NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TANDA MERAH DI LEHER

Erina mencoba bersikap biasa saja meskipun sejujurnya hatinya panas.

"Mereka ternyata main api dibelakangku. Sejak kapan? Aargghh, sialan! Aku membawa racun ke dalam rumahku sendiri. Aku ingin memaki dan mengusirnya, tapi aku masih butuh Kemala. Dia ATM berjalanku. Mana duit abis, ahh sialan!"

Wanita itu terus bergerutu, ia memandang Kemala dan Tama yang sarapan seperti biasa. Obrolan mereka pun terlihat biasa saja, namun entah mengapa bayang-bayang ciu-man mereka tadi begitu membekas di ingatan. Begitu panas dan berhas-rat.

"Aku pikir dia gadis kampung yang lugu, tapi ternyata dia gak bisa diremehkan. Secepatnya, aku harus ambil alih aset milik gadis itu, kemudian membuangnya bagai sampai," gumam Erina seraya menatap Kemala. Dia menunjukkan senyum manis, namun di hatinya, tersimpan rencana busuk.

"Aku ikut ke cafe ya, Mas," ucap Erina tiba-tiba.

Tama mengerutkan keningnya. "Tumben?"

"Yah, Bosen aja. Lagian aku bisa sekaligus jagain kamu," ucapnya menyindir.

Kemala yang sedang mengunyah itu tersenyum tipis.

"Kayak anak kecil aja harus dijagain, Tan."

Erina memaksakan senyumnya, ia tidak boleh menunjukkan jika dirinya sedang dilanda api cemburu.

"Kamu berangkat sama pulang sendiri kan? Hati-hati ya! Jaga diri baik-baik, jangan sampai jadi anak nakal. Ini di kota lho, harus pandai dalam memilih pergaulan," ujarnya.

Kemala membalas dengan senyuman. "Iya, Tante.

Tenang saja. Aku cukup menjaga diri di luaran sana.

temanku cewek semua, tenang aja," ucap Kemala santai.

Dalam hati Kemala membatin. 'Ya, aku memang bisa jaga diri di luaran, tapi tak tahu kalau di dalam rumah.

Habisnya, suami Tante menggoda sih.' Kemala mengulum senyumnya, matanya melirik ke arah Tama. Keduanya saling melempar senyum, seolah ada isyarat dibalik senyuman itu. Dan Erina menyadarinya.

Malam menelusup dengan udara yang tak begitu sejuk, tapi kamar utama terasa lebih dingin dari biasanya.

Bukan karena pendingin ruangan, melainkan karena suasana yang menegang di antara dua insan yang tidur di ranjang yang sama, tapi hatinya sudah terpaut ke arah yang berbeda.

Erina duduk di tepi ranjang, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ada keraguan yang bermain di matanya, namun juga ada nyala api yang mulai membesar dalam dada. Sementara Tama duduk di sisi lain, membuka

Kausnya dan bersiap untuk tidur, seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun malam ini, Erina tak ingin lagi berpura-pura.

"Mas..." panggil Erina lirih, namun cukup untuk membuat Tama menoleh.

"Hm?" balas Tama santai, menaruh kaus di gantungan dan berjalan ke arah tempat tidur.

Erina menarik napas dalam. "Aku mau minta sesuatu."

Tama menaikkan alis. "Apa?"

"Jangan dekat-dekat lagi sama Kemala."

Seketika suasana kamar seolah ditarik oleh pusaran angin dingin. Tama yang semula santai, kini menoleh penuh tatapan waspada. "Apa maksudmu?" tanyanya datar.

Erina menatap suaminya penuh harap, meski hatinya mulai terasa nyeri. "Aku tahu kalian semakin dekat. Kalian terlihat akrab, tapi tidak wajar. Aku bukan bodoh, Mas. Aku perhatikan caramu menatap dia... caranya bicara ke kamu. Kalian benar-benar membuatku muak!"

Tama menghela napas perlahan, lalu duduk di sisi ranjang, menyandarkan punggungnya di headboard.

"Bukankah dulu kamu yang bilang aku harus perhatian padanya?" tanyanya, suaranya tenang tapi ada nada mengejek yang samar.

"Iya, Mas. Dulu aku memang bilang begitu... Aku pikir itu cuma perhatian biasa. Tapi sekarang, semua ini nggak wajar lagi. Mas pikir aku nggak tahu kalau kalian

"Kita kenapa, Rin?" potong Tama cepat. "Apa kamu mau bilang aku selingkuh sama keponakan sendiri?"

