Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Tony curhat kepada Tristan, karena wanita yang ia taksir orang biasa tentu saja khawatir jika sang mama tidak merestui.
"Belum kamu coba kok sudah menyerah. Aku juga naksir wanita biasa" jawab Tristan santai.
"Oh iya? Pokoknya kalau Mama tidak merestui kita saling bantu ya, Kak" Tony bersemangat karena dukungan sang kakak.
Tristan hanya mengangguk, kemudian Tony dan juga Tristan adu telapak tangan. Setelah tos, lalu masuk ke kamar masing-masing. Malam itu Tony tidur dengan pulas, hingga waktu berganti pagi. Pria 25 tahun itu sudah bangun sejak subuh, di tempat tidur tidak bosan memandangi foto Dila di galeri. Gambar yang ia ambil secara diam-diam tanpa Dila tahu.
Tok tok tok.
"Sebentar..." ucap Tony sudah paham benar jika pagi begini Sumiati sang art disuruh mama memanggilnya untuk sarapan.
Tony cepat bangun lalu berpakaian kerja, setelah rapi segera keluar kamar. "Kakak kok belum rapi, memang tidak ke kantor?" Tanya Tony ketika Tristan pun baru saja keluar dari kamar masih menggunakan kaos dan celana pendek. Tiga kakak beradik itu masing-masing kamarnya berada di lantai dua.
"Agak siang, bertemu klien jam 10 pagi" Tristan pagi ini tidak ke kantor, karena ingin langsung ke hotel yang sudah ia sepakati bersama klien.
Tony hanya mengangguk saja, lalu bersama-sama menuruni tangga. Di bawah, Teresa sudah menunggu seorang diri.
"Kak, pagi ini aku bareng ke kampus ya" kata Teresa ketika semuanya sudah berkumpul di meja makan.
Tristan dan Tony saling pandang, merasa aneh karena biasanya adik perempuannya itu membawa kendaraan sendiri.
"Mau apa ke kampus? Kata kamu sudah tidak ada kuliah" Tristan menduga jika adiknya itu ingin ketemuan dengan pacar.
"Aku mau menemui dosen pembimbing Kak" jujur Teresa karena ia saat ini sedang menyusun skripsi.
"Boleh, tapi aku berangkat jam sepuluh" Tristan menyeruput air putih sebelum menyantap makan pagi.
"Yaah..." Teresa kecewa.
"Kalau mau bareng, aku berangkat pagi tapi naik motor" Tony tidak mau membawa mobil ke catering selama masih pendekatan dengan Dila.
"Mobil kamu kenapa memang?" Amara yang baru bergabung menatap putrinya bertanya-tanya, punya kendaraan sendiri tapi mau nebeng.
"Lagi malas aku, Ma."
"Ya sudah, kita sarapan dulu" mama mengajak anak-anaknya sarapan. Setelah selesai, Tristan masih ngobrol bersama mama.
Sementara Tony berangkat dengan motornya memboncengkan Teresa, hingga tiba di depan kampus ia berhenti.
"Terus, kamu nanti pulangnya naik apa?" Tanya Tony ketika adiknya sudah turun, ia tentu saja tidak bisa menjemput
"Biasa lah Kak, aku diantar Doi" Teresa tertawa.
"Dasar kamu" Tony kesal sambil melanjutkan perjalanan, adiknya itu pura-pura malas membawa kendaraan sendiri hanya karena ingin diantar pacar.
Tiba di catering sudah ramai, Tony mengedarkan pandanganya mencari sosok Dila. Dia tersenyum begitu melihat Dila di pinggir motor, sedang menyangkutkan paperbag di bagian depan.
"Selamat pagi Humaira..."
"Assalamualaikum... Kak Imam" Dila menjawab. Tidak menunjukkan perbedaan sikap walaupun Imam adalah Tony, seperti yang diceritakan Dewi.
"Aku bisa bicara sebentar?" Imam kali ini berbicara serius.
"Nanti saja pas makan siang, ya Kak" Dila sudah terburu-buru hendak mengantar sarapan pagi.
"Siap Humaira..." Imam mengangkat telapak tangan menempelkan di pelipis seperti sedang hormat.
Dila hanya tersenyum saja, kemudian menemui Lia minta alamat kemana sarapan dua kotak makanan itu dia antar.
"Terima kasih Bu" Dila tersenyum ketika alamat sudah Lia kirim ke nomor handphone miliknya. Sambil berjalan, Dila scrool alamat. Betapa terkejutnya ia, ketika alamat tersebut adalah kediaman mantan suaminya.
"Astagfirullah... bagaimana ini?" Dila kebingungan, bukan mau menutup silaturahmi. Namun, setelah berpisah dengan Abdullah ia sama sekali belum pernah bertemu.
"Aku harus hadapi" gumamnya. Ia tidak boleh protes kepada bu Lia hanya karena mengantar ke alamat tersebut, karena ia harus profesional. Mau tidak mau suatu saat nanti pun akan bertemu Abdullah juga, mengingat ia tinggal satu wilayah.
Dila menjalankan motornya menuju alamat tersebut. Gerbang warna hitam, rumah tidak terlalu besar itu masih seperti dulu. Dengan menyiapkan mental andaikan nanti bertemu Silfia, Dila menekan bel.
Grendeeeng...
Pagar pun di dorong dari dalam.
...~Bersambung~...
lihat aja Silfia jika benar itu kamu.. bersiaplah terima kehancuran mu
Lanjuuuttt thooorrr 👍
Tetap semangaaaattt 💪
silfia kah ??🤔🤔
Pastilah orang mikir kemana2
Apalagi yang memang iri dan punya niat kurang baik.. berasa dikasi asupan..
Bersyukur Tristan orangnya dewasa dan bijak.. bisa mikir positif.. klo laki2nya yang lain bisa jadi runyam..
Makanya Dila.. sebelum melakukan sesuatu mikir dulu.. jan impulsif.. 🤦🏻♀️🤦🏻♀️😤😤