinju Nadia menghantam rahang si gendut, membuatnya mundur dengan wajah bonyok.
Perkelahian singkat pecah. Suara bentakan, napas terengah, dan jeritan kesakitan memenuhi taman belakang sekolah. Hingga akhirnya—
Ketiganya terkapar. Si ketua mimisan, si gempal wajahnya lebam, si cungkring bibirnya berdarah.
“Am… ampun, nad… kita nyerah…”
“M-maaf… jangan pukul lagi…”
Nadia menoleh ke arah Shavira yang sejak tadi berdiri pucat, tubuhnya basah kuyup, tangan gemetar.
“Jangan minta maaf ke gue.” Suara Nadia bergetar, namun tegas.
Dia menunjuk Shavira dengan ujung tongkatnya. “Minta maaf ke dia. Sekarang.”
Ketiganya menoleh ragu. Nadia menghentakkan tongkatnya ke tanah dengan keras.
DUAAARR!
“Eh tunggu apa lagi?! Minta maaf!!”
Suara Nadia menggelegar, membuat ketiganya terbirit-birit mendekati Shavira. Dengan wajah penuh rasa bersalah, mereka membungkuk, meminta ampun sambil menangis ketakutan.
“Shavira! Maafin kita… maaf, kita gak bakal ganggu lo lagi!”
Tiga gadis itu menunduk, wajah pucat ketakutan. Shavira hanya berdiri diam, basah kuyup, bibirnya bergetar tapi tak sepatah kata pun keluar.
“Vira, sumpah… kita janji gak akan macem-macem lagi sama lo!” ucap salah satunya lagi, suaranya parau.
Tanpa pikir panjang, mereka pun kabur pontang-panting. Saking paniknya, sepatu salah satunya sampai terlepas, tertinggal di tanah.
Nadia mendengus, menurunkan tongkat kastinya. Langkahnya tegas menghampiri Shavira. Melihat wajah gadis itu penuh luka, hatinya sedikit menghangat meski wajahnya tetap dingin. “Aduh… parah banget lo,” gumamnya sambil meraih tangan Shavira. “Udah, ikut gue.”
Mereka berjalan melewati lorong sekolah yang sepi, hingga tiba di sebuah kantin tua yang sudah lama tak terpakai. Cat dindingnya mengelupas, kursi plastiknya lusuh, tapi penuh coretan poster atlet bola dan tempelan majalah.
Markas Nadia.
“Nih!” Nadia mengacak-acak tas bututnya lalu mengeluarkan kaos hitam longgar dan celana training. “Pakai ini. Lo gak bisa duduk kedinginan gitu.”
Shavira menerima dengan ragu. “Makasih…” suaranya pelan.
Nadia mengangguk cuek, lalu menunjuk pintu kamar kecil di pojok. “Lo ganti di sana.”
Shavira masuk. Ruangan sempit itu penuh barang seadanya ada botol air mineral, rak tua, bahkan ada foto anak kecil bergigi ompong dengan senyum lebar yang ditempel di dinding. Shavira sampai terkekeh kecil. Dia tinggal di sini? pikirnya.
Begitu keluar, Nadia sudah menunggunya dengan pose nyeleneh, kaki naik ke kursi, tangan terlipat di dada, muka manyun kayak bapak-bapak nongkrong di warung kopi.
Tanpa aba-aba, Nadia langsung nyeplos, “Lo kenapa sih gak ngelawan tadi?” Tatapannya serius.
Shavira duduk pelan di kursi oranye yang warnanya udah pudar. “Gue… gue gak bisa,” jawabnya lirih.
Nadiaa mendecak. “Yaelah, lemah banget lo. Liat gue tadi, sekali hajar langsung tumbang tuh mereka!” katanya penuh percaya diri, sambil menepuk dadanya kayak striker abis cetak gol.
Shavira hanya diam. Hening sejenak.
Nadia akhirnya mendesah kasar, mendekat. Tangannya perlahan menyentuh luka di wajah Shavira, membuat gadis itu meringis.
