Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melukis Kembali Mimpi
Riana menatap kosong langit-langit kamarnya yang putih bersih, namun pikirannya dipenuhi warna kelabu pengkhianatan yang pekat. Langit-langit itu, yang dulu sering ia tatap sambil bermimpi tentang masa depan indah bersama Raka, kini terasa seperti penutup peti mati yang mengurungnya dalam kesedihan mendalam. Setiap sudut ruangan seolah mengejeknya dengan kenangan manis yang kini terasa pahit dan menusuk jantungnya. Aroma parfum Raka yang masih tertinggal samar di bantal membuatnya semakin merindukan pria itu, meskipun ia tahu bahwa pria itu telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak perih dan bengkak yang menyakitkan, namun hatinya masih terasa perih dan berdenyut tak tertahankan. Pengkhianatan Raka dan Kirana bagaikan pisau tajam yang menusuk jantungnya, membelahnya menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan tak terkendali, membuatnya sulit bernapas dan berpikir jernih.
Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa orang yang ia cintai dengan segenap hatinya dan orang yang memiliki ikatan darah dengannya tega melakukan perbuatan sekeji ini? Raka, pria yang ia impikan untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya, ternyata tega mengkhianatinya dengan adik kandungnya sendiri. Kirana, adik yang selalu ia lindungi dan sayangi, ternyata tega merebut kebahagiaannya dengan cara yang tak terbayangkan.
Dengan langkah gontai, Riana bangkit dari tempat tidur yang terasa dingin dan tidak nyaman. Ia berjalan menghampiri cermin yang tergantung di dinding kamarnya dan menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong dan hampa. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab dan bengkak, dan rambutnya berantakan tak terurus. Ia tidak mengenali dirinya sendiri.
Namun, Raka dan Kirana tidak memberinya pilihan. Mereka tidak memberinya kesempatan untuk berduka, untuk marah, atau untuk sekadar memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mereka merampas segalanya darinya, termasuk haknya untuk menentukan masa depannya sendiri.
Tangan Riana bergetar hebat saat meraih amplop cokelat muda itu, yang tergeletak di atas meja seperti bom waktu yang siap meledak. Jantungnya berdebar tak karuan, menciptakan irama panik yang menggema di telinganya. Ia merasa seperti memegang artefak terkutuk, peninggalan dari masa lalu yang kelam, siap melepaskan malapetaka ke dalam hidupnya yang sudah berantakan.
Ia membolak-balik amplop itu dengan ragu, seolah mencari jawaban di permukaannya. Matanya terpaku pada nama "Raka" yang tertulis dengan tinta hitam di bagian depan. Tulisan tangan yang dulu menenangkannya, kini terasa seperti cakar tajam yang siap mencabik-cabik hatinya hingga berkeping-keping. Ia bertanya-tanya, skenario mengerikan apa lagi yang akan dipaksakan surat ini padanya? Mampukah ia bertahan di tengah badai yang akan datang?
Dengan napas tertahan, Riana merobek amplop itu, merusak segelnya seolah melanggar makam kuno yang berisi rahasia kelam. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dilipat rapi. Kertas itu terasa dingin dan kaku di jemarinya, seolah mewakili kebekuan hati Raka, hati yang dulunya hangat dan penuh cinta, kini membeku menjadi es yang tak tersentuh.
Ia membuka lipatan kertas itu perlahan, seolah takut membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Aroma parfum Raka yang samar-samar tercium dari kertas itu, membawa kembali kenangan manis yang kini terasa pahit dan menyesakkan. Ia mulai membaca.
Riana,
Mungkin kau tak akan pernah membaca surat ini jika Kirana tak memiliki keberanian untuk memberikannya padamu. Aku tahu, kata-kata tak akan pernah bisa menghapus luka yang kuukir di hatimu, luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Tapi aku mohon, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan, meskipun kebenaran ini akan semakin menyakitimu, bahkan mungkin menghancurkanmu.
Riana mengepalkan tangannya erat-erat, kukunya menusuk telapak tangan hingga meninggalkan bekas kemerahan. Kata-kata Raka terasa seperti belati berkarat yang diputar-putar di lukanya, menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan. Ia merasa mual dan marah, ingin merobek surat itu menjadi serpihan kecil dan membakarnya, namun dorongan untuk mengetahui kebenaran, seberapapun mengerikannya, mengalahkan segalanya.
Ia melanjutkan membaca, setiap kata terasa seperti pukulan di ulu hati.
