Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
saat Uca sudah pulang dari kediaman milik Alaska,mansion mewah itu tampak sunyi kembali,seperti tidak ada kehidupan.
lalu,Sancha memilih kembali ke kamar,ia merasa tubuh nya sangat lelah,ia cukup bahagia hari ini karena ia di perbolehkan keluar kamar,namun saat berada di kamar itu dada nya seakan sesak seperti sesuatu yang menancap tepat pada dada nya.
tanpa di sadar buliran bening jatuh ke pipi Sancha.
tubuh nya terduduk tepat di depan pintu,ia menutup muka nya,dan mulai menangis namun tak ada suara tangisan yang terdengar..
“nak,bunda bingung harus memilih bertahan atau pergi dari sangkar emas ini,bunda benar-benar sudah tidak ada harapan,”gumam Sancha pada dirinya sendiri.
“kalau bunda tetap menunggu kamu hingga lahir,itu sama saja bunda mengikhlaskan kamu dengan papa kamu,tapi bunda tidak mau…”lirih nya lagi…
Ia mengelus perutnya yang mulai sedikit membulat, lembut, perlahan.
Sancha: “Apa kamu bisa dengar suara bunda dari sana…? Apa kamu bisa ngerasa kalau hati bunda penuh luka, tapi juga penuh cinta untuk kamu…”
Tiba-tiba angin dari ventilasi jendela bertiup lembut. Tirai bergerak pelan, seolah menyelimuti kesedihan Sancha. Ia bangkit perlahan, tubuhnya lunglai, langkahnya menyeret menuju ranjang.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang pantulan dirinya di cermin besar di seberang ruangan. Wajah pucat, mata sembab, tapi tetap ada keteguhan dalam tatapannya.
Sancha (lirih, nyaris seperti berdoa): “Aku bukan wanita kuat seperti yang orang-orang pikir… Tapi aku ingin kamu lahir dan tumbuh tanpa takut, tanpa harus hidup dalam bayang-bayang orang seperti papamu…”
Tangannya meraih pena dan kertas di meja kecil. Ia mulai menulis… sepucuk surat yang tidak tahu akan diberikan kepada siapa. Mungkin untuk Alaska. Mungkin untuk anaknya. Atau mungkin… untuk dirinya sendiri, yang suatu hari bisa membaca kembali dan tahu bahwa ia pernah mencoba bertahan.
Tulisannya berbunyi:
Untuk kamu yang belum lahir,
Maafkan bunda yang kadang takut…
Tapi kalau kamu lahir dengan mata papa kamu, dan senyum yang membuat dunia membeku seperti dia…
Bunda akan tetap menyayangimu. Bahkan jika itu membuat luka bunda semakin dalam…
Sancha melipat surat itu, menyelipkannya ke dalam buku harian kecil yang ia sembunyikan di bawah bantal. Ia lalu membaringkan tubuhnya, menarik selimut, dan menatap langit-langit kamar dalam diam. Namun saat matanya hampir terpejam, ia bergumam sekali lagi, kali ini lebih tenang.
Sancha: “Bunda nggak akan pergi… Belum sekarang. Tapi bukan karena papa kamu, tapi karena kamu…”
⸻
semua barang tampak terpecah kesana kemari,butiran kaca terjatuh dari lantai atas ke lantai dasar,membuat semua maid dan pengawal lain nya ketakutan.
Suara Alaska menggema meneriaki satu nama..
”SANCHA..”
nama tersebut menggema di dalam mansion,mereka sudah siap menerima hukuman dari Alaska karena telah lalai dalam bertugas,karena malam itu Alaska kembali ke rumah keduanya tepatnya ia menghukum seseorang yang telah berkhianat dengan nya,namun saat ia kembali pagi nya dan hari nya terdetak menemui Sancha,namun saat di lihat kamar terlihat bersih dan lemari masih tertata rapi dengan pakaian yang di berikan alaska.
tepatnya Sancha telah kabur dari mansion.Langkah kaki Alaska menghentak, sepatu kulit hitamnya memantul di setiap lantai yang ia lewati. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, dan bola matanya memancarkan kemarahan yang sudah tak bisa dibendung.
