Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Pagi itu, sinar matahari baru menembus tirai kamar Haruka ketika gadis itu menyeret langkah ke luar sambil menguap lebar.
Rambutnya masih berantakan, piyamanya kusut, dan wajahnya… yah, jelas belum siap untuk bertemu siapa pun di dunia nyata.
Tapi dunia rupanya punya rencana jahat untuknya pagi ini.
“Selamat pagi,” suara berat itu menyapanya begitu pintu terbuka.
Haruka langsung membeku.
Di depan pintu, Gideon, lengkap dengan kemeja rapi, dasi, dan tongkat penyanggahnya, berdiri santai sambil menatap jam tangan.
Wajahnya tampak terlalu ready for Monday untuk ukuran orang yang katanya pulang larut dari pesta semalam.
“Kakak?!” Haruka spontan mundur selangkah. “Kamu ngapain berdiri di depan kamarku sepagi ini?! Aku belum… ini-”
Tatapan Gideon meluncur ke rambut Haruka yang seperti singa baru bangun tidur.
“Oh no… aku belum nyisir!”
“Memang kelihatan,” jawab Gideon datar.
Haruka mendengus keras, hendak menutup pintu dan kabur kembali ke kamar, tapi tangannya belum sempat menarik gagang ketika sebuah tangan lebih dulu menahan pintu.
Bahkan tongkatnya pun Gideon tahan di sisi, dengan satu tangan lainnya menahan baju tidur Haruka agar tak sempat lari.
“Eh, lepasin! Aku belum cuci muka!”
“Tenang. Aku nggak datang buat bahas tampilan pagimu,” gumam Gideon tenang, tapi matanya menatapnya penuh arti.
“Kalau begitu, kenapa kakak di sini?”
“Dua hal,” katanya pelan. “Satu, PR buat kamu." Ia menatap Haruka dengan ekspresi tenang tapi bikin jantung gadis itu nyaris copot, “…foto semalam.”
Langsung saja Haruka menatapnya dengan wajah panik. Jelas
“W–Wah, foto apa ya? Yang semalam kakak dipeluk?”
“Haruka.”
Nada suara itu pelan tapi tegas.
“Baiklah! Ada tuh di hp aku. Tapi kak, maaf. Itu aku gak sengaja. Dan cuma aku kirim ke mama, kok.”
Gideon menatapnya datar beberapa detik, lalu akhirnya menekan bibirnya menahan senyum.
“Ya ampun, aku udah minta maaf, kan?”
Gideon memutar matanya, menunduk menatap gadis itu yang masih cemberut dengan rambut berantakan.
Lalu dengan nada tenang, ia berkata, “Kirimkan fotonya ke ponselku.”
Haruka mengangkat kepala cepat-cepat. “Hah?! Buat apa?!”
“Buat bahan introspeksi,” jawabnya santai.
“Introspeksi apaan?!” dengan wajah usil khas Haruka.
“Introspeksi kenapa aku bisa kelihatan sebodoh itu kalau lagi dipeluk seseorang,” katanya setengah bergumam.
Haruka nyaris tersedak udara. “HAHA... tapi janji ya PR-nya jangan di desak.”
Gideon menatapnya tenang. “Bisa diatur.”
Haruka akhirnya ngakak. “Kamu tuh… pinter tapi absurd juga ya, Kak!”
Namun begitu Gideon berbalik hendak pergi, Haruka menambahkan dengan nada iseng,
“Aku tahu, kakak pengen tatap foto itu nanti sambil senyum-senyum sendiri, ya kan, ngaku.”
Langkah Gideon terhenti sesaat tanpa menoleh ia menjawab datar, “Fokus aja beresin laporan, Haruka.”
Begitu pria itu menghilang di ujung koridor, Haruka menatap pintu kamarnya sambil geleng-geleng kepala.
“Duh, Kak Gideon ini… nyebelin tapi lucu juga, ya. Tapi ya ampun, rambutku barusan kayak singa kena angin ribut. Malu banget!”
Ia lalu berlari kecil ke kamar mandi sambil masih tertawa sendiri, sedangkan di ruang kerja, Gideon sudah duduk diam menatap layar ponselnya, menunggu pesan masuk dari Haruka, sambil memikirkan sikap Chesna semalam yang tiba-tiba.
Suara langkah sepatu lembut terdengar mendekat di lorong rumah Sanggana.
Sampai akhirnya, tok tok tok…
Pintu terbuka pelan, dan masuklah Nyonya Vera, lengkap dengan celemek dapur, membawa nampan berisi roti panggang, telur rebus, dan segelas jus jeruk.
“Pagi, sayang,” sapanya dengan nada ceria yang terlalu kontras untuk aura serius ruangan itu.
Gideon langsung mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Mama?”
“Mama sengaja antar sarapan buat anak Mama yang mukanya lagi stress tapi pura-pura fokus.”
Gideon mendesah pelan. “Aku nggak pura-pura.”
Vera meletakkan nampan di meja, lalu duduk manis di kursi sambil menyilangkan kaki, ekspresinya berubah nakal.
“Eh, tentang foto semalam.”
Langsung saja, tangan Gideon yang baru mau mengambil gelas jus berhenti di udara.
Ia menatap ibunya tajam. “Mama…”
“Kenapa, Nak?” senyum Vera makin lebar. “Mama cuma pengin tahu, itu pelukan tulus atau pelukan salah alamat?” Nyonya Vera tersenyum cerah. “Dan Mama harus jujur, lihat ekspresi wajahmu aja udah kelihatan kamu pasti bahagia, kan?”
