Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya masa lalu
Pagi ini cukup cerah untuk memulai aktivitas. Jeno, seperti biasanya, melaju ke kampus dengan motor sportnya yang mengeluarkan deru khas dan mencolok perhatian. Ia menyukai udara pagi yang segar serta kesibukan ringan di jalanan, sebuah rutinitas yang membuatnya merasa hidup.
Namun, setibanya area kampus, kejadian tak terduga membuatnya sontak menarik tuas rem.
Brak!
Ban motornya menggeret ringan di aspal, nyaris menabrak seorang wanita yang tiba-tiba muncul menghadang jalannya.
“As—” Jeno mendengus, buru-buru membuka helmnya. “Siapa sih?!”
Nada kesalnya tak bisa disembunyikan. Dadanya naik turun menahan adrenalin yang mendadak terpacu. Matanya menajam, mencari tahu siapa wanita yang cukup nekat berdiri di tengah jalur masuk kampus.
Dan disanalah dia—Sasa—berdiri dengan wajah yang tak kalah terkejut, meskipun ada seberkas keyakinan yang menggantung di sorot matanya. Gaun selutut berwarna putih yang dikenakannya berkibar ringan tertiup angin pagi.
Jeno mengernyit. “Sasa? Ngapain kamu di sini?” gumamnya, tak percaya. Ia turun dari motornya, melepas sarung tangan, lalu menatap wanita itu tanpa ekspresi. Pertemuan ini benar-benar tidak ia duga—dan jujur saja, tidak ia inginkan.
Sasa menatap Jeno tanpa berkedip, menyandarkan harapannya pada keberanian sesaat yang mungkin nanti akan ia sesali.
“Jen, bisa kita bicara sebentar?” tanya Sasa, suaranya pelan namun terdengar jelas di antara bisingnya lalu lintas pagi.
Jeno sempat mendesah pelan, matanya menyipit menatap wajah melas wanita di hadapannya. Dalam hatinya, ia tahu—harusnya ia menolak. Tapi, untuk alasan yang bahkan ia sendiri tak pahami, mulutnya justru mengucap, “Iya.”
Padahal, ia tidak benar-benar ingin berbicara. Ia tidak ingin terlibat lagi, apalagi jika ini menyangkut hal-hal yang sudah lama ingin ia lupakan. Namun, ekspresi Sasa pagi ini membuatnya enggan bersikap terlalu kejam.
“Ke mobilku aja, ya.” Sasa segera berbalik, langkahnya mantap namun tidak tergesa. Seolah sudah yakin bahwa Jeno akan mengikuti.
Jeno hanya diam sejenak, lalu melepas napas panjang dan menuntun motornya ke parkiran sebelum akhirnya menyusul ke arah mobil Sasa yang terparkir tak jauh dari gedung utama kampus.
Dia mau ngomong apa sih? Jangan-jangan ini tentang Mas Sena lagi, batin Jeno, mulai merasa gusar. Jantungnya berdetak tak menentu, bukan karena perasaan, tapi karena firasat yang tidak menyenangkan.
Ketika pintu mobil terbuka dan mereka duduk berdua di dalamnya, aroma parfum khas Sasa menyergap inderanya dan sekarang, entah apa lagi yang ingin wanita itu sampaikan.
Mobil itu senyap. Sasa duduk di kursi kemudi, menatap Jeno yang duduk di sampingnya dengan gelisah. Sesekali ia melirik, mencoba membuka percakapan.
“Kamu makin dewasa, ya. Kayaknya terakhir kita ngobrol, kamu masih mahasiswa baru.”
Jeno hanya mengangguk kecil. “Iya."
Nada bicaranya datar, tak ada antusiasme. Bukan karena ia tak sopan, tapi duduk berdua di dalam mobil bersama mantan calon kakak iparnya, jelas bukan situasi yang menyenangkan baginya. Ia tidak ingin memberikan kesan salah, apalagi jika ada yang melihat.
“Kamu masih di bidang seni visual juga?”
“Masih,” jawab Jeno pendek, sambil melirik jam tangannya. Ia tidak ingin berlama-lama.
Sasa tampak canggung, lalu mencoba memancing hal lain. “Mas Sena... dia sibuk, ya, akhir-akhir ini?”
Jeno mengangkat bahu. “Kayaknya.”
“Mama Rumi gimana? Sehat, Jen?”
