NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11 -- aruna adikara (pernikahan)

Aroma mawar putih memenuhi aula pernikahan yang didesain begitu intim. Hanya orang-orang penting dari dua keluarga besar — Surya dan Adikara — yang hadir malam itu. Musik klasik dari kuartet gesek mengalun lembut, mengiringi percakapan para tamu yang elegan. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya hangat, menari di atas lantai marmer seputih susu.

Di tengah keindahan itu, Aruna Surya, kini resmi bergelar Nyonya Adikara, berdiri sendirian di pelaminan. Ia memegang buket bunga kecil berisi mawar putih dan lavender yang berpadu sempurna dengan gaun pengantinnya — lembut, anggun, namun tetap sederhana.

Gaun itu menampilkan siluet tubuhnya yang ramping dan berkelas. Renda halus membingkai bagian bahu dan dada, sementara ekor panjangnya mengalun setiap kali ia bergerak. Rambutnya disanggul setengah, dihiasi dengan untaian mutiara kecil dan bunga melati segar yang menebar wangi lembut setiap kali ia menoleh. Make up-nya lembut dan alami, menonjolkan mata cokelat hangat yang berkilau seperti sinar sore.

Senyum Aruna merekah ketika seorang tamu menghampiri.

“Selamat ya, Nona Aruna… atau seharusnya kami memanggilmu Nyonya Adikara sekarang?” ujar salah satu tamu wanita dengan senyum menggoda.

Aruna terkekeh kecil. “Panggil Aruna saja, Tante. Aku masih belum terbiasa dengan panggilan itu,” jawabnya ringan.

Tamu-tamu di sekitarnya tertawa kecil mendengar jawaban itu. Aura cerianya membuat suasana pesta terasa hidup meski tanpa mempelai pria di sampingnya.

Di kursi pelaminan sebelahnya, hanya ada foto besar Leo Adikara, suaminya yang kini terbaring koma. Meski tempat itu kosong, Aruna sama sekali tidak terlihat sedih. Ia justru tampak tenang — seolah ia benar-benar bahagia dengan apa yang telah diputuskan.

“Lihat, lihat… anak kita,” bisik Ny. Surya dengan mata berkaca-kaca pada suaminya. “Cantik sekali, ya. Seperti bidadari turun dari langit.”

Tuan Surya tersenyum, menepuk lembut tangan istrinya. “Bidadari, iya. Tapi masih bawel juga, seperti dulu.”

“Pak!” Ny. Surya terkekeh pelan, memukul ringan lengan suaminya. “Jangan begitu, nanti didengar tamu.”

Dan tentu saja, ucapan itu memang didengar — oleh Aruna sendiri yang kebetulan sedang menghampiri mereka.

“Duh, Ayah!” seru Aruna dengan wajah setengah cemberut, setengah geli. “Baru juga beberapa menit jadi pengantin, udah dikatain bawel lagi.”

Tuan Surya terkekeh. “Lho, emang salah? Waktu kecil kamu cerewet sekali. Ingat waktu ulang tahun ke-8? Kamu ngambek seharian cuma gara-gara kuenya warna birunya kurang tua!”

Ny. Surya menimpali cepat, “Dan waktu itu kamu nyuruh Ayah ganti semua balon karena katanya warna pink-nya ‘jelek banget’. Ibu sampai capek banget nurutin kamu.”

Aruna memutar bola matanya, wajahnya memerah karena malu tapi tak bisa menahan tawa. “Aduh, Ibu, Ayah… jangan cerita itu di depan orang-orang dong. Malu ih.”

“Biar tahu semua, ternyata anakku cerewet dari lahir,” jawab Tuan Surya santai.

“Ayah!” protes Aruna lagi, kali ini disertai tawa renyah yang menular pada para tamu di dekat mereka.

Ny. Surya tertawa hingga air matanya menitik sedikit. “Ya ampun, ternyata Aruna yang sekarang sama persis dengan Aruna kecil kita. Bedanya, sekarang kamu pakai gaun mahal.”