“Lo gak boleh gini, Diam aja begitu. Lo bisa mati kalau terus jadi samsak mereka,” ucapnya lebih lembut dari biasanya.
Tanpa nunggu jawaban, Nadiaa berjalan ke lemari tua, mengambil kotak P3K. Dengan telaten, dia mengoleskan obat ke luka Shavira. Gerakannya hati-hati, sama sekali berbeda dari sikap preman yang barusan bikin tiga orang lari terbirit-birit.
Shavira memperhatikannya, teringat cerita-cerita yang pernah ia dengar. Tentang Nadia yang terkenal berani, bahkan pernah bikin kakak kelas masuk rumah sakit gara-gara dipukul tongkat kasti. Tak ada yang berani macam-macam padanya. Tak ada juga yang berani dekat.
“Udah,” ucap Nadia singkat, menutup kotak P3K dengan bunyi klik.
“Makasih,” balas Shavira tulus.
Nadia menoleh, lalu menyodorkan tangan. “Gue Nadia”
Shavira menatapnya sejenak sebelum membalas jabatan tangan itu. “Shavira.”
Senyum tipis terukir di bibir Nadia. “Mulai sekarang, tenang aja. Gak ada yang bakal berani sentuh lo lagi. Gue janji.” Tangannya terlipat lagi, nada suaranya kembali garang. “Kalau ada yang coba, gue hajar. Gue bikin dia kapok, kalau perlu masuk rumah sakit kayak si Naila yang sok jago itu!”
Tangannya langsung mengepal, melayangkan tinju ke udara seakan-akan lagi sparing.
Lalu—plak!
Dia menepuk pundak Shavira cukup keras, gadis itu sampai terkejut.
“Dan lo… nanti gue ajarin gimana caranya berantem!” ucapnya penuh kebanggaan, matanya berbinar.
Shavira terkekeh kecil, untuk pertama kalinya merasa ada yang mau berdiri di sisinya.
Sejak hari itu, hubungan mereka semakin dekat.
Markas kecil di kantin tua jadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Shavira sering datang membawa buku-buku tebal, sementara Nadia yang biasanya ogah buka pelajaran kini mulai mau duduk diam, meski dengan wajah mengeluh.
“Ahhh… pala gue cenat-cenut. Gak mudeng banget gue sama Mtk!” keluh Nadia sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi.
Plak!
Shavira menepuk bahunya. “Makanya belajar, Nad!”
Nadia langsung ciut. “Iya-iya, jangan galak.”
Shavira terkekeh melihat tingkahnya. Ada rasa lega di hatinya. Ia menyadari bahwa Nadia perlahan berubah dan tak se-urakan dulu saat pertama kali mereka bertemu.
Dan benar saja, ketika pembagian rapor, Nadia berhasil naik sepuluh peringkat dari sebelumnya. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan.
---
Suatu sore, di depan gerbang sekolah.
“Vira!” panggil Nadia dengan suara riang.
Shavira menoleh, tersenyum, lalu berlari menghampiri sahabatnya itu.
“Hari ini mama gue pengen ngajak lo makan bareng di rumah,” kata Nadia dengan wajah berbinar. “Kebetulan orang tua gue baru pulang ke Indonesia.”
Shavira terdiam. Ada keraguan di wajahnya.
Setelah hampir setahun berteman, baru tiga bulan terakhir ia tahu bahwa Nadia sebenarnya anak orang kaya. Orang tuanya memiliki bisnis di luar negeri, dan sejak kecil Nadia hanya tinggal dengan pembantu rumahnya. Mungkin itulah alasan kenapa gadis itu dulu tumbuh keras kepala dan nakal karena kurang kasih sayang dari keluarga sendiri.
Namun akhirnya, Shavira mengangguk pelan.
Wajah Nadia langsung sumringah, ia meraih tangan Shavira dan menggandengnya menuju mobil.
Juni 2018. Hari kelulusan sekolah.
“Vira!” Nadia berlari kecil, menggenggam tangan sahabatnya erat-erat. Senyum lebarnya tak pernah lepas. Ia memberikan buket bunga cantik untuk Shavira.