“Mama terlalu banyak menonton drama,” gumam Gideon datar sambil menatap laptopnya lagi.
“Tapi Mama juga ibu yang masih berharap anaknya bahagia,” balas Vera lembut tapi penuh arti. “Dan kali ini Mama yakin, Gideon. Gadis itu juga menyimpan perasaan yang sama.”
Gideon menunduk, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja.
“Mungkin Mama salah. Bisa jadi dia cuma kasihan.”
Vera tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kalau itu kasihan, Mama doain semua orang di dunia ini bisa dikasihani seperti itu.”
Ia bangkit berdiri, merapikan dasi Gideon dengan lembut.
“Dengar, Nak. Cacatmu bukan penghalang untuk dicintai. Kadang perempuan melihat lebih dalam dari sekadar tongkat penyanggah.”
Gideon memejamkan mata sejenak, wajahnya menegang tapi sorot matanya sedikit melunak.
“Terima kasih, Ma.”
“Jangan bilang terima kasih dulu,” sahut Vera sambil menepuk bahunya ringan. “Bilang terima kasih kalau Mama udah disuruh beli kado buat tunangan kalian nanti.”
Gideon langsung menatap ibunya tajam. “Mama!”
Vera terkekeh geli, melangkah keluar sambil membawa nampan kosong.
“Baiklah, baiklah. Mama nggak akan ganggu.”
Pintu tertutup.
Gideon menghela napas panjang, menatap jus jeruk di depannya.
Dan entah kenapa, sudut bibirnya perlahan naik, antara kesal dan malu.
___
Bau antiseptik bercampur aroma lembut bunga lavender memenuhi ruang praktik Dr. Chesna.
Wanita itu tampak duduk di balik meja, mengenakan jas putih dengan rambut yang diikat rapi.
Jarum jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang, tapi dari cara ia menatap layar monitor, siapa pun bisa menebak, pikirannya melayang entah ke mana.
“Dokter?” suara pasien wanita di depannya membuyarkan lamunannya.
“Oh iya, maaf,” Chesna segera kembali fokus, meraih map hasil pemeriksaan dan tersenyum ramah. “Hasil tes Anda baik, hanya perlu menjaga pola tidur. Saya tulis resep vitamin ringan, ya.”
Pasien itu mengangguk lega dan berpamitan.
Begitu pintu tertutup, Chesna menghela napas panjang, menatap bayangan dirinya di layar monitor komputer.
Bayangan pesta semalam berputar kembali di kepalanya. Pelukan itu. Ia tak menyesal telah memeluknya… tapi kini, setiap mengingatnya, ada rasa malu dan takut yang bercampur jadi satu.
Sampai akhirnya, pintu kembali diketuk.
“Masuk,” ucapnya lembut.
Lidya, asisten sekaligus perawat pribadinya, melangkah masuk dengan setumpuk berkas. Gadis itu masih muda, ceria, dan dikenal dengan mulutnya yang kadang lebih cepat dari otaknya.
“Dok, ini laporan stok obat dan pengeluaran minggu ini,” ucapnya, menaruh berkas di meja.
Chesna mengangguk. “Terima kasih. Taruh di sini saja, nanti saya periksa.”
Tapi bukannya pergi, Lidya justru berdiri di tempat, memainkan ujung pulpen di tangannya.
“Hmm… Dok?”
“Ya?”
“Kalau boleh nanya… Pak Gideon udah lama nggak kelihatan ya di klinik ini?”
Chesna mendadak terdiam.
Tangan yang semula memegang mouse berhenti bergerak.
Lidya lanjut dengan nada penasaran polos, “Biasanya beliau mampir seminggu sekali, kan, buat lihat laporan keuangan atau sekadar ngobrol sama tim. Dua minggu ini nggak muncul, saya kira mungkin sibuk banget, atau lagi keluar kota?”
Chesna mencoba terlihat santai.
“Mungkin memang sedang sibuk di kantor dikantornya,” jawabnya datar, sambil membuka berkas lain agar terlihat fokus.
“Ah iya, benar juga,” Lidya mengangguk. “Padahal kalau beliau datang, suasananya tuh beda banget. Ramai, tapi adem. Semua orang kayak semangat kerja. Apalagi waktu beliau duduk di ruang tunggu aja, semua perawat auto jadi rajin.”
Chesna menatapnya sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya, geli.
“Lidya, kamu ini… ngomongnya kayak wartawan gosip,” katanya lembut.
Lidya terkekeh. “Hehehe, maaf, Dok. Tapi jujur ya, Pak Gideon tuh tipe yang keren banget. Serius, kalem, tapi auranya berkelas. Padahal jalannya aja cuma pake tongkat. Tapi kok bisa seganteng itu, ya?”
“Lidya.”
Nada Chesna sedikit turun setengah oktaf.
Lidya langsung tegak. “Eh! Maksud saya, tentu aja nggak mungkin lah, Dok. Saya tahu diri. Hehe.”
Chesna hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, tapi senyum itu cepat memudar.
Begitu Lidya pamit keluar, ruangan kembali hening.
Dan di keheningan itu, tatapan Chesna mengarah ke vas bunga di sudut meja bunga lily putih yang dulu pernah dikirim Gideon saat pertama kali ke klinik.
Ia menyentuh kelopak bunga yang sudah mulai layu.
“Mungkin memang benar kamu sibuk…” gumamnya lirih.
Namun di dalam hatinya, ada suara lain yang lebih jujur berbisik, atau mungkin kamu sedang menjauhiku dan pasti sibuk dengan kekasihmu.
___
Bersambung dulu...
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??