Aruna menatap ibunya dengan wajah manja. “Ibu ngomongnya kayak aku dulu anak kecil nakal aja.”

“Bukan nakal, tapi…” Ny. Surya menyipitkan mata pura-pura berpikir. “Bawel tapi lucu.”

“Wah, Ibu nggak berubah, masih suka menggoda anak sendiri,” gumam Aruna sambil terkekeh.

Tuan Surya ikut menimpali, “Tapi jujur ya, Nak… Ayah bangga banget hari ini. Kamu terlihat bahagia. Ayah bisa lihat dari cara kamu tersenyum.”

Ucapan itu membuat Aruna terdiam sejenak. Senyum lembut di bibirnya tetap ada, tapi matanya berkedip pelan — menahan sesuatu di dalam dadanya yang hangat sekaligus getir.

Ia memandang kedua orang tuanya dengan lembut. “Aku memang bahagia, Yah, Bu. Aku benar-benar bersyukur masih punya kalian. Dulu Aruna pernah kehilangan segalanya… tapi sekarang, aku berjanji nggak akan mengulang kesalahan itu lagi.”

Tuan dan Ny. Surya saling pandang, sedikit bingung dengan nada kalimat putri mereka, tapi keduanya hanya mengangguk penuh kasih.

“Yang penting kamu bahagia,” kata Ny. Surya lembut. “Dan semoga Tuan Leo cepat sadar dari komanya. Ibu yakin, kalau dia lihat kamu hari ini, dia pasti bangga.”

Aruna tersenyum pelan, menatap foto Leo di pelaminan. “Aku juga yakin, Bu.”

Beberapa tamu datang bergantian memberi selamat. Aruna sempat tertawa kecil saat seorang anak kecil menjatuhkan sepotong kue di lantai dan ia buru-buru membantunya membersihkan. Ia tampak begitu alami, bukan seperti pengantin yang rapuh dan penuh beban, melainkan perempuan muda yang ceria, hangat, dan menghidupkan suasana di mana pun ia berada.

“Aruna sayang, kamu nggak capek berdiri terus?” tanya ibunya khawatir.

“Enggak kok, Bu. Aku kuat. Lagian aku senang bisa ngobrol dengan semua orang,” jawab Aruna sambil tertawa. “Kalau duduk nanti malah ngantuk.”

“Dasar mulutmu nggak bisa diam,” goda Tuan Surya lagi.

“Yah!” keluarga kecil itu kembali tertawa bersama, menjadi pemandangan yang menyejukkan mata bagi siapa pun yang melihat.

Namun jauh di dalam hatinya, Aruna tahu bahwa di balik semua tawa itu, ia sedang memainkan perannya dengan sempurna. Ia tidak hanya menjadi pengantin yang bahagia — ia sedang menata langkahnya menuju masa depan yang jauh lebih besar dari sekadar pernikahan ini.

...----------------...

Malam makin larut. Satu per satu tamu berpamitan, hingga aula mulai lengang. Para pelayan sibuk membersihkan meja dan mematikan sebagian lampu. Aruna masih berdiri di sisi ruangan, berbincang dengan ibunya.

“Bu, aku ke toilet sebentar, ya,” ujarnya.

“Boleh, tapi hati-hati. Gaunmu panjang sekali. Jangan nyangkut di pintu,” pesan Ny. Surya.

Aruna mengangguk dengan senyum manis. “Iya, Bu. Kalau aku jatuh nanti Ayah pasti bahagia karena bisa ngeledek aku lagi.”

Tuan Surya yang mendengar itu dari belakang hanya terkekeh. “Pintar. Sudah tahu saja sifat Ayahmu.”

Aruna berjalan keluar dari aula, meninggalkan tawa kecil keluarganya di belakang. Koridor panjang menuju toilet tampak sepi. Dinding-dinding putihnya dihiasi lukisan klasik, sementara lampu-lampu dinding menyala redup, menciptakan bayangan lembut di sepanjang lantai marmer.

