NovelToon NovelToon
Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Single Mom / Obsesi / Ibu Mertua Kejam / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:35.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rere ernie

Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.

Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.

"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.

Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.

Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.

Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...

Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter - 23.

Hujan mengguyur kota Jogja malam itu.

Derainya membasahi jalanan dan dedaunan, menggema seperti irama murung yang diturunkan langit. Di kediaman keluarga Mahesa, suasana terasa tenang di permukaan namun sesungguhnya penuh dengan kegelisahan yang tersembunyi di balik dinding-dindingnya.

Davin sedang menenangkan Daffa yang mulai demam. Bocah itu merengek lirih, tubuhnya hangat dan wajahnya pucat.

“Nak, kamu harus makan dulu sedikit... baru obatnya bisa diminum.“ Ucapnya lembut, menepuk pelan punggung putra sambungnya.

Alina duduk di sisi lain tempat tidur, membasahi handuk kecil dan menempelkannya ke dahi Daffa. Matanya tak lepas menatap anak itu dengan kekhawatiran mendalam.

“Bunda, Papa Rama kemana…? Dia kok nggak dateng lagi, katanya mau sama-sama Daffa terus...“

Alina tercekat, pandangannya beradu sejenak dengan suaminya. Mereka berdua sama-sama terkejut, ternyata Daffa menyimpan kenangan yang dalam tentang Rama.

“Um... Papa Rama banyak kerjaan, Nak. Ayah Davin dan Bunda kan ada di sini, selalu ada bersama Daffa.”

Anak itu hanya mengangguk kecil. “Daffa sayang Ayah Davin juga…”

Tak lama setelah makan beberapa suap dan karena efek obat penurun demam, anak itu kembali tertidur. Mungkin, ada kerinduan yang tak terlihat. Rindu Daffa pada ayah kandungnya.

Davin menggenggam tangan Alina, memandangnya dalam-dalam. “Aku sudah mencari jejak-jejak Rama, maaf... belum ada kabar.“

“Aku malah ngerepotin Mas Davin..."

Davin menggeleng seraya tersenyum tipis. "Bagaimana pun juga, Rama adalah adikku. Aku percaya padamu sayang... kamu hanya menganggapnya masa lalu."

"Tentu saja, aku hanya mengkhawatirkan Daffa. Mungkin... ikatan darah tak sepenuhnya bisa terpisah. Sepertinya Daffa bisa merasakan, jika ayah kandungnya sedang tak baik-baik saja."

Baru saja Davin ingin bicara lagi, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Tuan Dharma, ia pun langsung pamit keluar kamar untuk menerima telepon.

“Halo, Tuan Dharma. Apa kabar?“

“Situasiku sedang tak baik-baik saja, aku minta maaf tapi kau harus tahu... Kirana kemungkinan besar sedang menguntit mu. Anak buahku belum bisa melacak keberadaan nya, tapi... saat kamu bulan madu, beberapa titik Cctv merekam sosoknya. Tidak terjadi sesuatu padamu kan?"

Jantung Davin tercekat, kini akhirnya ia tahu identitas si pengirim misterius.

“Kirana mengirim pesan-pesan provokatif pada saya...“

“Aku sudah kerahkan orang-orang untuk mencarinya. Tapi Tuan Davin… putriku dalam keadaan tidak stabil. Sebenarnya, sejak kamu menolaknya... dia depresi dan malah semakin terobsesi padamu. Kau dan keluargamu akan dalam bahaya.”

Davin menggertakkan rahangnya. “Terima kasih informasinya, Tuan Dharma. Aku akan menjaga keluargaku dan aku mohon... jika Anda menemukan putri Anda, jangan biarkan dia berkeliaran. Bukankah sebaiknya, dia mendapatkan rehabilitasi?“

“Aku akan mengupayakan yang tebaik, berhati-hati lah..."

Panggilan telepon dari Tuan Dharma mati.

Setelah menutup telepon, Davin berbalik dan kembali ke dalam kamar.

Ia duduk di samping istrinya, menggenggam tangan Alina. "Sayang... kalau kau merasa ada yang aneh, sekecil apa pun itu... langsung bilang padaku.”

