NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 / THTM

Pagi itu, mata Nayara bengkak.

Dia tidak tidur semalaman.

Pesan tanpa nama itu masih terbayang jelas di layar ponsel sebelum akhirnya ia hapus, tapi bekasnya tidak bisa dihapus dari kepalanya.

Dia tahu siapa pengirimnya.

Dia tahu, tapi tidak berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.

Di sekolah, semua terasa asing.

Bahkan suara bel pun terdengar seperti detak waktu yang menyeretnya ke arah yang ia tak mau.

Setiap suara langkah di lorong terasa seperti gema dari langkah yang sudah ia kenal lama.

“Kamu kelihatan pucat banget, Nay. Sakit?” tanya temannya saat jam istirahat.

“Enggak. Cuma kurang tidur,” jawab Nayara cepat, lalu berpura-pura sibuk membuka buku.

Namun begitu teman-temannya pergi, Nayara mengeluarkan ponsel dan membuka galeri.

Ia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti — sebuah foto dirinya di halte, pagi tadi, saat menunggu angkot.

Ia tidak pernah mengambil foto itu.

Dan foto itu diambil dari sudut jauh — seperti dari dalam mobil.

Ponsel hampir terjatuh dari tangannya.

“Astaga… ini…” suaranya bergetar.

Pesan baru masuk.

“Kau tampak lelah. Jangan paksakan diri. Aku bisa menjemputmu, kapan saja.”

Tanpa nama. Tanpa profil. Hanya teks itu.

Nayara menggigit bibir, air matanya hampir jatuh. Ia tahu siapa itu, tapi ia tak bisa membalas.

Bagaimana mungkin ia bisa menjawab, jika tiap kata dari pria itu adalah tali yang perlahan membelitnya lagi?

Sore harinya, ia berusaha menguatkan diri — menunggu Elara di depan sekolah agar bisa pulang bersama. Tapi Elara mendapat panggilan mendadak dari ibu dari wanita itu, katanya harus menemui ibunya dulu di mall.

Nayara akhirnya memutuskan pulang sendiri.

Langit sore tampak mendung.

Jalanan sepi.

Ia berjalan cepat sambil terus menunduk, berharap segera sampai rumah. Namun di perempatan, ia merasa langkahnya tak lagi sendiri.

Langkah lain mengiringinya — berat, tenang, sangat teratur.

Setiap kali ia mempercepat langkah, suara itu ikut berubah.

“Jangan menoleh… jangan menoleh…” bisiknya pelan pada diri sendiri.

Tapi rasa takut lebih kuat daripada logika.

Ia berhenti dan menoleh.

Kosong.

Hanya ada mobil hitam terparkir di ujung jalan, mesin masih menyala.

Napasnya tercekat. Ia mulai berjalan mundur pelan, tapi jendela mobil itu tiba-tiba turun — sedikit saja, cukup untuk memperlihatkan sebagian wajah pria di baliknya.

Tatapan itu… tatapan yang terlalu ia kenal.

Suara rendah dan tenang keluar dari balik kaca.

“Kau gak seharusnya pulang sendirian, Nayara.”

Mobil itu tak bergerak, tapi jantung Nayara serasa diremas.

Ia tak menjawab, hanya menatap — antara takut, marah, dan entah kenapa… rindu.

“Masuk. Aku antar pulang.”

“Aku bisa sendiri.”

“Aku tahu. Tapi aku tidak tanya bisa atau tidak.”

Suara itu membuatnya ingin berlari. Tapi kakinya tidak bergerak.

Dan ketika mobil perlahan mendekat, ia sadar bahwa entah berapa kali pun ia berusaha lari, bayangan pria itu akan selalu tahu jalan pulang ke dirinya.

——————

Mobil hitam itu meluncur pelan melewati jalan-jalan kecil di pinggiran kota.

Hujan rintik turun, mengetuk kaca jendela, mengisi keheningan yang terasa terlalu berat untuk ditanggung dua manusia di dalamnya.

Nayara duduk kaku di kursi penumpang. Tangannya menggenggam ujung roknya erat-erat, seolah sedang berpegangan pada sisa keberanian yang tersisa.

Ia tidak tahu kenapa akhirnya masuk.

Mungkin karena takut dilihat orang jika ia menolak.

Mungkin karena bagian dalam dirinya menyerah untuk melawan.

Dari sudut matanya, ia bisa melihat Alaric.

Tenang.

Dingin.

Satu tangannya memegang setir, yang lain di sandaran jendela.

Tidak ada ekspresi marah atau lembut — hanya netral. Tapi justru itu yang paling menakutkan bagi Nayara.

Suara radio memutar lagu lawas, samar dan berat, liriknya seperti mengiris setiap sisi hening di antara mereka.

Nayara menggigit bibirnya.

“Kau… kau mau apa lagi dari aku?” tanyanya dengan nada yang lebih seperti desahan kelelahan daripada keberanian.

“Kau tahu aku gak pernah suka ditanya begitu,” jawab Alaric pelan, hampir berbisik.

“Jawab aku, Kak Alaric.”

“Aku mau kau berhenti berpura-pura bahwa semua ini gak ada.”

Mobil melambat di lampu merah.

Hujan makin deras.

Alaric menoleh perlahan — matanya menatap wajah Nayara, memerhatikan setiap detail, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar nyata.