Erina menggigit bibir bawahnya. Ingin ia mengatakan iya, namun lidahnya kelu. Mengatakan hal itu hanya akan menjadi pertengkaran mereka. Dan jika Tama mengadukan hal ini pada Kemala, khawatir gadis itu akan keluar dari rumah ini. Bisa-bisa rencana untuk menguasai aset warisan milik Kemala gagal begitu saja.

Untuk sementara waktu, ia harus berpura-pura.

Seolah ia tak melihat apa yang terjadi semalam, meskipun sakit rasanya.

"Kemala itu tanggung jawabku, Rin. Kamu tahu sendiri siapa dia. Kamu juga yang bawa dia ke sini, kamu yang minta aku jaga dia. Sekarang kamu ngelarang?."

"Mas! Aku tahu itu. Aku memang yang menyuruhmu perhatian padanya, tapi bukan yang seperti ini. Dia masih muda, polos, dia keponakanku-"

Tawa dingin Tama membungkam Erina. Pria itu menoleh perlahan, mata tajamnya menusuk dalam.

"Polos? Kamu yakin dia polos? Atau jangan-jangan kamu takut dia lebih cerdas dari kamu?" ujar Tama sinis.

Erina tercekat.

"Kalau kamu mau mengusirnya, silakan," lanjut Tama. "Tapi rencanamu untuk menguasai hartanya, sepertinya cuma akan jadi angan-angan."

Wajah Erina pucat. Ia tak menyangka Tama akan sefrontal ini. Matanya membelalak.

"A... apa maksudmu, Mas?" tanyanya gugup.

"Ya, usir saja. Suruh dia pergi. Gampang kan? Tapi kita gak bakal dapat apa-apa," ujarnya santai, membuat Erina dilema.

"Ta-tapi, Mas..."

Diam. Hening menusuk.

"Ya Tuhan..." bisik Erina. Air matanya mulai tumpah.

"Mas nggak bisa melakukan ini ke aku. Aku gak mungkin ngusir Kemala. Aku cuman minta kamu jauhin dia. Mulai sekarang biar aku saja yang memperhatikannya," ucap Erina memelas.

Tama mendekat. Tatapannya seperti bara yang siap membakar.

"Kamu yang membawanya kemari. Apapun yang terjadi, kamu harus tanggung konsekuensinya. Fokus saja dengan tujuanmu. Bukankah kamu menginginkan hartanya? Tapi, aku tidak yakin jika Kemala bisa dikelabui begitu saja. Dia nggak bisa diremehkan."

Erina terdiam. Kata-kata Tama barusan bukan menenangkan apalagi memberi solusi, pria itu seolah menakutinya. Erina merasa sikap Tama semakin berubah.

Pria yang dulu begitu lembut dan selalu bersikap manis saat berduaan itu, kini terlihat jutek.

Dan hal tak terduga saat Tama berjalan ke arah lemari, mengambil bantal dan selimut tipis.

"Aku tidur di ruang tengah," ucapnya pendek.

Erina menoleh cepat. "Mas, jangan! Kok kamu gak tidur di kamar sih? Mas, kita belum selesai bicara!"

Tama menoleh dengan senyum tipis yang penuh ironi.

"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kemala tidak akan ada di rumah ini jika bukan kamu yang memintanya. Dan jika sekarang kamu minta aku jauhin dia, rasanya sudah terlambat!"

Tama meninggalkan kamar Erina. Pintu tertutup dengan dentuman ringan. Tapi cukup keras untuk membuat hati Erina remuk.

Di kamar yang tiba-tiba sunyi, hanya ada isak tangis wanita yang dulu merasa menguasai segalanya. Kini, ia terperangkap dalam permainan licik yang perlahan-lahan membalikkan keadaan. Dan yang lebih menyakitkan, ia kalah sebelum sempat menyadari siapa lawan sejatinyanya.

Kemala bukan gadis kampung yang bisa diremehkan.

Dan Erina telah membawa racun ke dalam rumah tangganya sendiri.

Pagi itu matahari bersinar hangat, namun suasana di

Rumah terasa jauh dari hangat. Erina bangun dalam kondisi mata sembab. Ia duduk di ranjang sendirian. Ponselnya tergeletak di meja nakas, pesan-pesan dari Yudha masuk semalaman, namun tak satupun dibalas. Entah mengapa, sekarang ia mulai merasa Yudha pun tidak sehebat bayangannya.

Tama, seperti biasa, sudah tidak ada di rumah sejak subuh. Pria itu mengirim pesan singkat saja:

"Aku ke cafe."

