Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kenangan Yang Hilang
"Rumahmu deket sini kah?" tanya Ferdi, memecah suasana sambil memainkan sendok di gelas tehnya.
Hina tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ferdi sejenak, lalu menghela napas pendek sambil menyendok nasi dan sedikit sambal ke piringnya.
"Padahal rumahku persis di belakang rumahmu," ucapnya akhirnya, santai namun cukup untuk membuat Ferdi menghentikan kunyahannya.
"Eh, serius?" Ferdi menatapnya dengan dahi berkerut.
Hina mengangguk pelan, senyum geli muncul di wajahnya. "Iya. Tapi ya wajar sih kamu nggak tau. Soalnya kamu itu... anti sosial banget sama tetangga."
Ferdi tertawa kering. "Yah, maaf. Aku emang jarang keluar rumah, apalagi ke lorong belakang."
"Padahal kalo kamu lewat pagar belakang doang, cuma sepuluh langkah udah nyampe ke rumahku."
"Jadi... dari kapan kamu tau rumahku?" Ferdi sedikit menyipitkan mata, setengah bercanda tapi juga agak curiga.
"Udah lama. Soalnya dulu pas kamu kecil, kamu pernah main ke rumahku." Hina menyeringai kecil sambil memindahkan sepotong lele ke piring Ferdi.
"Apa? Serius?" Ferdi mematung.
"Iya. Tapi abis itu kamu jatuh waktu main dan nangis, terus gak pernah muncul lagi. Dasar cupu," goda Hina.
"Ya ampun... kenapa memori-memori memalukanku harus ada arsipnya di kepala lo sih?"
Hina terkekeh. "Karena itu lucu. Dan kamu yang sekarang kelihatan beda banget. Tapi... masih ada sisa Ferdi kecil yang gampang kikuk juga sih."
Ferdi masih menatap Hina dengan alis terangkat. "Tapi... aku baru pindah ke rumah itu pas masuk SMP, loh."
Hina berhenti sebentar, lalu tersenyum samar. "Iya, aku tau."
Ferdi semakin bingung. "Lah... terus tadi lo bilang aku pernah main ke rumah lo waktu kecil. Itu gimana ceritanya?"
Hina mengaduk nasinya pelan. "Oh... iya ya. Mungkin aku salah orang." Senyumnya agak canggung kali ini. "Maaf, mungkin mukamu mirip seseorang yang dulu aku kenal."
Ferdi masih merasa aneh. Ada yang terasa janggal dengan caranya Hina bicara, atau mungkin nada suaranya yang tiba-tiba berubah jadi datar.
Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya, benarkah itu cuma salah ingat? Atau ada hal lain yang belum diceritakan?
Namun, malam itu, ia memilih diam. Tak ingin mengusik terlalu dalam. Setidaknya, untuk sekarang... dia hanya ingin makan dalam damai, dengan seseorang yang tidak menuntut apapun darinya.
.
.
.
"Ini Neng pesenannya," ucap si penjual sambil meletakkan plastik hitam di atas meja Ferdi dan Hina. Di dalamnya tampak bungkus nasi dan lauk pesanan Hina.
"Ah iya, makasih ya, Bu," balas Hina dengan senyum ramah, lalu meraih plastik itu dan meletakkannya di samping duduknya.
Ferdi menoleh, menatap Hina dengan heran. "Mau langsung pulang?"
Hina tidak langsung menjawab. Ia justru memegang dagunya, pura-pura berpikir serius. Tatapannya mengarah ke Ferdi yang masih belum menghabiskan makanannya.
Kemudian ia menoleh dan tersenyum manis. "Nunggu kamu udah makan aja."
Ferdi sempat terdiam. Dia bisa saja menyuruh Hina pulang duluan, atau bersikap cuek seperti biasanya. Tapi entah kenapa, malam itu, hatinya terasa sedikit lebih hangat karena seseorang memilih untuk tetap di situ… hanya untuk menemaninya makan.
"Yaudah, bentar lagi juga kelar," ujarnya pelan, lalu melanjutkan makannya tanpa menoleh lagi, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.
.
.
.
Setelah Ferdi menghabiskan suapan terakhirnya dan menyeruput sisa teh hangat di gelas, ia pun berdiri. Hina yang duduk tak jauh darinya, langsung ikut bangkit sambil merapikan plastik hitam bawaannya.
"Yuk pulang," kata Ferdi singkat, berjalan lebih dulu.
Hina mengikuti di sampingnya. Suasana malam terasa tenang, jalanan tidak terlalu ramai. Lampu jalan menyinari trotoar tempat mereka berjalan berdua.
