Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di malam yang sama, di kediaman Wei
Wei Lian duduk di taman, membaca laporan terakhir dari Yan’er dan jaringan Zhao Jin.
“Putra Mahkota menambah jumlah pasukan di pintu barat istana?” gumamnya.
“Ya. Tapi tak ada alasan resmi,” ujar Yan’er. “Kata Zhao Jin, mereka tak bergerak. Hanya... siaga. Seolah menanti aba-aba.”
Wei Lian mengangguk pelan. “Berarti ia mulai takut.”
Ah Rui menyodorkan sekotak kue kacang. “Tenang saja, nona. Hari ini ku isi ekstra madu.”
Wei Lian tertawa kecil. “Kalau aku tersedak sebelum sidang, kau tahu akibatnya.”
“Ya ya, aku bersumpah tak akan buka dapur lagi…”
Seketika itu pula, pelayan masuk tergesa-gesa membawa surat.
“Surat dari istana, nona! Dari… selir istana ketiga.”
Wei Lian membukanya perlahan. Surat itu sederhana, namun kata-katanya tajam:
"Malam ini, di taman Bambu Kaisar. Ada yang menunggumu dengan kebenaran tentang pengkhianatan dulu."
—
Malam itu, di taman bambu
Wei Lian datang sendiri, mengenakan jubah hitam dan penutup kepala. Tapi ia tidak ceroboh—Yan’er dan Ah Rui mengawasi dari jauh.
Di tengah taman… Wei Ruo berdiri, mengenakan jubah ungu tua, wajahnya tertutup kerudung tipis.
“Jie-jie,” ucapnya.
Wei Lian mengepalkan tangan. “Kau yang mengirim surat ini?”
Wei Ruo mengangguk. “Ada sesuatu yang harus kau tahu... tentang malam saat keluarga kita dijebak.”
Wei Lian tak bergerak. “Dan kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?”
Wei Ruo tertawa pahit. “Karena... aku akhirnya sadar. Semua yang kulakukan—membunuh cinta, memotong darah—tak pernah membuatku utuh. Aku hancur, jie-jie. Dan... aku ingin menebus semuanya.”
Wei Lian diam lama.
“Kalau benar begitu,” katanya akhirnya, “buktikan di depan semua orang. Di Sidang Agung.”
Wei Ruo mengangguk pelan. Tapi saat ia berbalik… sorot matanya berubah. Dingin. Licik. Menunggu aba-aba.
—
Pagi berikutnya, menjelang Sidang Agung
Istana mulai dipenuhi tamu. Para bangsawan, jenderal, menteri, dan utusan Hanbei tiba secara diam-diam.
Dan di antara mereka…
Mo Yichen turun dari kudanya, membawa seorang pria tua berjubah abu-abu.
Para penjaga tertegun saat melihat wajah pria itu—bekas luka dan usia tak bisa menyembunyikan identitasnya.
“Itu… Jenderal Wei…!”
...----------------...
Aula Utama Istana Luoyang, hari itu penuh sesak. Para bangsawan berbusana lengkap, para menteri duduk sejajar, dan para jenderal berdiri di barisan samping dengan wajah tegang.
Di singgasana tengah, Kaisar Ren yang sudah tua namun masih tajam pandangannya, duduk dalam diam. Di sampingnya, Permaisuri, berwajah pucat namun penuh pengamatan.
Di sebelah kanan, Putra Mahkota Ren Yao, berdiri gagah dengan pakaian ungu kebesaran. Wajahnya tenang, tapi jemarinya bergerak resah di balik lengan jubah.
Dan di tengah aula, Wei Lian berdiri seorang diri.
Tak ada pengawal. Tak ada pendukung. Hanya seorang putri jenderal… dengan selembar gulungan bukti, dan luka masa lalu yang belum sembuh.
—
Kaisar membuka sidang.
“Putri Wei Lian. Kau menuntut pencabutan tuduhan terhadap Jenderal Wei Zhong yang telah kami cap sebagai pengkhianat. Tunjukkan buktimu.”
Wei Lian membungkuk hormat.
“Yang Mulia,” suaranya mantap, “yang terjadi bertahun-tahun lalu bukanlah pemberontakan. Tapi pengkhianatan dari dalam, yang memfitnah Jenderal Wei untuk memecah kekuatan militer dan memuluskan jalan Putra Mahkota.”
Gema di aula berubah menjadi bisik-bisik.
Kaisar memicingkan mata. “Kau menuduh langsung darah dagingku?”
Wei Lian tak gentar. Ia mengangkat bukti: gulungan surat perintah militer asli, laporan medis dari tabib Hanbei, serta daftar saksi hidup yang telah bersumpah di bawah cap resmi.
Semua mata memandangnya. Lalu… ia berkata pelan,
“Dan jika semua itu belum cukup… maka biarkan saksi utamanya bicara sendiri.”
Langkah-langkah berat menggema dari sisi aula.
Jenderal Wei Zhong masuk perlahan, didampingi Mo Yichen dan beberapa pengawal Hanbei.
Semua terdiam. Bahkan Ren Yao terkejut, walau segera menyembunyikannya.
Beberapa bangsawan langsung berdiri. “Itu… benar-benar Jenderal Wei?! Tapi… dia sudah mati!”
Jenderal Wei berdiri tegak walau tubuhnya kurus dan luka-luka belum sepenuhnya sembuh. Suaranya berat, tegas:
“Aku hidup. Dan aku saksi atas penghianatan dalam yang terjadi. Aku tidak pernah memberontak. Aku ditahan, disiksa, dan dijadikan kambing hitam.”
Aula riuh.