Datar. Hambar. Tanpa embel-embel "Sayang" seperti dulu.

Erina tahu, semuanya mulai berubah. Dan yang membuatnya semakin resah, bukan hanya hubungan pernikahannya yang retak. Tapi juga satu hal: Kemala. Gadis yang dulu ia remehkan, kini perlahan menjadi ancaman nyata.

"Aku harus gimana? Mengusirnya dan tak mendapatkan apa-apa, atau mempertahankannya tapi dia dan Tama..."

"Aargghh!! Gadis kampung sialan!"

Di tempat lain, Tama duduk di kursi pojok cafe yang belum dibuka. Di depannya, Kemala dengan rambut digelung rapi, mengenakan blouse putih dan celana high-waist warna cokelat. Penampilannya makin anggun. Aura berkelas yang kini jauh dari penampilan Erina, tantenya

Yang selalu tampil modis.

"Dia mulai curiga ya?" tanyanya kemudian.

Tama mengangguk pelan. "Dia udah langsung bilang tadi malam, minta aku jauhin kamu."

Kemala tersenyum kecil. "Terlambat," bisiknya pelan, tajam.

Tama mengamati wajah gadis itu dalam-dalam.

dan kikuk, kini berubah menjadi wanita penuh strategi.

yang kuat.

Rasanya sulit dipercaya, gadis yang awalnya tampak polos Mereka berdua bukan lagi seperti Om dan keponakan. Hubungan mereka sudah melampaui batas-bukan hanya secara perasaan, tapi juga dalam ikatan persekongkolan

Kemala menyandarkan punggung ke kursi, matanya menatap jauh ke luar jendela. "Aku udah hancur sejak dia pertama kali mencoba mengontrol hidupku. Dia membohongiku dan berniat merebut hartaku, manipulasi semua rekening, bahkan berusaha menyulap diriku jadi boneka. Aku nggak bisa maafin itu."

"Dia juga takut kehilangan segalanya. Termasuk aku," gumam Tama, tak menatap Kemala.

Kemala tertawa kecil. "Tante Erina udah kehilangan sejak lama, Om. Dia cuma belum sadar."

Tama akhirnya menoleh. Tatapan mereka bertemu.

Diam. Tapi dalam diam itu, ada sumpah tak terucap. Misi mereka sudah satu: menjatuhkan Erina. Bukan karena

Cinta semata. Tapi karena pengkhianatan dan kerakusan wanita itu tak bisa dibiarkan begitu saja.

"Mari lanjutkan, kali ini harus lebih berani. Erina terlihat frustasi semalam. Kamu bisa membuat lebih dari itu," ucap Tama tenang.

Kemala tersenyum puas. "Aku berubah karena dia. Dan aku bisa lebih licik," bisik Kemala.

Sore hari, Erina di rumah seorang diri. Ia mencoba memasak untuk menyambut Tama yang katanya akan pulang malam ini. Tapi entah mengapa, ia merasa seperti ibu rumah tangga murahan yang berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah tidak bisa diselamatkan.

Beberapa kali Yudha menghubungi, namun Erina sengaja tidak angkat. Bukan karena tidak rindu, namun selain pikirannya yang sedang kacau, ia juga pusing karena Yudha terus saja minta uang.

"Sudah tahu aku belum bisa ngambil uang si Kemala, sudah minta-minta lagi aja!" gerutu Erina kesal.

Ponselnya terus berdering. Takut jika lama-lama kekasih gelapnya itu marah, ia pun akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

Erina menghela napas. "Iya, Beib?"

"Aku nunggu kamu di tempat biasa."

"Kamu gila? Aku belum bisa keluar sekarang."

"Aku udah capek nunggu. Kamu bilang semua bakal selesai. Katanya mau liburan, kapan?"

Erina menahan emosi. "Jangan sekarang. Aku lagi susah. Kemala mulai berubah."

"Aku perhatiin tuh anak dari awal. Dia gak sebodoh yang kamu pikir. Hati-hati, Rin. Bisa-bisa, kamu yang dipermainkan sekarang. Tapi kamu itu pintar, kamu harus bisa menguasai asetnya secepatnya. Aku gak mau tahu, minggu ini kamu harus transfer lagi ya!"

Klik. Yudha memutus panggilan.

Erina menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Untuk pertama kalinya, ia merasa takut.

Ada yang tak beres.

Dan saat itu juga, ia mendengar suara mobil memasuki halaman.

Tama pulang.

