Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Segala Cara
Bab 32. Segala Cara
POV Renata
"Langsung saja, apa yang ingin kau bicarakan?"
Sikapnya dingin tidak seperti dulu. Bahkan panggilannya pun sudah seperti berbicara dengan musuh. Sudah begitu, berbicara pun dia tidak mau menatap ku. Rasanya ingin ku hempaskan tablet yang mendapat penuh perhatiannya. Aku merasa sakit di abaikan olehnya.
"Dimas maafkan aku. Aku mendapatkan tawaran Albert waktu itu. Kamu tahu kan, aku ingin sekali menjadi model dunia. Dan kesempatan itu hanya datang sekali, tidak mungkin aku tolak."
"Aku kira mau bicara hal penting apa. Ternyata masa lalu yang tak penting lagi dan tak perlu di bahas." Gumamnya.
Apa aku sudah tak penting lagi? Padahal hanya beberapa bulan saja aku meninggalkannya. Tapi dia berubah drastis seperti ini. Sebegitu marah kah dia aku tinggalkan? Jika dia semarah itu, bukan kah berarti dia sangat mencintaiku?
"Aku tahu aku salah. Tapi please... Ini impian ku sejak dulu."
Terdengar dengusan kasar dari Dimas.
"Kau ingin jawaban apa dariku?"
"Sejujurnya, aku ingin kita kembali. Aku masih mencintaimu Dimas. Meninggalkan mu karena aku ingin sekali mengejar impianku."
"Apa yang aku miliki kurang? Apa yang aku berikan belum cukup? Aku bisa memberi bulanan mu melebihi gaji supermodel mu itu!"
"Bukan itu yang aku inginkan. Itu impian ku, dan impian tidak bisa di ganti dengan uang, kamu tahu itu kan?! Dan..."
"Sudahlah! Karena kita memang belum pernah mengakhirinya dengan jelas, sekarang aku perjelas. Kita sudah berakhir. Aku sudah memiliki istri sekarang. Lagi pula, aku sudah punya tipe ideal yang aku inginkan. Dan...."
Kenapa dia menatapku seperti itu? Bahkan tatapannya seperti merendahkan diriku.
"Kau jauh dari kriteria ideal ku! Pembicaraan kita selesai. Tidak ada yang perlu dibahas lagi. Dan jangan pernah membahas lagi ini kedepannya! Sebaiknya kau turun. Aku sudah tidak punya waktu lagi untuk membicarakan hal yang tidak penting denganmu! Rif, berhenti ke kiri."
"Baik Pak."
Sial! Aku merasa terhina seperti ini! Tidak akan ku biarkan siapa pun merebut mu dariku! Kau milik ku Dimas!
"Aku percaya, pandangan dan pendapat mu pasti akan berubah. Aku tetap menunggu mu. Dan tadi aku mau bilang ini sebelum kata-kata ku di potong oleh mu. Arumi mengatakan, ingin bercerai dengan mu. Dia mencoba bertahan selama ini, tapi dia tidak sanggup. Dan dia tidak mencintai mu."
Jackpot!
Bisa ku lihat ekspresi Dimas berubah. Sepertinya kata-kata ku mengenai hatinya. Walau pun apa yang ku katakan tadi bohong, tapi sepenuhnya juga tidak lah salah karena aku yakin, Arumi pasti memilih bercerai dari Dimas dari pada melunasi hutang yang tidak sanggup mereka bayar.
Aku tersenyum dalam hati. Tinggal menunggu saja kabar perceraian mereka pasti tidak lama lagi.
"Terima kasih atas waktunya. Semoga perjalanan dinas mu menyenangkan." Ucap ku dan memberikan senyum kepadanya.
Meski Dimas tidak menjawab, tapi aku sudah puas melihat ia tampak kecewa.
Aku kemudian turun dari mobil Dimas. Sedih rasanya melihat dia tidak melirik sedikit pun kepadaku.
Ku tatap mobil yang kian menjauh. Lalu aku pun mengeluarkan handphone ku untuk menghubungi Papa.
"Halo Pa." Sapaku begitu panggilan telepon ku di angkat. "Dimas mengabaikan Renata, Pa. Renata tidak mau kehilangan Dimas." Rengek ku.
Aku tahu Papa ku tidak bisa mendengar aku bersedih. Sedikit bujuk rayu dan rengekan saja, dia akan luluh.
"Kamu tenang saja. Arumi sudah memilih meninggalkan Dimas. Gugatan cerainya sedang di urus, dan Pak Tomi pasti bisa menyelesaikannya dengan cepat."
"Iya Pa. Renata lega mendengarnya. Terima kasih Pa. Renata sayang sama Papa."