Beberapa jenderal tua terlihat menggertakkan gigi. Mereka yang dulunya diam, kini tahu siapa yang bermain kotor selama ini.
—
Putra Mahkota melangkah maju. “Ini… tipuan. Orang ini bisa siapa saja. Dan bukti bisa direkayasa.”
Namun sebelum suasana makin panas…
Wei Ruo tiba-tiba berdiri dari barisan dayang.
“Yang Mulia,” katanya dengan suara lantang.
Semua mata menoleh padanya. Wei Lian memicingkan mata, waspada.
“Aku… ingin menyampaikan sesuatu.”
—
Ren Yao tersenyum samar. Ini bagiannya.
Wei Ruo maju ke tengah aula.
“Aku tahu Jie-jieku membawa bukti. Tapi sebenarnya… dia juga menyembunyikan sesuatu.”
Wei Lian langsung tegang. Yan’er dan Ah Rui yang mengintai dari sudut aula mulai bergerak gelisah.
“Kami… dulu saling mencintai Putra Mahkota. Tapi aku menyerah, karena aku tahu Jie-jie lebih layak. Tapi kemudian… dia berubah. Dia mulai mencari dukungan ke luar istana. Dia mencuri pusaka keluarga. Dan—”
“CUKUP!” seru suara berat.
Semua orang terdiam.
Mo Yichen maju selangkah. Kali ini, ia tak menyamar. Ia membuka jubahnya, dan segel emas berbentuk naga terbang menggantung di dadanya.
“Kalian semua menuduh tanpa hak. Tapi bagaimana jika yang bicara bukan hanya saksi… tapi Kaisar Hanbei sendiri?”
Aula terguncang.
Kaisar Luoyang terbelalak. Permaisuri menegang. Dan Putra Mahkota… pucat.
Mo Yichen melanjutkan.
“Aku, Mo Yichen, Kaisar Hanbei, hadir di sini karena kebenaran harus melampaui perbatasan.”
Ia memandang langsung ke Ren Yao.
“Kau menuduh wanita ini? Maka aku minta kau hadapi satu hal: perang. Jika satu helai rambut Putri Wei tersentuh karena fitnahmu… maka Hanbei akan mencap Luoyang sebagai pengkhianat.”
Aula menjadi sunyi menakutkan.
Wei Ruo terdiam. Rencananya… gagal total.
Ren Yao menggertakkan gigi, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Kaisar Luoyang akhirnya berdiri.
“Putri Wei Lian,” katanya pelan. “Mulai saat ini, nama keluargamu dibersihkan. Jenderal Wei diangkat kembali sebagai Panglima Tertinggi. Dan kau… adalah pelindung kebenaran negeri ini.”
—
Aula kembali riuh.
Namun Jenderal Wei… menunduk, lalu perlahan berkata, “Yang Mulia… izinkan hamba menolak.”
Semua membelalak. Bahkan Putra Mahkota yang sempat tersenyum kaku kini tampak bingung.
Jenderal Wei melanjutkan, “Aku telah melihat cukup darah, cukup pengkhianatan, dan cukup luka. Aku tidak ingin kembali pada medan yang sama, di mana keadilan bisa dibeli dan kesetiaan dikubur.”
Wei Lian maju perlahan, berdiri di sisi ayahnya. “Dan aku… juga menolak segala gelar dan penghargaan. Aku tidak mencari tahta atau nama. Aku hanya ingin keluarga kami kembali utuh. Itu saja.”
Kaisar terdiam cukup lama, menatap mereka seperti membaca sesuatu yang tak terucap.
“Jika itu keputusanmu… maka kami hormati. Pergilah dengan nama baik keluarga Wei yang telah kami bersihkan hari ini.” jawab kaisar pada akhirnya
—
Di luar aula
Wei Lian berdiri memandangi langit. Udara terasa ringan… tapi air mata turun juga.
Mo Yichen datang dan berdiri di sisinya. “Kau tak sendiri, Wei Lian.”
“Tidak. Tapi jalan ini belum berakhir.”
“Kau siap melangkah lebih jauh?” tanya Mo Yichen.
Wei Lian menoleh padanya… dan mengangguk.
“Denganmu… ya.” jawab Wei Lian
-
-
-
Malam harinya
Dengan diam-diam, Wei Lian, Jenderal Wei, Mo Yichen, Zhao Jin,Yan’er, dan Ah Rui keluar dari istana menuju rumah keluarga Wei yang telah lama kosong.
Di sana… ibu Wei Lian, Nyonya Zhang, telah diam-diam kembali dijemput oleh utusan Hanbei. Wanita itu menangis dalam pelukan suaminya dan putrinya.
Wei Ruo? Ia lenyap dari istana malam itu juga. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi, tapi semua rencananya hancur total, dan bayang-bayangnya pun memudar dari cerita.
—
Beberapa hari kemudian
Rombongan kecil meninggalkan kota Luoyang melalui gerbang timur, menaiki kereta kayu sederhana namun kuat. Di dalamnya, Jenderal Wei duduk memegang tangan istrinya. Wei Lian duduk di seberang mereka, memandang ke luar jendela.
Di atas kuda paling depan, Mo Yichen memimpin perjalanan, mengenakan pakaian rakyat biasa. Di belakangnya, Yan’er melambai ke para penjaga gerbang yang mereka tinggalkan dengan rasa lega.
“Kita benar-benar pergi dari istana?” tanya Ah Rui, menatap langit biru.
“Kita bukan pergi,” jawab Wei Lian dari dalam kereta. “Kita pulang.”
—
Dan jauh di balik langit utara, kota Hanbei menanti mereka.
Bukan sebagai tempat pelarian.
Tapi sebagai tempat lahirnya kehidupan baru.
—
Bersambung