Ia buru-buru memperbaiki penampilannya, mencoba menyambut seperti istri baik-baik. Tapi wajah Tama tetap datar. Tidak marah, tidak hangat. Hanya datar.

Mereka duduk makan malam berdua. Sunyi. Seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu rumah.

Seharusnya malam ini Erina bisa bermesraan dan menikmati makan malam romantis dengan suaminya mumpung Kemala belum pulang. Tapi, Tama terus menunjukkan wajah datar.

"Mas dari cafe?" tanya Erina basa-basi.

Tama mengangguk.

"Cafe lancar?"

"Lancar."

"Mas... malam ini tidur di kamar, ya?"

Tama berhenti mengunyah. Ia menatap istrinya.

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung asal kamu tidak membuatku kesal lagi!"

Erina menggigit bibirnya. Perutnya tiba-tiba mual.

Kepalanya berat. Ia tak bisa berkata-kata.

"Sssttt... Ahhhh!!"

Suara de-sah terdengar lembut. Bukan dari kamar utama yang ditempati Tama dan Erina, melainkan dari kamar Kemala.

Ya, Kemala dan Tama saat ini berdua dalam gelora yang berbahaya.

"Bagaimana, enak?" tanya Tama, tangan nakalnya kini memainkan ujung boba milik Kemala dari belakang. Keduanya berdiri, Tama berada di belakang Kemala.

Awalnya mereka hanya berci-uman, namun lama-kelamaan, keduanya tak bisa mengendalikan.

Malam telah larut, rumah sunyi dalam balutan pekat

Yang menekan. Di dalam kamar bercat pastel lembut itu, lampu tidur menyala temaram.

"Hentikan, Om. Aahhh!"

Tama langsung berhenti. Ia tersenyum kemudian membalikkan tubuh Kemala.

Tama menatap gadis itu, berdiri di hadapannya dengan tatapan yang tak bisa ditebak. Aura maskulinnya mendominasi ruangan, seperti gelombang yang menyapu habis semua batas antara sadar dan terlena. Ia membungkuk pelan, tangannya menyentuh dagu Kemala, mengangkatnya untuk menatap matanya.

"Kamu tahu kamu cantik, 'kan? Kamu terlalu menggoda," bisik Tama pelan, suaranya berat dan dalam.

Kemala hanya mampu menggigit bibir. Tubuhnya seperti lumpuh. Ia tahu ini salah. Tapi ia juga tahu, sejak awal, dirinya tidak pernah benar-benar ingin menjauh dari pria itu. Bahkan sejak mereka mulai 'bermain api,' dirinya tidak lagi mampu membedakan mana batas moral dan mana yang hanya topeng.

Tama membungkuk lagi, bibirnya nyaris menyentuh kulit leher Kemala. De-sah napasnya menggoda.

Jemarinya menjalar ke belakang leher gadis itu, memicu semburat dingin yang menjalari punggungnya. Lalu ia mengecup pelan bagian leher kiri Kemala, meng*lum sebentar, menggigit manja.

Kemala meringis, tangannya mencengkeram punggung pria itu, sementara matanya terpejam,

Menikmati sesuatu yang lebih li ar dari sebuah ciu -man.

Dirinya terperangkap.

Tama kembali menatapnya. Senyum miring terpeta di wajah pria itu. Ia tahu, ia tak akan melangkah lebih jauh malam ini. Tidak. Ia masih punya kontrol.

"Cukup untuk malam ini," bisiknya, lalu berbalik menuju pintu.

Sebelum keluar, ia menoleh dan berkata, "Jangan ditutup, biar yang di leher itu kelihatan. Biar dia tahu, siapa yang sekarang aku pilih."

Kemala hanya bisa terdiam, menunduk. Wajahnya memanas, bukan karena malu, tapi karena permainan ini baru saja dimulai. Dan dia, adalah pion yang kini naik tahta menjadi ratu.

Tama keluar dari kamar dengan langkah santai dan senyum puas di wajahnya. Sementara Kemala menatap dirinya dari pantulan cermin. Tangannya menyentuh tanda merah yang begitu mencolok.

"Dasar nakal," gumamnya sambil tersenyum.

Pagi harinya, Erina menuruni anak tangga dengan langkah malas. Rambutnya masih acak-acakan, dan wajahnya penuh kekesalan yang belum tuntas. Saat hendak menuju dapur, matanya tertuju pada sosok Kemala yang sedang duduk santai di ruang makan, menikmati sarapan lengkap dengan roti panggang, telur, dan jus jeruk.

