Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Di sekolah, Alya duduk diam di bangkunya. Pandangannya kosong menatap lurus ke arah papan tulis, seolah pikirannya melayang jauh. Di sebelahnya, Bagas sesekali melirik, memperhatikan raut wajah gadis itu yang diam-diam sudah berhasil mengisi hatinya.
Sejak pagi, tubuh Alya terasa aneh. Pusing yang sempat menyerang saat ia sarapan kini berganti menjadi kantuk yang luar biasa. Kelopak matanya terasa berat, membuatnya beberapa kali terpaksa menutup mulut dengan kedua tangan saat menguap.
Hingga akhirnya, ia tak kuasa lagi menahan rasa kantuk yang terus menyerang. Perlahan, kepalanya direbahkan di atas meja, dan dalam hitungan detik, Alya pun terlelap di tengah suasana kelas. Padahal, Miss Mira, guru bahasa Inggris yang terkenal killer, masih sibuk menerangkan pelajaran di depan.
Bagas panik melihatnya. Ia cepat-cepat menggoyang lengan Alya sambil berbisik.
“Al, jangan tidur. Kalau Miss Mira lihat, kamu bisa dihukum.”
Tapi Alya hanya bergumam setengah sadar. “Aku… ngantuk banget…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Dan benar saja, suara keras yang menggema di kelas sontak membangunkannya.
“Kalau mau tidur, jangan di sini!” suara Miss Mira terdengar tajam, membuat seluruh kelas menoleh ke arah Alya.
Dengan mata masih setengah terbuka, Alya buru-buru bangkit. “M-maaf, Miss…” ucapnya pelan.
“Maaf? Kamu pikir kelas ini hotel?” sindir Miss Mira dingin.
Alya menunduk, jantungnya berdegup kencang.
“Keluar! Berdiri di depan tiang bendera sampai pelajaran selesai!” perintah Miss Mira tanpa ampun.
“Tapi Miss…” Alya mencoba membela diri, namun langsung dipotong.
“Saya bilang keluar! Kamu tidak menghargai saya yang sedang mengajar.”
Mau tak mau, Alya melangkah keluar kelas dengan tubuh lemah. Pandangan murid-murid lain yang menyorotinya membuat dadanya semakin sesak. Sesampainya di lapangan, ia berdiri di depan tiang bendera sesuai perintah, meski rasa kantuknya masih sangat kuat.
Alya berdiri dengan tubuh lemah. Cahaya matahari pagi yang semakin terik membuat keringat bercucuran di pelipisnya. Pandangannya mulai berkunang-kunang, kepalanya terasa berat seakan dipenuhi beban tak kasat mata.
Tangannya yang berusaha mencengkeram besi tiang itu pun gemetar hebat. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak.
“Aku… kenapa…?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Beberapa kali ia mencoba mengedipkan mata, berusaha tetap sadar. Namun dunia di sekitarnya semakin lama semakin berputar. Suara riuh anak-anak yang sedang olahraga di lapangan pun terdengar sayup-sayup, makin jauh dari telinganya.
Tubuh Alya limbung. Dalam hitungan detik, lututnya hampir saja menyerah.
“Al!” sebuah suara memanggil dengan panik. Bagas yang sejak tadi mengintip dari balik jendela kelas langsung berlari keluar. Ia berhasil menangkap tubuh Alya tepat sebelum gadis itu benar-benar terjatuh.
“Alya! Hei, sadar!” Bagas menepuk pelan pipinya, cemas luar biasa.
Alya membuka mata samar-samar, melihat wajah Bagas yang begitu dekat dengannya. “Aku… pusing banget…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Bagas mengangkat tubuh Alya, menopangnya dengan kedua lengan. “Kamu nggak apa-apa, tenang aja. Aku bawa kamu ke UKS sekarang.”
Beberapa siswa di lapangan mulai berbisik-bisik, melihat Bagas yang menggendong Alya dengan wajah panik.
“Ada apa tuh?”
“Eh, itu Alya kenapa?”
Namun Bagas tidak peduli dengan tatapan mereka. Ia hanya fokus membawa Alya yang semakin lemah ke ruang UKS. Setiap langkah terasa menegangkan, karena ia bisa merasakan tubuh Alya semakin berat di pelukannya.
