Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (11)
Basa berlari dari rumah Paman Zai dengan tergersa-gesa meninggalkan Warta dan Zai yang nampaknya juga tidak mengejar dirinya. Dalam perjalanan kembali menuju desa, semua ingatan 7 tahun lalu saat terjadi kecelakaan mengerikan, kembali berputar di benak Basa. Pengelihatannya semakin buram karena air mata yang mulai menumpuk.
"Bagaimana bisa aku melupakan kejadian itu?!" kesal Basa kepada dirinya sendiri. Selain gagal menjaga sang adik, ia juga gagal menolong ibunya.
Sesampainya di desa, keadaan sepi tidak ada seorang pun yang terlihat. Dengan cepat Basa kembali berlari, ia pergi menuju rumah utama. Pintu rumah utama yang lebar ia banting, mengambil atensi semua orang di dalam. Semua warga berkumpul tanpa absen satu orang pun. Kakek Ahal, duduk di samping tempat robot Tilani diletakan.
Beberapa warga menunduk, ada juga yang memandang Basa iba dengan raut wajah sedih.
Kakek Ahal berdiri, tanganya terbuka lebar seolah menyambut kedatangan Basa. "Akhirnya kau kemari. Kurang lebih 16 percobaan telah kami lakukan untuk Putri Tilani, tapi gagal. Mungkin, kalau kau, sebagai Kakaknya yang melakukan. Semuanya akan berjalan lancar."
Dengan langkah yang menyentak kencang, Basa membelah kerumunan orang yang duduk di depannya. Ia berjalan dengan tegap, berdiri tepat di hadapan robot Tilani. Tangan kanannya menunjuk robot itu tanpa gentar.
"Makhluk ini hanya mesin ciptaan Ayah!" teriaknya dengan lantang.
Semua warga yang mendengar terkejut. Tidak sedikit juga dari mereka mempertanyakan kata 'mesin' yang terontar dari mulut Basa. Semua warga saling berbisik, mempertanyakan kejelasan.
Kakek Ahal geram bukan main, bola matanya melotot lebar, wajah Kakek memerah. Tangan kanan Kakek Ahal terangankat, dengan telunjuk yang bergetar menahan semua emosi, ia mengeluarkan satu perintah.
"Seret anak ini!"
Para warga terdiam dan menunduk semakin dalam. Tapi, kemudian, dua orang pria bangun dan berdiri di samping Basa. Dengan muka terpakasa dan penuh tekanan, keduanya menyeret Basa yang memberontak. Dibawanya Basa menuju sebuah rumah di ujung desa. Dari banyaknya bangunan mewah, hanya rumah dari bilik tipe 21 yang ada di hadapannya ini saja yang berbeda.
"Ikat baik-baik. Dia ini keponakannya Zai, pasti dapat kabur dengan mudah."
Setelah memastikan tangan dan kaki Basa terikat dengan sempurna, kedua orang itu meninggalkan Basa yang meringkuk di atas dinginnya tehel. Ia sendiri. Hanya ditemani dengan bau amis dan busuk yang menyeruak.
Mungkin karena pekatnya bau amis dan busuk, membuat Basa tidak sadarkan diri selama beberapa saat. Saat membuka mata, ia merasa seseorang sedang mengencangkan ikatan tali pada lengannya. Dengan cepat, Basa berusaha bangun. Sayang, ia lupa kalau kakinya juga terikat, membuat dirinya hilang keseimbangan membuatnya jatuh terduduk dikaki orang yang kini berada di belakangnya. Basa merasa orang itu memajukan tubuhnya, membuat Basa sontak memcondongkan badan kedepan lalu dengan cepat ia hempaskan tubuhnya kebelakang. Membuat wajah orang yang di belakangnya terbentur kepala Basa.
"Aww. Dasar bocah nakal!"
"Eh?" suara orang itu terdengan seperti Warta. Basa segera menyingkir dan menoleh kebelakang.
"Loh, orang hutan? kau sekongkol dengan mereka?" Kaget basa. Ia memandangi Warta yang sedang memegang hidungnya kasar.
"Paman seram yaang memberitaukan tempatmu." Abai dengan sara ngilu pada batang hidungnya. Tangan Warta terulur, berusaha membuka ikatan pada tangan dan kaki Basa.
"Paman seram bilang kita harus membawa robot Tilani ke tempatnya."
Berhasil membebaskan belenggu pada tubuh Basa, melihat keadaan di luar yang sepi keduanya segera pergi dari rumah bilik itu. Mereka menyelinap untuk memasuki rumah utama. Tidak ada warga terlihat, juga tidak ada Kakek Ahal di samping si robot. Warta dan Basa mendekati robot Tilani yang tersenyum kepada keduanya.