“Bisakah kamu… terbuka padaku, tentang apa yang selama ini kamu cemaskan? Sejak kita kembali dari bulan madu, aku merasakan ada jarak yang tak kasatmata di antara kita…”

Suara Alina mengalun lirih, namun tegas. Tatapannya menembus mata Davin, penuh harap dan keteguhan. “Aku hanya… tidak ingin mengulang luka yang pernah aku alami dalam pernikahan sebelumnya. Dulu, Mas Rama menyimpan rahasia dariku dan di situlah segalanya mulai hancur. Aku... tidak ingin kita seperti itu. Apa pun masalahnya, sesulit apa pun bicaralah padaku. Aku ini istrimu...”

Davin menunduk, diam yang menggantung di antara mereka begitu tebal hingga seolah memenuhi seluruh ruangan. Dadanya sesak oleh keraguan, tapi juga dihantui oleh suara hati yang tak lagi bisa diabaikan.

Alina memang berhak tahu, Alina bukan wanita rapuh yang harus disembunyikan dari kebenaran sebab istrinya itu adalah pasangan hidupnya... seseorang yang pantas berdiri di sisinya dalam segala keadaan.

Dengan napas berat, Davin akhirnya mulai bicara.

"Aku akan menceritakan seseorang padamu, namanya Kirana. Aku pertama kali bertemu Kirana dalam sebuah acara bisnis, saat dikenalkan oleh Tuan Dharma... Ayahnya. Awalnya, semua terasa biasa saja. Kami memang kerap bekerja sama dalam beberapa proyek, dan Kirana hampir selalu hadir dalam setiap pertemuan karena dia adalah penanggung jawab. Tapi... tak sekalipun aku melihatnya lebih dari relasi kerja.”

Alina menyimak dalam diam, matanya tetap terpaku pada wajah Davin.

“Tapi Kirana… tidak melihatku dengan cara yang sama. Ia mulai menunjukkan ketertarikan yang tak biasa. Mengatur pertemuan, menciptakan momen kebetulan yang terlalu sering untuk disebut tak disengaja. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, dan saat itu aku memilih untuk menjaga jarak.”

Davin menggenggam kedua tangannya sendiri, menahan ketegangan yang mulai merambat di dadanya.

“Sayangnya, itu justru membuatnya semakin... gencar. Semakin aku menjauh, semakin ia berusaha mendekat. Sampai akhirnya, aku tak punya pilihan selain menolaknya dengan tegas. Aku pikir... semuanya sudah berakhir.”

Davin menghela napas panjang. “Sejak hari itu, Kirana menghilang dari hidupku. Ia tak lagi hadir dalam pertemuan bisnis dan Tuan Dharma pun tak pernah menyebut namanya. Aku pikir, mungkin ia sudah menyerah. Tapi... aku salah. Baru saja aku mendengar kabar dari Tuan Dharma... Kirana mengalami depresi dan ternyata dia malah sangat terobsesi padaku.“

Davin menarik nafas sejenak, mengatur nafasnya.

“Sejak kita akan berangkat bulan madu, aku mendapatkan pesan-pesan dari orang misterius. Aku sudah menyelidiki... tapi tak bisa menemukan siapa pengirimnya. Dan dari informasi dari Tuan Dharma barusan, aku pikir si pengirim adalah Kirana. Bagiku, pesan-pesan darinya adalah ancaman."

Davin membuka ponselnya dan memperlihatkan pesan-pesan itu pada Alina.

Hati Alina tercekat, bukan karena cemburu tapi karena rasa khawatir yang semakin menguat. Bukan hanya tentang Kirana, melainkan tentang bayangan masa lalu yang seolah ingin kembali menghancurkan apa yang sedang mereka bangun bersama.

“Terima kasih… karena kamu memilih untuk jujur padaku. Jika Kirana adalah bahaya, maka kita akan hadapi bersama. Aku bukan wanita yang akan mundur hanya karena masa lalu mu menghampiri. Tapi aku ingin Mas tahu... aku butuh kejujuranmu lebih dari apa pun. Karena dari sanalah, kita akan bersama-sama menjadi kuat.”

Dan malam itu... tanpa sepengetahuan siapa pun, sepasang mata mengintip dari kejauhan. Di balik pepohonan, bayangan seorang wanita mengamati rumah besar itu.

Tatapannya kosong, penuh amarah... dan luka yang belum sembuh.

Kirana.

Tubuhnya tampak kurus, wajahnya kuyu, rambutnya acak-acakan dan sebagian tertutup hoodie kelabu yang sudah basah oleh hujan.