Ku tutup panggilan telepon ku. Lega rasanya mendengar penjelasan Papa ku, aku yakin keinginan ku akan segera terwujud. Apalagi Pak Tomi itu pengacara Papa yang handal. Semoga perceraian itu cepat terjadi.
Terus sekarang, bagaimana caranya aku pulang?! Ck!
"Halo, Pa."
"Kenapa Ren?"
"Pa, suruh Jeff jemput Renata dong?! Di jalan Xxx ya Pa."
"Mobilmu?"
"Di tinggal di rumah Dimas."
"Loh kok bisa?"
"Nanti deh, Renata cerita. Buruan ya Pa."
"Ya sudah. Tunggu di situ."
Aku berdiri di atas trotoar pinggir jalan. Beberapa orang yang melintas melihat ke arahku. Ada juga yang mencoba menggoda ku.
Najis! Mereka pikir, mereka selevel apa denganku?! Sorry ya...!
Kesal berdiri menunggu begini. Apalagi cuaca panas begini, bisa rusak kulitku. Aku pun berjalan ke tempat yang teduh. Tidak ada kafe di jalan ini. Yang ada hanya perumahan elit dan pohon saja yang di tanam untuk penghijauan.
Aku pun menunggu di bawah pohon sembari memainkan handphone ku. Belasan menit menunggu, supir Papa datang juga. Untungnya kantor Papa tidak terlalu jauh dari sini.
"Lama banget sih?!" Protes ku ketika membuka pintu mobil.
"Maaf Non lama. Tadi di jalan sana sedikit macet."
"Bodo' ah! Antarkan aku ke jalan YYY!"
"Baik Non."
Mobil perlahan berjalan lalu mulai melaju. Risih sebenarnya minta di jemput sama si Jeff ini. Andai Dimas tidak keras kepala, aku tidak perlu sampai minta di jemput si Jeff yang bau apek ini. Kenapa sih Papa mau mempekerjakan dia? Tampang sudah kayak preman, tato dimana-dimana dan wajah tidak enak di pandang. Menyebalkan!
Begitu tiba di halaman rumah Dimas, timbul ideku untuk tidak langsung pergi begitu saja. Aku ingin melihat wajah frustasi sepupu ku itu dulu.
Daei kecil aku memang tidak suka dengannya. Sok pintar dan sok rajin. Sering mendapat pujian yang bikin aku mual mendengarnya.
Dan aku bahagia ketika mendengar rumah tangganya hancur berantakan. Apalagi sang suami di kabarkan membawa selingkuhannya tinggal di rumah mereka. Di tambah lagi Om Aiman yang terlalu baik sampai menjadi bodoh itu di tipu sahabatnya sendiri. Benar-benar situasi yang membuatku tersenyum senang.
"Ting... Tong!"
Ku pencet bel pintu rumah berlantai dua yang seharusnya menjadi hunianku bersama Dimas. Meski satpam terus mengawasi ku sejak tadi, aku tidak peduli.
Lalu pintu pun terbuka, dan yang keluar adalah asisten rumah tangga mereka.
"Kemana majikan mu? Tidur?"
"Maaf, Bu. Bu Arumi mungkin di kamarnya sedang bersih-bersih."
Aku masuk ke dalam meski tidak di persilahkan masuk. Bodo' amat!
"Emm... Bu...."
Aku terus melangkah menjelajahi rumah yang seharusnya menjadi milik ku meski ku tahu pembantu itu berusaha menghentikan langkah ku. Aku tidak peduli! Kedudukan ku lebih tinggi darinya.
Ku naiki anak tangga satu persatu. Mengamati balkon dimana aku dan Dimas sering berbagi cerita disana. Lalu berhenti di depan sebuah kamar yang harusnya menjadi kamar kami.
Aku membuka pintu kamar itu. Ada yang berubah. Tidak ada lemari pakaian dan meja rias yang aku pilih dulu. Kemana? Apa di buang?
Eh, tapi ada yang lebih aneh. Tidak ada meja rias yang lain. Apa jangan-jangan...
Segera aku berpindah pada kamar yang satu lagi. Kamar di belakang kamar ini yang di khususkan untuk tamu yang ingin menginap di rumah ini.
"Bu..."
ART tadi kembali menegur ku. Dia terlihat takut-takut. Ck! Mengganggu saja! Ngapain dia mengikuti ku sampai kesini sih?!
Kesal, aku pun membuka pintu kamar tamu itu. Dan...
"Hihihi..."
Aku terkekeh. Sudah ku duga hubungan mereka hanya pernikahan di atas kertas.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
apa ini... jgn bilang ini akal2an renata n mau jebak dimas.. mau bikin huru hara itu kayaknya si ulet bulu🙄🙄🙄 moga arif bisa nolong dimas andai semua ini jebakan si renata
mom...aku terkontaminasi ini..🙃🙃🙃🙃🙃🙃🙃