Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 7
Sore itu, saat semua anak mulai bersiap pulang, Axel sudah lebih dulu berdiri di tempat parkir dengan wajah dingin.
Tangannya menyelip di saku, tatapannya tajam menunggu seseorang.
Kayla yang ditemani Salsa berjalan santai menuju motor. Ia hanya diam, tak bicara apa-apa, lalu segera mengenakan helmnya.
Udara sore yang lembab tak mampu meredakan ketegangan yang tiba-tiba tercipta ketika Axel bersuara.
“Nih gue balikin seratus lima puluh. Jangan datang lagi ke rumah gue,” ucapnya ketus sambil melemparkan uang itu ke arah Kayla.
Kayla mendengus, menarik ujung bibirnya dengan sinis. “Dih, ogah. Lu ambil. Dua ratus, balikin dua ratus lagi.” Suaranya tegas, sambil naik ke motornya.
Axel mendadak gelagapan, wajah dinginnya sedikit goyah. “Anggap gue minjem…” ucapnya setengah malu.
Kayla menoleh, matanya membulat penuh ejekan. “Apaaa? Seorang Axel minjem uang sama gue? Nggak salah tuh?” Ia cengengesan, disambut tawa renyah Salsa.
Mata Axel menyipit. “Diem lo! Terima nggak ini? Pegel tangan gue!” hardiknya kesal.
Kayla menyambar uang itu asal, lalu mengibaskan tangannya seolah remeh. “Gue ambil. Tapi lu punya hutang sama gue. Kalau nggak bayar, gue tagih ke Bu Ami!” ucapnya sambil langsung memacu motornya kencang meninggalkan Axel.
“Brengsek…” Axel mengumpat pelan, rahangnya mengeras menahan malu.
~~°°°°°°°°°~~
Keesokan harinya, menjelang sore, sebuah mobil putih sudah terparkir di depan rumah Kayla.
Anya berdiri santai bersandar di pintu mobilnya, kacamata hitam bertengger di atas kepala.
“Lo yakin nggak ikut naik mobil, Kay?” tanyanya sambil melipat tangan.
Kayla mengikat rambutnya cepat-cepat, lalu memasukkan tenda ke bagasi mobil Anya. “Nggak. Gue lagi pengen motoran.”
Anya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis. “Ya udah, kita duluan ya.”
“Iya, hati-hati,” jawab Kayla sambil melambaikan tangan.
Tak lama, suara mesin motor terdengar. Revan muncul dengan senyum khasnya. “Udah siap?”
tanyanya sambil menyalakan rokok.
“Udah, barang udah naik mobil. Jadi kita nggak bawa apa-apa, Van.” Kayla terkekeh geli.
“Bentar, nunggu si Romi dulu,” ucap Revan sambil duduk di atas motor Kayla dengan santai, kepulan asap rokok mengepul di udara.
Tak lama Romi datang bersama pacarnya, membuat rombongan itu akhirnya berangkat.
Di perjalanan, angin sore menampar wajah Kayla yang duduk di belakang Revan. Ia memeluk erat pinggang cowok itu, dagunya menempel manja di bahu Revan.
“Kok lo nggak naik mobil, Kay?” tanya Revan sambil melirik sedikit.
“Males. Gue lagi pengen naik motor bareng lo,” jawab Kayla jujur, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin.
Beberapa menit kemudian, suara raungan motor sport terdengar. Rombongan lain melintas cepat, membuat Revan sedikit menurunkan kecepatannya.
“Anjir, geng si Axel juga main, Kay…” gumam Revan.
Kayla mendengus. “Bodo amat, asal jangan di tempat yang sama aja.”
Namun, tak lama, salah satu motor merapat. Putra, dengan helm full face, membuka kacanya dan melirik Kayla.
“Kay, bareng aja ikut rombongan,” ucapnya sambil memberi kode.
Kayla mengangguk kecil, tersenyum basa-basi.
Revan melirik sekilas. “Gimana? Mau bareng?”
Kayla menarik napas, lalu menggeleng. “Nggak tau… males gue ketemu si Axel.”
“Terus yang barusan siapa?” tanya Revan penasaran.
“Dia suka sama gue, tapi gue males, Van. Dia satu geng sama Axel,” jawab Kayla cuek.
“Ouh, gitu…” Revan menggumam pendek, lalu melajukan motor lebih cepat.
Setelah beberapa jam, mereka berhenti di sebuah warung pinggir jalan. Kayla turun sambil merenggangkan badan.
“Lo mau jajan, Van?” tanya Kayla.
Revan menyeringai malu. “Malu anjir… gue dijajanin lo mulu.”
“Sejak kapan lo malu, Van? Kan udah biasa kali, dari kecil,” sahut Kayla sambil ngakak.
Revan menunduk, menggaruk tengkuk. “Tar gue sukses, gue ganti, Kay.”
“Anjir, santai aja. Nggak usah diganti, kayak sama siapa aja,” balas Kayla sambil menepuk pundaknya.
Mereka pun duduk di kursi kayu warung itu, menikmati cuangki panas.
Namun, ketenangan itu buyar saat suara knalpot rombongan Axel ikut berhenti di warung yang sama.
“Anjir! Dari sekian banyak jongko, kenapa harus mampir di sini juga…” Kayla mendengus kesal.
Revan hanya menepuk punggung Kayla santai. “Udah, jangan dilihatin.”
Tak lama, Putra menghampiri mereka dengan senyum ramah. “Hay.”
“Hay. Mau pada kemana?” tanya Kayla.
“Upas. Lo kemana?”
Kayla langsung menepuk jidatnya. “Sama.” Jawabnya singkat, malas.
“Oh, kebetulan dong. Dia siapa?” tanya Putra sambil menunjuk Revan.
“Kakak gue,” jawab Kayla cepat.
Putra tersenyum, lalu menjulurkan tangannya. Saat berjabat tangan dengan Revan, ia mendekat ke telinga Kayla, berbisik nakal, “Kakak kok pelukan…”
Kayla menatap tajam, lalu menjawab ketus, “Kakak ketemu gede. Puas lo?”
“Ish, jangan ngambek dong,” Putra terkekeh.
“Udah dibayar belum jajanannya? Gue bayarin deh,” tawar Putra.
“Ngga usah, udah kok.” Kayla memaksakan senyum.
“Naik motor gue yuk, Kay. Ke atasnya sekalian,” ucap Putra dengan senyum menggoda.
Kayla melirik Revan.
“Terserah lo,” jawab Revan santai, menghembuskan asap rokok.
“Lo ngikutin dari belakang, kan, Van?” Kayla memastikan.
“Siap.” Revan mengangguk.
Kayla pun akhirnya naik motor Putra, sementara Axel menghampiri Revan dan Romi lalu mengobrol.
Beberapa menit kemudian, mereka semua bersiap melanjutkan perjalanan.
Di atas motor, Kayla mengeluh. “Males gue naik motor gini…”
Putra tertawa kecil. “Keren, Kay. Lo nggak tau aja.”
Kayla menepuk bahunya, kesal. “Bukan nggak tau, pegel, bjir.”
Mereka pun melaju kembali, sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Putra turun sambil tersenyum lebar.
“Jangan jauh ya, Kay."
“Gue ada tenda sendiri. Nggak tau Anya di mana bangunnya.” Kayla langsung melangkah pergi, mencari rombongannya.
Bersama Revan, ia akhirnya menemukan Anya dan yang lainnya setelah cukup lama berkeliling.