Sesampainya di UKS, ia segera membaringkan Alya di ranjang kecil. Perawat sekolah cepat menghampiri, memeriksa kondisi gadis itu.
“Dia sangat pucat,” ucap perawat serius. “Sepertinya kelelahan berat. Bisa juga karena kurang tidur atau masalah lain. Kita perlu memantau lebih lanjut.”
Bagas menggenggam tangan Alya yang dingin. Gadis itu hanya diam, matanya terpejam rapat, napasnya naik-turun tidak teratur.
...
Kelopak mata Alya perlahan bergerak, seolah berat untuk dibuka. Pandangannya buram pada awalnya, hanya cahaya lampu putih di langit-langit UKS yang terlihat berpendar. Butuh beberapa detik sampai bayangan di sekelilingnya menjadi jelas.
Ia menyadari dirinya tengah terbaring di atas ranjang kecil, dengan selimut tipis menutupi tubuh. Aroma obat-obatan yang khas menusuk hidungnya. Suasana sepi, hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak pelan.
Saat itu, pandangan Alya terhenti pada sosok Bagas yang duduk di kursi di samping ranjang. Wajahnya tampak serius, khawatir sekaligus lega ketika melihat Alya membuka mata.
“Al… kamu sudah sadar?” suara Bagas terdengar lirih namun penuh kelegaan.
Alya berusaha mengangguk, meski kepalanya masih terasa berat.
“Iya… aku… kenapa aku di sini?” tanyanya dengan suara lemah.
Bagas mencondongkan tubuh ke arahnya, menatap penuh perhatian.
“Kamu tadi pingsan di lapangan. Untung aku sempat menangkap kamu. Kalau nggak… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi.”
Alya terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku cuma… ngantuk banget. Sampai rasanya nggak bisa nahan.” Ia memejamkan mata sebentar, lalu membuka kembali.
“Kepalaku juga masih pusing.”
Bagas buru-buru menuangkan air putih dari gelas yang ada di meja kecil UKS, lalu menyodorkannya pada Alya.
“Minum dulu, biar agak segar.”
Dengan bantuan Bagas, Alya duduk perlahan, lalu meneguk air itu sedikit demi sedikit. Setelah itu ia bersandar lagi pada bantal, terlihat sangat lemah.
“Kayaknya aku nggak bisa lanjut belajar hari ini, Gas. Aku mau pulang aja. Nggak bisa fokus juga kalau kondisinya gini,” ucap Alya lirih.
Bagas menatapnya mantap. “Kalau begitu, biar aku yang antar kamu pulang."
Namun Alya menggeleng pelan. “Nggak usah. Aku nggak enak nyusahin kamu. Aku akan telpon seseorang untuk menjemput ku.”
Bagas sempat menatapnya lama, seakan ingin membantah. Namun akhirnya ia hanya menghela napas, membiarkan Alya meraih ponselnya. Jemarinya bergetar saat menekan nama Reihan. Ia menunggu dering sambil memeluk perutnya yang masih terasa nyeri.
Satu kali panggilan, tak ada jawaban. Kedua kalinya pun sama. Alya menggigit bibir, mencoba lagi untuk ketiga kali, namun tetap nihil. Ia menurunkan ponselnya, rasa kecewa perlahan merayapi wajahnya.
Bagas menatap Alya dengan iba. “Nggak ada yang angkat ya?” tanyanya hati-hati.
Alya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Iya…” Suaranya nyaris berbisik, menahan getir.
Melihat itu, Bagas menarik napas panjang. “Kalau gitu, jangan keras kepala. Aku antar kamu pulang sekarang juga. Daripada kamu pingsan lagi di jalan.”
Alya terdiam. Ia ingin menolak lagi, tapi tubuhnya benar-benar tak sanggup berdebat lebih jauh. Setelah menghela napas panjang, ia akhirnya mengangguk pelan.
Dengan hati-hati, Bagas membantu Alya bangkit dari ranjang UKS. Mereka berjalan keluar menuju parkiran, di mana motor butut Bagas terparkir.