Kau ingat saat Kirana sering berkunjung ke apartemenmu? Saat itulah, tanpa kusadari, benih ketertarikan mulai tumbuh di antara kami. Aku tahu itu salah, sangat salah. Aku tahu aku telah mengkhianatimu. Tapi aku tak bisa mengendalikan diri. Kirana selalu ceria dan penuh perhatian, sebuah kontras menyegarkan dari kesibukanmu yang tak pernah ada habisnya. Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, dengan ambisimu, hingga kau lupa bahwa aku juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Riana terhuyung mundur, seolah baru saja menerima pukulan fisik yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Jadi, selama ini, di bawah atap yang sama, adiknya dan tunangannya menjalin hubungan terlarang? Di apartemen yang seharusnya menjadi simbol cinta mereka, tempat ia dan Raka membangun mimpi bersama, justru menjadi sarang pengkhianatan? Ia merasa bodoh dan naif, seolah selama ini ia hidup dalam dunia fantasi yang dibangunnya sendiri, sementara di sekelilingnya, kebohongan dan pengkhianatan tumbuh subur.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri yang bergejolak, dan melanjutkan membaca. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh kertas itu, seolah takut dengan apa yang akan ditemukannya di baris-baris berikutnya.
Semuanya berubah saat aku dan Kirana pergi berlibur ke Malang. Hanya kami berdua. Tanpa kau tahu. Aku tahu, ini adalah pengkhianatan yang tak termaafkan. Tapi aku harus jujur padamu, Riana. Kau berhak tahu yang sebenarnya.
Air mata mulai mengalir deras di pipi Riana, membasahi surat di tangannya hingga tintanya mulai luntur. Ia membayangkan adegan itu: Raka dan Kirana, berdua saja, menikmati keindahan Malang, tertawa dan bercanda tanpa beban, sementara ia, dengan bodohnya, mempercayai mereka, menganggap mereka sebagai keluarga. Pengkhianatan itu bukan hanya terjadi, tapi direncanakan dengan matang, seolah ia hanyalah pion dalam permainan mereka.
Villa itu sunyi dan indah, jauh dari keramaian kota. Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, tertawa, dan berbagi mimpi. Kami merasa seperti dua jiwa yang menemukan satu sama lain, terlepas dari kenyataan bahwa aku adalah tunanganmu dan dia adalah adikmu. Sampai suatu malam, di bawah langit Malang yang bertabur bintang, kami tak bisa lagi menahan hasrat yang membara di antara kami. Kami menyerah pada godaan, dan melakukan sesuatu yang akan mengubah hidup kami selamanya. Aku tahu, Riana, ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.
Riana terisak keras, bahunya berguncang hebat. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan umum, semua rahasianya terbongkar, rasa malu dan sakit hati bercampur menjadi satu. Bagaimana bisa adiknya, darah dagingnya sendiri, tega menusuknya dari belakang? Bagaimana bisa Raka, pria yang dicintainya, tega menghancurkan hatinya berkeping-keping?
Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan, Riana. Aku sangat menyesal. Aku menyesal telah menyakitimu, telah mengkhianatimu, telah menghancurkan semua mimpi kita. Setelah malam itu, aku mencoba menjauhi Kirana, tapi terlambat. Ia hamil. Aku hancur. Aku tahu aku telah menghancurkan segalanya, bukan hanya hidupku, tapi juga hidupmu dan hidup Kirana.
Riana tertawa hampa di tengah tangisnya, air matanya terasa asin di bibirnya. Penyesalan? Apa artinya penyesalan bagi seseorang yang telah menghancurkan hidup orang lain? Apakah kata maaf bisa mengembalikan semua yang telah hilang? Apakah ia bisa melupakan semua ini dan melanjutkan hidupnya?
Saat Ibu dan Bapak mengetahui kehamilan Kirana, mereka murka. Mereka kecewa dan malu. Mereka memaksaku untuk menikahi Kirana demi menyelamatkan nama baik keluarga, demi menghindari skandal yang akan menghancurkan reputasi mereka. Aku menolak sekuat tenaga. Aku ingin bertanggung jawab, tapi aku tak bisa menikahi seseorang yang tidak kucintai. Aku ingin bersamamu, Riana. Aku selalu mencintaimu, meskipun aku tahu kau tak akan pernah mempercayaiku lagi.
Riana meremas surat itu hingga kusut di tangannya, kertas itu basah oleh air matanya. Kebohongan! Semua ini hanyalah kebohongan! Ia merasa seluruh tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena amarah yang membara di dalam dadanya. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu, ingin membalas semua rasa sakit yang telah ditimpakan padanya.
Surat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai, tergeletak tak berdaya seperti dirinya. Riana terduduk lemas di sofa, air mata terus mengalir tanpa henti. Ia merasa hancur, dikhianati, dan sendirian. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ke mana harus pergi, atau bagaimana cara melanjutkan hidupnya.
Di tengah keputusasaannya, ia teringat pada Bima. Sahabatnya yang selalu ada untuknya, dalam suka maupun duka. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan mencari nama Bima di daftar kontaknya. Ia menekan tombol panggil, berharap Bima akan mengangkat teleponnya dan menyelamatkannya dari kegelapan ini.
*************