Alaska (meneriakkan):”SANCHA…!!!”
Tangannya menghantam meja panjang di ruang makan hingga kaki meja goyah dan pecah.
Alaska: “KALIAN SEMUA—!!! MAU KU PENGGAL SATU-SATU, HAH?! KEMANA DIA?! SIAPA YANG BUKA GERBANG?! SIAPA YANG SENTUH KODE GUDANG BELAKANG?!”
Ali berlari dari lorong belakang, napas tersengal.
Amar datang mengekor, menggenggam tablet dengan data sistem keamanan.
Amar: “Tuan… gerbang utama tidak terekam terbuka… Tapi—kami menemukan jejak langkah dari lorong timur. Ada kemungkinan dia keluar lewat ruang laundry bawah tanah yang tidak dikunci…”
Alaska (mendesak mendekat, tangan meninju lemari kaca di sebelahnya): “DAN KENAPA RUANG ITU TIDAK DIKUNCI?! AKU SUDAH BILANG—TIDAK ADA CELAH SEKALIPUN UNTUK KELUAR!!”
Kaca menancap di punggung tangannya. Darah menetes, tapi Alaska bahkan tidak bergeming. Ia terlalu murka.
Ali (suara pelan dan takut): “Tuan… Naif mengaku terakhir melihat Nyonya di taman belakang saat tengah malam…”
Alaska menoleh cepat.“Naif?! Di mana dia?!”
Maid yang dimaksud dibawa paksa oleh dua pengawal, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
Naif: “T-tuan… saya tidak tahu…saya benar-benar tidak tau kalau nyonya akan merencanakan kabur…”
Alaska mendekat cepat dan mengangkat dagu Naif dengan kasar.
Alaska (dengan suara rendah tapi penuh ancaman):
“Satu helai rambut Sancha hilang… kau akan ku tanam hidup-hidup bersama semua kelinci itu…!”
Naif menangis terisak.
Amar: “Tuan… kami bisa aktifkan pelacakan jaringan, Sancha mungkin membawa ponsel lama yang tersambung ke sistem satelit rumah…”
Alaska menatap Amar tajam. “Lacak. SEKARANG!”
Ia menoleh ke semua penjaga.
Alaska: “SIAGAKAN MOBIL! PASUKAN KHUSUS TURUN SEMUA. SIAPKAN BANDARA. JIKA IA KABUR KE NEGARA LAIN, AKU AKAN BAKAR SELURUH KOTA TEMPAT IA SEMBUNYI!!”
Semua langsung bergerak cepat.
Suasana mansion mencekam, seperti medan perang sebelum ledakan besar. Maid-maid menunduk dalam, menahan napas. Pengawal saling tukar sandi. Amar mulai memutar sistem pelacakan. Ali mencoba menenangkan Naif yang hampir pingsan.
⸻
Di lantai atas, Alaska berdiri menatap kamar Sancha yang kosong. Tirai bergoyang, udara dingin masuk dari jendela kecil yang terbuka sedikit. Ia berjalan perlahan ke tengah kamar, dan berdiri di depan tempat tidur. Ia menatap kosong. Lalu, melihat ke bawah… ada secarik kertas jatuh dari bantal.
Alaska memungutnya. Isinya hanya satu kalimat:
“Aku tak ingin anakku tumbuh dengan rasa takut. Biarkan aku pergi.”
Tangannya meremas kertas itu.
Brakk!
Ia membalikkan meja rias Sancha dengan satu hantaman kuat. Gelas pecah, parfum mahal tumpah ke lantai, aroma floral langsung memenuhi ruangan, kontras dengan amukan mematikan yang baru saja meledak.
Alaska (menggeram dingin):“Kau akan kembali padaku, Sancha. Karena kau belum tahu… neraka yang sebenarnya… baru akan dimulai.”