Udara di lorong itu sedikit lebih dingin daripada aula utama. Aruna memeluk lengannya sendiri, melangkah pelan sambil sesekali mengangkat sedikit bagian bawah gaunnya agar tidak terseret.

Namun tiba-tiba—

Bruk!

Tubuh Aruna menabrak sesuatu yang keras. Ia terhuyung ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan jika tidak segera berpegangan pada dinding.

“Aduh! Maaf, aku nggak lihat arah—”

Kalimatnya terputus.

Di depannya, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan jas hitam yang sudah robek di beberapa bagian. Wajahnya sebagian tertutup topeng hitam yang menutupi dari hidung hingga dagu. Napasnya tersengal, dan di antara robekan celana panjang hitamnya, darah mengalir dari pahanya, menetes ke lantai marmer.

Aruna terpaku. “K-Kau berdarah…?” suaranya nyaris tak terdengar.

Pria itu tidak menjawab. Ia tampak berusaha berdiri tegak, tapi tubuhnya sedikit bergetar.

Aruna menatap sekeliling — lorong itu sepi, tak ada siapa pun. Panik perlahan merayap di dadanya.

“Ya Tuhan…” bisiknya. “Kau… kau terluka parah! Duduk dulu, cepat!”

Pria itu menatapnya sekilas, sorot matanya tajam tapi lemah. “Aku… tidak apa-apa…” gumamnya berat.

“Tidak apa-apa darimana? Kau bahkan nyaris jatuh!” Aruna langsung menahan bahunya sebelum ia tumbang.

Tanpa berpikir panjang, ia menurunkan tubuh pria itu hingga duduk di lantai marmer. Darah sudah mengalir lebih deras, membentuk genangan kecil di sekitarnya. Aruna menelan ludah — gaun putihnya yang semula suci kini sudah ternoda merah di ujungnya.

“Ya ampun… ya ampun…” gumamnya panik. “Kau kehilangan banyak darah, aku harus—”

Ia menatap sekitar mencari sesuatu untuk menekan luka itu, tapi tak ada apa pun. Hanya dirinya… dan gaun mahal yang sekarang terasa seperti beban.

Tanpa berpikir dua kali, Aruna menarik bagian bawah gaunnya dengan tangan gemetar. “Aku minta maaf, tapi—”

Srek!!!

Ia merobek ujung kain gaun pengantinnya dengan keras, membuat suara kain robek menggema di lorong sepi itu.

Pria itu menatapnya dengan tatapan tak percaya, tapi Aruna tak peduli. Ia berlutut di hadapannya dan menekan robekan kain itu ke luka di pahanya dengan kuat. “Kau harus tahan, ya. Aku tahu ini sakit, tapi kalau tidak, darahmu bisa makin banyak keluar.”

Pria itu mendesis pelan, menahan sakit, namun matanya tidak lepas dari wajah Aruna.

“Kau…” suaranya serak, “…tidak takut aku orang jahat?”

Aruna menatapnya cepat. “Kalau kau jahat, kau pasti sudah menyerangku dari tadi. Sekarang diam saja, aku lagi nolongin kamu!”

Nada suaranya tegas, tapi gemetar. Ia menatap darah yang menembus kain putih itu, lalu menekan lebih kuat. “Astaga, kenapa kau bisa begini? Apa ada yang menyerangmu?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Napasnya berat, tapi tatapan matanya kini berubah — bukan lagi dingin, tapi seperti menilai sesuatu di wajah Aruna.

Setelah beberapa detik, barulah ia berbisik pelan, “Jangan panggil siapa pun.”

Aruna menatapnya bingung. “Apa? Kau bercanda? Aku harus panggil dokter atau—”

“Jangan.” Suaranya sedikit lebih keras, tapi tetap lemah. “Percayalah, Nona Surya… kalau mereka tahu aku di sini, kau juga akan dalam bahaya.”

Jantung Aruna seolah berhenti. “Kau… tahu namaku?”

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!