Beberapa langkah dalam diam, Ferdi akhirnya buka suara.
"Oh iya... kamu udah kelar baca semua yang dipinjem kemarin?" tanyanya tanpa menoleh.
Hina melirik Ferdi. "Hmm... yang waktu itu kamu pinjemin?"
"Iya."
"Udah, dong. Tapi yah, kegantung gara-gara belum lihat lanjutannya," Hina tersenyum miring, mengingat adegan terakhir di komik itu.
Ferdi mengangguk pelan, lalu menoleh sedikit ke arahnya. "Kalau mau, aku punya lanjutannya."
"Oh? Serius?" Mata Hina berbinar sedikit, semangat.
"Besok aku bawain ke sekolah, kalau kamu mau."
"Ya! Mau banget!" jawab Hina tanpa ragu, langkah kakinya jadi terasa lebih ringan.
Mereka terus berjalan, langkah kaki mereka sejajar dalam sunyi yang tidak canggung. Angin malam terasa lembut, dan lampu-lampu kota menyinari wajah mereka yang tersenyum samar dalam damai.
Dan untuk sesaat... Ferdi merasa pikirannya sedikit lebih ringan.
Saat mereka sampai di pertigaan kecil dekat rumah Ferdi, langkah Hina melambat. Lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, membuat bayangan mereka jatuh panjang ke arah belakang.
"Aku lewat sini," ucap Hina sambil menunjuk lorong kecil di samping rumah Ferdi, gang sempit yang biasanya jarang dilalui.
Ferdi hanya mengangguk. "Oke. Hati-hati ya."
Hina tersenyum, melambaikan tangan sambil berjalan masuk ke lorong itu. Ferdi berdiri sebentar memandangi punggung gadis itu yang perlahan menjauh, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah ke rumahnya sendiri.
Sementara itu, Hina berhenti sejenak setelah belok ke dalam gang. Ia menarik napas pelan.
"Hampir aja aku salah ngomong," gumamnya pelan, satu tangannya menyentuh dada, seolah mencoba meredakan degup jantungnya.
Ia menoleh ke arah ujung lorong yang gelap, matanya menatap kosong.
"Jadi ingatanmu benar-benar hilang, ya..."
Diam beberapa detik, angin malam berhembus menyibakkan sedikit ujung rambut silvernya.
Hina kembali menatap ke depan, kali ini matanya lebih teduh... tapi ada sesuatu di sana. Rasa yang belum sempat diungkap, kenangan yang belum selesai.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melanjutkan langkahnya, meninggalkan lorong yang sunyi itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Aku pulang," ucap Hina sembari membuka pintu rumahnya. Suara decitan pintu terdengar pelan, disambut aroma masakan dari dapur.
"Oh, dah pulang. Gimana, ada lelenya?" terdengar suara wanita dari dapur.
"Ada kok, Ma. Masih anget, nih." Hina berjalan ke arah dapur dan meletakkan kantong plastik berisi lele goreng di atas meja.
Tak lama kemudian, suara pria terdengar dari ruang tengah. Suaranya serak namun hangat. "Kamu habis ketemu dia, ya?"
Hina menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke ruang tengah dengan dahi sedikit berkerut. "Kok Papa bisa tau?"
Sang ayah, duduk santai dengan koran yang belum sempat dibaca di pangkuannya, menoleh sambil tersenyum menggoda. "Dari wajahmu keliatan. Senyam-senyum sendiri gitu."
Hina langsung memutar bola matanya dan tertawa kecil, berusaha menutupi rasa malunya. "Ih, Papa! Ngasal deh..."
Ibunya ikut tertawa dari dapur. "Duh, anak gadis Mama udah gede aja ya... Dulu pas kecil suka banget main sama anak tetangga tuh, siapa namanya? Eh... siapa ya..."
"Ferdi," jawab Ayahnya duluan, masih dengan senyum di wajahnya.
Hina terdiam sejenak, senyum di wajahnya perlahan memudar... berganti dengan ekspresi campur aduk.
"Iya... Ferdi," ucapnya pelan.
Ibunya menoleh dari balik dinding dapur. "Dia sekarang masih tinggal di sebelah, ya?"
Hina mengangguk pelan, lalu berjalan ke kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Ayah dan Ibu hanya saling pandang sebentar, seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang belum selesai dalam diri putri mereka.
Sementara di dalam kamar, Hina membuka jendela dan duduk di ambangannya, menatap rumah Ferdi yang temaram di seberang lorong kecil.
"Kalau kamu ingat semua itu... apa kamu masih akan lihat aku dengan cara yang sama, Ferdi?"
Ucapnya dalam hati.
kayaknya bertambah saingannya