"Wahh, orang baru dan... Basa. Ada permasalahan yang bisa aku bantu?" tanya si robot dengan lembut.
Basa menunduk, tangan mungil yang tergantung di sisian tubuh itu ia kepal kuat-kuat hidngga bergetar. Warta memandang sedih Basa, tapi tidak ada waktu untuk merenung atau sekedar menenangkan, mereka harus cepat. Warta berjalan ke belakang robot Tilani. Rambut hitam panjang si robot yang terurai indah Warta angkat perlahan. Di bagian tengkuk, terdapat sebuah tombol bulat berwarna perak. Warta segera menekan tombol itu, mengikuti instruksi dari orang yang Zai temui.
"Sistem Non-aktif Semua data akan dicadangkan." kalimat terakhir dari robot Tilani sebelum robot itu menutup mata dan terkulai.
Warta mengangkat robot Tilani layaknya menggndong karung tepung.
"Ayo!" Warta berjalan lebih dulu menuju pintu keluar.
Beberapa kali Basa menarik napas panjang untuk menangkan diri. Ia harus bisa menguatkan hatinya dengan cepat. Ini kesempatan bagus karena sedang tidak ada warga yang terlihat. Semua berjalan lancar, bahkan gerbang desa tinggal beberapa meter di depan mereka.
"Penculik! Jangan kabur kalian!" teriakan Kakek Ahal memenuhi seisi desa.
Basa menoleh ke belakang. Para warga desa mengejar mereka, dipimpin oleh Kakek Ahal yang membawa kapak besar. Jantung Basa berdegup kencang, rahnganya mengeras akibat gigi yang saling ia tekan. Basa kembali mengalihkan pandang, Kepalanya tertunduk dan larinya semakin kencang masuk ke dalam hutan. Meninggalkan Warta yang sedang berusa kabur dengan robot manusia di bahu.
"Nak Warta! kau hanya orang luar yang terhasut oleh anak cacat itu. Turunkan putri kami!" Kakek lagi-lagi berteriak.
Napas Warta semakin tersenggal, ingin rasanya istirahat sejanak tapi kemungkinan tidak ada cara kembali kalau tertangkap.
'Penguasa subuh, tolong kuatkan aku dalam menjalani alur ceritamu ini. Apapun yang tarjadi, aku tau kau hanya akan memberi yang terbaik.' pasrah Warta dalam hati.
Langah kaki Warta semakin memendek, beberapa kali keseimbangan dalam dirinya goyang. Tidak lagi ia rasakan dapat bernapas, padahal ia hidup dikelilingi oleh oksigen. Semakin pendek napas yang dapat dihirup membuat matanya terasa memberat. Beberapa kali rasa kantuk menyerang membuat matanya tertutup, tangan yang terbebas Warta gunakan untuk menapar-nampar pipinya dengan kencang. Tapi kurang efektif, kecepatan larinya terus saja menurun.
"OI, NAIK!" teriak Basa.
Anak itu datang dari arah samping Warta menunggangi seekor rusa besar. Basa mengarahkan rusa yang ia tuggangi agar berlari di samping Warta. Tangan Basa terulur, berusaha menarik Warta naik ke punggung rusa. Beberaapa kali genggaman tangan mereka terputus, tapi akhirnya, dengan megerahkan seluruh tenaga Warta berhasil naik ke punggung si rusa. Keduanya masuk kedalam hutan jati sambil meninggangi rusa.
"Yang ini, besar. Kau hebat bisa menungganginya" kagum Warta.
Basa tertawa dengan sombong, "Ini perdana aku menaiki rusa."
Warta tediam sejeank, "Perdana... pertama kalinya?"
"Tentu!"
"Kau... tau bagaimana cara kita berhenti?" kini Basa yang terdiam. Lehernya dengan kaku menoleh ke arah Warta yang duduk di belakangnya.
"kau tau?" kini Basa yang mengajukan tanya. Warta menggeleng singkat.
Dan keduanya kini sedang panik berdebat bagaimana cara menghentikan rusa yang sedang berlari kencang. Di tengah hutan, tepat di jalur yang akan rusa besar itu lalui, Zai bersama seorang pria yang memiliki garis wajah seperti Basa berdiri bersisian. Melihat dua orang yang tampak seperti menghadang, rusa terlihat panik. Rusa itu mendadak berhenti dan secara tiba-tiba mengubah alur membuat para penumpangnya terpental, tersungkur di atas tanah.