“Sehat," balas Jeno cepat, nyaris ogah-ogahan.
Sasa menggigit bibir bawahnya. “Jen... sebenarnya aku ke sini ada maksud.”
Jeno menoleh sejenak. “Ya udah, to the point aja, Sa. Mau ngomong apa?”
Sasa menunduk. Jemarinya mengepal di atas pahanya sebelum akhirnya suaranya pecah, lirih, rapuh. “Aku... kangen Mas-mu, Jen.”
Jeno terdiam. Sebuah jawaban yang tidak ia duga, tapi entah mengapa ia bisa menebak arahnya. Ia mengerutkan kening. “Kalau kangen, kenapa nggak langsung temuin dia?”
Sasa, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku udah coba... tapi ditolak lagi.”
Tangisnya tumpah perlahan. Bukan pemandangan yang asing bagi Jeno. Sasa memang terbiasa mengandalkan emosinya, dramatis, dan penuh perasaan. Tapi Jeno tidak ingin menghakimi. Bagaimanapun juga, semua orang berhak kecewa. Ia hanya diam, membiarkan Sasa meluapkan air matanya.
Setelah beberapa menit, suara Sasa terdengar lagi. “Apa... Mas Sena udah punya pacar? Atau calon?”
Jeno menoleh dengan ekspresi polos. “Udah.”
Sasa terhenyak. Air matanya makin deras. “Siapa?! Orang mana?!” Ia menggoyang-goyangkan lengan Jeno yang kekar, panik, seperti sedang mencari pegangan di tengah badai.
Jeno buru-buru melepaskan tangannya. “Aduh, Sa. Aku nggak bisa jawab. Itu bukan bagianku buat cerita. Kalau kamu penasaran, ya tanya langsung ke Mas Sena.” Ia lantas meraih tas selempangnya dan membuka pintu mobil. “Udah ya, aku ada kelas. Maaf.”
Sebelum menutup pintu, Jeno menambahkan, tanpa emosi tapi tulus, “Semoga kamu baik-baik aja, Sa.”
Pintu mobil tertutup pelan, meninggalkan Sasa sendirian dengan sisa tangisnya dan luka yang lagi-lagi belum sembuh.
Berpisah dari Sena setelah bertahun-tahun bersama memang menyakitkan. Namun, diabaikan setelah berpisah jauh lebih menyiksa daripada luka perpisahan itu sendiri.
Di balik kemudi, Sasa menunduk. Tangan kirinya mencengkeram kemudi erat-erat, sementara matanya mulai berkaca-kaca.
Apa benar kamu sudah punya penggantiku, Mas? Kenapa? Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan kedua? batinnya.
“Aku masih cinta sama kamu, Mas... Aku masih cinta.” gumamnya, seolah kalimat itu hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
Setelah berpisah, Sasa sadar—sepenuh hati—bahwa ia telah melakukan banyak kesalahan dalam hubungan mereka. Terlalu banyak hal yang ia abaikan, terlalu banyak luka yang ia torehkan tanpa sadar. Namun, bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah?
Benar, aku salah... Tapi apakah salah kalau aku ingin memperbaiki semuanya? Mengembalikan hubungan baik ku, bukan hanya dengan Mas Sena, tapi juga dengan Jeno, keluarganya. Ia mengusap sudut matanya dengan tisu, menahan air mata yang mulai mengalir.
“Haruskah aku menyerah?”
Tidak. Ia menggeleng mantap.
“Tidak!” ulangnya dengan suara lebih tegas.
“Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku harus berjuang... Aku harus kembali sama Mas Sena, apapun caranya.”
Di sisi lain, Jeno menghela napas panjang setelah keluar dari mobil. Ia merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel, dan segera menghubungi kakaknya.
Panggilan tersambung dalam beberapa detik.
"Halo," sapa Jeno singkat.
"Iya, Jen. Ada apa?" suara Sena terdengar dari seberang, tenang seperti biasanya.
"Mas lagi di mana? Di kampus?" tanya Jeno, sambil melirik jam tangannya.
"Belum. Masih di rumah. Nanti siang baru berangkat ke kampus. Kenapa? Kamu mau ke sini?" tanya Sena.
"Oh, nggak, Mas. Cuma tanya aja... takut ganggu." Jeno menarik napas sebentar. "Barusan aku ketemu Sasa."