Tatapan itu bukan lagi sekadar dingin; ada sesuatu yang retak di dalamnya, antara obsesi dan penyesalan.

“Aku tahu aku jahat,” katanya tiba-tiba, suaranya rendah. “Tapi aku juga tahu kau masih mengingatku setiap kali kau memejamkan mata.”

Nayara terkejut. Napasnya tercekat.

“Jangan bicara seperti itu.”

“Kau pikir aku gak tahu, Nayara? Setiap kali aku mencoba menjauh, sesuatu di kepalaku… selalu membawaku balik ke arahmu.”

“Aku gak mau dengar—”

“Kau gak mau dengar, tapi kau gak juga pergi.”

Seketika suasana di dalam mobil membeku.

Nayara menunduk, air matanya menetes tanpa suara. Ia tidak tahu apakah menangis karena takut, atau karena bagian dalam dirinya mulai kehilangan arah.

Lampu lalu lintas berubah hijau.

Alaric menekan pedal gas perlahan. Mobil kembali meluncur.

“Kau bisa bilang apa pun yang kau mau, Nayara,” katanya pelan. “Tapi aku tahu, satu-satunya tempat yang benar-benar membuatku tenang… cuma ada di hadapanmu.”

Nayara menatap lurus ke depan, dadanya naik turun cepat.

Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi yang keluar hanya satu kalimat lirih —

“Aku capek, Kak Alaric…”

Alaric diam lama. Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia menjawab,

“Aku juga, Nayara. Tapi aku gak tahu cara berhenti.”

Mobil terus melaju, melewati jalan panjang dengan lampu-lampu kota yang buram oleh hujan. Dua hati yang sama-sama rusak, tapi tetap menolak berpisah, terjebak dalam diam yang menyesakkan.

Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan rumah sederhana dengan halaman kecil.

Lampu teras remang, hanya ada suara hujan yang menetes dari talang, membuat suasana terasa sunyi dan dingin.

Nayara membuka sabuk pengamannya pelan. Ia ingin segera keluar, tapi suaranya tercekat di tenggorokan — bukan karena takut, tapi karena masih terperangkap dalam gelombang aneh yang dibawa percakapan barusan.

“Terima kasih… udah nganterin,” katanya pelan, matanya tidak berani menatap.

Alaric tidak menjawab.

Tangannya masih di setir, tapi jari-jarinya mengetuk pelan — ritmis, seperti sedang berpikir keras.

Beberapa detik kemudian, ia memanggil,

“Nayara.”

Nada itu berbeda. Tidak menekan. Tidak dingin.

Nayara menoleh, dan untuk pertama kalinya, ekspresi di wajah pria itu tidak mudah ditebak.

Ada lelah di sana. Ada kosong yang dalam.

“Kau pikir aku gak berusaha, ya?” suaranya serak, nyaris tertelan hujan di luar. “Aku sudah coba berkali-kali buat berhenti mikirin semua ini. Tapi makin aku coba, makin aku gila.”

Nayara mematung.

“Aku gak tahu kenapa kau ngomong gitu ke aku,” ucapnya pelan. “Kau yang mulai semuanya, Kak. Kau yang buat situasinya kayak gini.”

Alaric menunduk.

Ia menghela napas panjang — pertama kalinya, bukan karena marah, tapi karena lelah.

“Iya. Aku tahu.”

Kata itu terdengar jujur. Sederhana, tapi berat.

Nayara merasa dadanya sesak — bagian dirinya yang dulu benci, tiba-tiba goyah.

“Aku cuma… pengen semua balik kayak dulu,” katanya akhirnya, suaranya hampir bergetar.

“Kayak dulu?” Alaric menatapnya. “Kau pikir kita bisa balik ke sebelum malam itu?”

“Kenapa gak bisa?”

“Karena aku gak bisa berpura-pura, Nayara. Gak bisa lagi.”

Keheningan menelan keduanya.

Lampu jalan memantulkan cahaya samar ke wajah Alaric — kini tidak lagi terlihat seperti pria sombong yang selalu mengontrol keadaan.

Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu.

Alaric bersandar di kursinya, menutup mata sejenak.

“Aku cuma ingin tenang, tapi entah kenapa setiap kali aku nemu ketenangan… itu selalu datang dari hal yang salah.”

Nayara menunduk.

Ia menggenggam erat pegangan tasnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.

“Mungkin, Kak… karena yang kau cari bukan tenang, tapi penebusan.”

Kalimat itu membuat Alaric membuka mata perlahan, menatap gadis di sebelahnya.

Tatapan yang lama, nyaris menahan sesuatu di tenggorokannya.

“Penebusan, ya?” ia tersenyum samar. “Lucu juga dengarnya dari seseorang yang paling ku buat terluka.”

Nayara tidak menjawab.

Ia membuka pintu pelan. Udara dingin langsung menyapa wajahnya.

Sebelum keluar, ia berkata lirih tanpa menoleh,

“Selamat malam, Kak Alaric.”

“Selamat malam, Nayara.”

Suara pintu tertutup dengan lembut.

Alaric tetap duduk di dalam mobil, menatap ke arah rumah kecil itu lama sekali.

Matanya kosong — tapi untuk sesaat, bibirnya bergetar seperti seseorang yang menahan kata yang tidak sempat terucap.

Ia memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya sejak lama, pria itu tampak seperti manusia biasa — tersesat dalam perasaannya sendiri.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!