Erina memperhatikan Kemala dengan seksama.

Pandangannya membidik satu titik di leher gadis itu-sebuah bekas merah keunguan yang sangat mencolok.

Alis Erina langsung naik. "Mala, itu di leher kamu... apa?"

Kemala menoleh pelan, seolah tak peduli. "Oh, ini?

Nyamuk, Tan. Tadi malam mungkin kebanyakan nyamuk masuk kamar."

"Nyamuk?" Erina memicingkan mata. "Nyamuk sekarang bisa gigit sampai bentuknya kayak cup4ng?"

Kemala hanya tersenyum simpul. "Namanya juga nyamuk kota, Tan. Ganas-ganas."

Erina menelan ludah. Dadanya mendidih. Tapi ia menahan diri. Ia merasa dipermainkan di rumahnya sendiri. Namun hari itu, ia butuh sesuatu. Uang.

Erina sadarjika dirinya berkhianat, namun ia sendiri tidak ingin dikhianati. Ia harus cari cara supaya bisa memisahkan Tama dengan Kemala secepatnya.

Setelah beberapa detik menenangkan diri, Erina memasang wajah paling lembut yang bisa ia bentuk. Ia duduk di seberang Kemala.

"Mala... Tante mau ngomong sebentar."

Kemala melirik sekilas, lalu meletakkan gelas jusnya.

"Ehm... Tante butuh uang," Erina mengusap tangannya sendiri, berusaha terlihat memelas. "Tante mau bayar arisan. Tapi Mang Asep bilang kamu udah ambil sendiri uang yang biasanya Tante minta."

Kemala mengangguk pelan. "Iya, Tan. Aku minta langsung. Soalnya aku pengen mandiri. Semua pemasukan peternakan dan kebun sekarang aku kelola sendiri."

"Tapi... kamu kan bisa tetap kasih Tante," suara Erina mulai sedikit tinggi.

Kemala tersenyum. Tapi senyum itu bukan lagi milik keponakan yang patuh. Itu adalah senyum wanita yang tahu bahwa ia kini berkuasa.

"Memangnya kenapa, Tan? Kebutuhan rumah sudah aku penuhi semua kok. Belanja dapur buat sebulan, aku udah penuhi isi kulkas. Listrik dan air juga udah aku bayar. Tante tinggal duduk manis aja."

Erina terdiam. Hatinya mendidih. Tapi senyumnya tetap bertahan.

"Iya, Mala. Tante ngerti. Tapi... kali ini beda. Tante benar-benar butuh. Cuma 20 juta aja kok," ucap Erina sambil menunduk, berbohong tanpa rasa malu.

Kemala mendongak, menaikkan satu alis. "20 juta buat arisan?"

Erina menggigit bibir. "Iya... Ehm, Tante belum bayar yang bulan kemarin juga soalnya."

"Ngomong apa, Tan?"

Kemala pura-pura berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Maaf ya, Tan. Aku lagi banyak pengeluaran juga. Minggu ini aku dan teman-teman kampus mau touring. Biayanya lumayan."

"Tapi-"

"Lagi pula," potong Kemala dengan suara tenang namun menusuk, "aku juga nggak bisa terus-terusan ambil uang dari Mang Asep. Gaji karyawan harus dibayar, pakan ternak naik, perawatan kebun, banyak banget yang harus diatur. Aku nggak bisa pakai uang semaunya."

Erina nyaris melempar piring. Tapi ia menahan diri.

Bibirnya gemetar.

"Kamu tega sama Tante kamu sendiri?"

Kemala berdiri, mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja makan. Ia merapikan kaca mata hitamnya, lalu menatap Erina dengan angkuh.

"Bukan tega atau nggak, Tan. Aku cuma belajar jadi cerdas. Aku gak boleh boros dan seenaknya pake uang ternak atau kebun peninggalan bapak," katanya sambil melirik ke arah foto keluarga yang tergantung di dinding, tepat di atas kepala Erina.

Erina nyaris kehilangan akal.

Dengan santai, Kemala membuka pintu, melangkah keluar menuju mobil barunya. Mesin mobil menyala dan dalam sekejap melaju meninggalkan halaman.

Erina berdiri kaku di depan pintu, wajahnya merah

Padam, giginya bergemelutuk. Tangannya mengepal.

"Dasar anak kurang ajar...! Dia pikir dia siapa?!

Aargghh, gagal total! Gimana aku ngomongnya sama Yudha!" pekik Erina, mengusap wajahnya frustasi.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!