Di belakangnya, kedua orang tua Nadia berdiri. Papa Nadia membawa kamera. “Nah, Vira sama Nadia coba berdiri di tengah lapangan. Biar papa fotoin.”
Keduanya menuruti.
“Oke, satu, dua, tiga… cekrek!” Beberapa kali kamera berbunyi, mengabadikan senyum mereka.
Ada rasa hangat mengalir di dada Shavira. Walau paman dan bibinya tak hadir hari itu, ia merasa tak sendiri. Orang tua Nadia memperlakukannya seolah ia bagian dari keluarga mereka.
“Eh, mama ikut deh!” seru seorang perempuan elegan berkebaya marun dengan sanggul rapi. Ia berlari kecil mendekat, lalu merangkul Nadia dan Shavira sebelum ikut tersenyum ke arah kamera.
Sejak setahun terakhir, orang tua Nadia memang lebih sering pulang ke Indonesia. Semuanya berawal setelah Shavira menceritakan sisi kelam sahabatnya, bagaimana Nadia dulu dikenal sebagai preman sekolah. Mama Nadia sampai tak habis pikir, bahkan sempat merasa bersalah karena membiarkan anaknya tumbuh tanpa perhatian yang cukup.
Sejak saat itu, mereka mulai berubah.
Mereka belajar menanyakan kabar anaknya, memberi perhatian lebih, dan menghadirkan kasih sayang yang selama ini diharapkan Nadia.
Bagi Shavira, melihat perubahan itu adalah kebahagiaan tersendiri.
___🌅
Mereka berdiri di tepi jembatan tua, angin laut menerpa wajah, membawa aroma asin dan suara ombak yang berkejaran. Cahaya jingga dari matahari yang hendak tenggelam membungkus siluet mereka berdua, seolah dunia hanya milik mereka saat itu.
“Vir…” suara Nadia terdengar pelan namun sarat makna.
“Hm?” Shavira tak menoleh, matanya tetap menatap laut lepas yang berkilau diterpa cahaya senja.
“Habis kuliah… lo mau ngapain?”
Shavira menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Gue bakalan kerja … nabung… Gue pengen bebas dari bibi gue, dan hidup bahagia...”
Nadia menoleh, senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, ia tiba-tiba mengacungkan jari kelingkingnya ke depan wajah Shavira.
Shavira mengernyit bingung. “Kenapa?”
“Ayok kita wujudin mimpi lo,” ucap Nadia penuh keyakinan. “Lo lepas dari bibi jahanam itu, kita kerja keras, nabung bareng… abis itu nikah sama lelaki yang bener-bener cinta sama kita… terus hidup sampai tua bersama. Tapi…” Nadia berhenti sejenak, menatap tajam ke mata sahabatnya. “Persahabatan kita harus sampai tua ya. Awas aja kalau lo nanti punya temen baru di kampus atau di kantor terus ninggalin gue.”
Shavira terkekeh pelan. “Aneh lo.”
“Awas, Vir! Kalau lo berani lupa sama gue, gue bakal kejar lo pake pemukul kasti!” Nadia menirukan gaya preman, membuat keduanya tertawa.
Shavira akhirnya mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Nadia. Senyumnya melembut “Iya… gue janji. Kita sahabatan sampai tua… sampai muka kita peot… sampai tangan kita keriput… kita tetap ada buat satu sama lain.”
Sunset sore itu menjadi saksi janji mereka.
Di sela tawa, ada harapan.
Di antara genggaman kelingking, ada doa yang tak terucap.
Setelah beberapa saat hening, Nadia menyenggol bahu Shavira. “Vir, lo ada pacar gak?”
Shavira spontan menggeleng cepat. “Enggak!”
“Iiiih, jangan bohong deh!” Nadia langsung mendekatkan wajahnya ke Shavira dengan tatapan penuh curiga.
“Ih astaga, Nad! Gue gak bohong sumpah!” seru Shavira panik, membuat keduanya kembali terbahak.
Sore itu, mereka tertawa riang bersama.
Tak ada yang tahu, tawa itu suatu hari akan menjadi kenangan yang paling dirindukan.