Hening sesaat sebelum Sena bertanya, "Di mana? Di rumah?"
"Nggak. Dia datang ke kampusku," jawab Jeno datar.
"Huh... terus?"
"Ya, seperti biasa. Dia tanya-tanya soal Mas. Bahkan sempat nanya Mas udah punya cewek atau belum." Jeno terdengar agak jengkel. "Aku jawab udah."
"Dia tanya apa lagi?" suara Sena terdengar mulai berat.
"Nggak banyak sih, Mas. Dia sempat nanya kabar Mama juga. Tapi aku buru-buru pergi. Males juga lama-lama ngobrol di mobil, nggak enak diliatin orang."
"Ya sudah. Nggak apa-apa. Makasih ya, Jen, udah kasih tahu Mas," ujar Sena.
"Iya, Mas. Ya udah, aku matiin dulu, ya. Selamat pagi."
"Selamat pagi juga."
Jeno menutup panggilan dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaket.
Langkahnya terhenti sejenak di depan gedung fakultas. Angin pagi berhembus ringan, tapi pikirannya terasa berat. Ini kok aku jadi ngeri, ya. Si Sasa kenapa nyariin Mas Sena lagi sih? Gimana kalau Mama sampai tahu? pikir Jeno sambil mengusap tengkuknya. Ada rasa tak nyaman yang sulit ia pahami.
......................
Sena memandangi layar ponselnya yang baru saja meredup. Jari-jarinya menggenggam erat perangkat itu, seolah kata-kata Jeno barusan masih bergema di telinganya.
Sasa datang ke kampus. Menanyakan dia. Menanyakan hubungan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Sena bangkit dari kursi kerja, ia melangkah ke dapur, dan menuangkan air putih ke dalam gelas bening. Tenggorokannya terasa kering, bukan karena haus, tapi karena gelisah yang perlahan menyusup ke pikirannya. Ia bersandar di meja dapur, menatap ke luar jendela. Pagi terlihat biasa saja, tapi tidak bagi kepalanya yang penuh tanya.
Sena tahu betul tabiat Sasa. Wanita itu tak pernah muncul tanpa alasan. Jika dulu ia datang sebagai cinta yang meyakinkan, maka kini, entahlah. Mungkin hanya bayang-bayang masa lalu yang enggan pergi.
Dan lebih dari itu, ada kekhawatiran yang tak bisa ia hindari, Camelia.
Nama gadis itu kini jauh lebih sering mengendap dalam ruang pikirannya dibanding siapa pun. Ia tahu benar, jika Sasa kembali hadir dan melihat arah pandangnya kini tertuju pada Camelia, maka badai bisa datang lebih cepat dari yang ia bayangkan.
“Camelia saja sudah menghindar dan merasa tidak nyaman… kalau sampai dia tahu Sasa muncul, dia mungkin akan semakin menjauh.”
Sena memejamkan mata sejenak. Dalam diam, ia tahu dirinya berada di antara dua ujung yang sama tajam, masa lalu yang belum selesai, dan perasaan yang tumbuh perlahan tapi dalam terhadap seseorang yang seharusnya tidak ia dekati.
Bukan karena Camelia tak pantas. Tapi karena ia tahu batasnya sebagai dosen. Dan karena ia tahu... dirinya masih belajar untuk tak menyakiti lagi.
Telepon genggamnya kembali bergetar. Bukan panggilan, melainkan sebuah pesan singkat dari Abby.
From: Abby - Buku udah sampai, bro? Gimana reaksi cewekmu?”
Sena tak langsung membalas. Tangannya sempat terhenti di atas layar. Rasanya perasaan senang itu baru kemarin muncul, tapi pagi ini, ia hanya bisa mengangguk kecil pada dirinya sendiri.
To: Abby : Dia marah, By. Dan mungkin… kecewa.
Sena mengetik perlahan, lalu menghapus pesannya. Ia tak tahu harus membalas apa. Semua rasanya kacau pagi ini. Ia kembali meneguk airnya sampai habis. Memandang meja makan yang sunyi. Lalu dengan berat hati, ia melangkah menuju kamar, mengambil kemeja dan jasnya untuk bersiap ke kampus.
Karena di luar dari segala perasaan, hidup tetap harus berjalan dan ia tahu cepat atau lambat, masa lalu akan menuntut penyelesaian.