Ia merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil. Pisau yang tajam dan berkilat di bawah hujan.

“Kau merebut Davin dariku, wanita jalaang! Kini, aku akan mengambil segalanya darimu… termasuk anakmu.”

.

.

.

Di sebuah klinik sederhana yang terletak di sudut sunyi sebuah kalurahan di Jogja, aroma antiseptik samar bercampur dengan bau tanah basah sisa hujan semalam. Suara rintik halus dari luar jendela menjadi latar, ketika seorang pria perlahan membuka matanya.

Rama.

Kedipan matanya lamban, seolah dunia baru saja dibentuk kembali di hadapannya. Wajahnya pucat, alisnya bertaut bingung dan tubuhnya terasa berat seperti baru saja lepas dari medan peperangan tak kasatmata. Ia memutar kepala dengan pelan, menatap langit-langit yang asing sebelum akhirnya menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.

Seorang perempuan berjilbab instan, mengenakan seragam putih bersih tengah memeriksa selang infus yang terpasang di punggung tangannya.

“Tuan... Anda sudah siuman.” Ucap perempuan itu lembut, namun nada suaranya menyiratkan kelegaan mendalam.

Rama menelan ludah, kepalanya terasa seperti diremas. Sakit... berdenyut dan hampa.

Ia menyentuh pelipisnya, matanya masih mengabur.

"Di mana aku...?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Perempuan itu menunduk sedikit, senyumnya tenang namun matanya penuh simpati. “Anda ditemukan dua hari lalu... terdampar di pinggir sungai. Mungkin, terbawa arus dari hulu. Warga sini yang menemukan Anda... tubuh Anda nyaris membeku saat itu.”

Rama menarik napas panjang, lalu dengan suara serak yang dibalut kebingungan, ia bertanya. “Kamu... siapa?”

Perempuan itu tersenyum kecil, ada keteduhan di wajahnya. “Saya hanya perawat di klinik ini, Tuan. Kami merawat Anda sejak pertama kali ditemukan.”

Rama terdiam, kedua matanya mengembara seperti mencari jejak kenangan yang lenyap entah ke mana. Dan akhirnya, dengan suara nyaris patah ia kembali bertanya.

“Kalau begitu... aku ini siapa?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menorehkan keheningan yang begitu dalam. Perempuan itu terpaku. Sorot matanya berubah, dari tenang menjadi terkejut. Ia menatap lelaki di ranjang itu dengan cemas, menyadari sesuatu yang tak ia harapkan selama dua hari merawatnya.

Pasien itu... kehilangan ingatan.

1
Ma Em
Galang akhirnya senjata makan tuan menuduh istri selingkuh malah dia sendiri yg selingkuh , ditunggu kehancuran pak Prabu dan Bu Dita yg sombong itu .
Maizuki Bintang
jgn mau gendis, dia da selingkuh, sama Rama aja ndis
Erni Kusumawati
jgn di terima Gendhis, mantanmu itu bukan hanya lemah iman tp jg lemah syahwat, next akan terulang kembali perzinahan itu..
Tiara Bella
si Ratna licik begitu mana mungkin dia melewatan itu semua...ada kesempatan langsung dia foto² dia sm Galang....diblng gk ush balik lg
Heni Mulyani
lanjut
Arin
Biar dia bersimpuh minta maaf dan ampun sama Gendis. Tapi Rama punya bukti perselingkuhan Galang dan Ratna.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.
Rita
ojo gelem Dis
Rita
jgn mau Dis kmu berhak mendapatkan yg baik
Rita
ya krn kmu jg salah mudah dihasut ma tipis iman dan imin
Rita
yakin nyesel
Rita
untung sdh ditalak
Rita
dahlah jgn dibantu lg
Warung Sembako
laki2 idiot si galang, jgn smpe dia balik ma gendis, gendis jadian aja ma rama
Zenun
takan diterima.. Jreng jreng jreng
Zenun
mamam tuh Galang
Zenun
halaaa dirimu juga berkhianat
Tiara Bella
jangan mw Galang udh ungked²an sm si Ratna.....
nonoyy
jangan lebih baik gendis & rama ajaaaaa
Ma Em
Jangan biarkan Galang kembali pada Gendis biarkan si Galang menyesal sampai mati , lebih baik Gendis sama Rama saja Thor
Aditya hp/ bunda Lia: setuju banget mbak ...
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!