Robot Tilani di tangan Warta terlempar ke samping karena Warta mencoba melindungi Basa saat terjatuh. Kakek Ahal melihat itu sebagai kesempatan. Ia berlari menuju robot Tilani.
Tarr!!
Terdengar bunyi petir yang menggelegar, membuat Kakek Ahal terkejut sampai terjatuh, begitu pula dengan kapak di tangannya. Kakek mencoba untuk kembali bangun, tubuh tua renta itu membuat gerakannya sedikit melambat.
Tarr!!!
Petir kembali menyambar. Tapi kali ini, pohon jati yang berada tepat di depan Kakek Ahal menjadi sasaaran, pohon itu perlahan tumbang ke samping. Menuju para penumpang rusa.
"Awas!!"
Teriak pria di samping Zai. Hendak berlari, tapi melihat pohon yang akan tumbang membuat Zai menarik kerah belakang orang itu. Menggantikannya, Zai dengan cepat melompat menuju tampat Basa. Beberapa, centi lagi, saat kaki kanan Zai mendarat bersamaan dengan pohon besar tumbang di hadapannya membuat debu pekat beterbangan. Refleks Zai membuatnya melompat mundur. Napasnya tercekat, pandangan kosong menatap ke arah pohon yang sudah tumbang.
Pria yang datang bersama Zai berlari menghampiri pohon tumbang. Ia berdiri di samping Zai, harap-harap cemas menyelimuti keduanya, menunggu debu mereda untuk melihat kondisi anak-anak.
Zzttt!!! Zzztt!!! ZZZZZ!!
Terdengar bunyi nyaring, seperti bunyi tawon ketika terbang. Tapi lebih nyaring. Semua orang segera mengalihkan pandang melihat ke arah sumber suara. Debu yang berterbangan perlahan memudar. Terlihat, robot Tilani, badan bagian atas dan bawahnya terbelah menjadi dua akibat tertimpa oleh pohon yang tumbang. Rangkaian mesin yang konslet merupakan sumber dari bunyi nyaring.
Semua orang semakin panik. Bagaimana dengan Basa dan Warta-
"Wah, petir memang mengejar para pembisik dan pengikutnya," gumam Warta yang bersimpuh di bagian sisi atas pohon. Matanya dengan antusias, terkagum melihat pohon yang seketika mengering dan berubah hitam layaknya arang.
"Eh! Iya!" Ia menoleh ke arah Basa yang berhasil ia seret sebelum pohon menyentuh tanah.
Basa, anak kecil yang ternyata hanya selang 1 tahun dibawah Warta itu terbaring, terlentang di samping Warta, menatapnya dengan sinis.
"Sakit! Dasar orang hutan!" Basa berdiri lalu menarik telinga Warta, "Dari pada diseret, aku lebih baik dilempar!"
Warta menarik tangan Basa dari telinganya, "Kalau aku lempar, nanti aku yang tertiban!"
"KAU!" teriak seorang warga yang mengalihkan perhatian Basa dan Warta. Orang itu menunjuk pria yang berdiri di samping Zai.
"Hidra, kembaikan istri dan anakku!" teriak orang itu lagi.
Salah seorang warga yang lain terjatuh lemas, pandangan kosong tertuju pada robot Tilani. "Putri Tilani tiada. Bagaimana nasib desa kita sekarang?"
Hidra mendekati robot ciptaannya, ia berjongkok dan mengelus wajah dari robot yang mirip dengan anaknya itu. "ini, makhluk ini. Hanya sebuah mesin yang aku ciptakan."
"Anakku... hanya seorang putri kecil. Manusia biasa. Bukan seorang putri yang harus memimpin sebuah desa. Sekarang, ia mungkin sudah tenang di alamnya."
Basa berdiri, ia berjalan menghampiri Kakek Ahal, "Kakek, apa itu kapak yang sama dengan 7 tahun lalu?"
Kakek menatap kapak di sampingnya, seketika ia berteriak kencang dengan sangat histeris. "BUKAN!!! BUKAN AKU, BUKAN!!!" Kakek melempar kapak menjauh darinya.
"Lihat, Tilani masih hidup beberapa saat lalu. Mereka yang membunuhnya!" tunjuk Kakek Ahal kepada Hidra yang juga sedang berjalan menuju dirinya.
Tarr!!
Sambaran petir ketiga, mencambuk kejam robot Tilani yang sudah terbelah hingga menimbulkan percikan api. Pohon jati yang sudah mengering dapat dengan mudahnya terbakar hingga menimbulkan api berkobar dan melahap batang pohon besar itu dengan cepat. Semua warga saling melontarkan sumpah serapah. Kepanikan mulai saling menular.
"Kalau begini, desa bisa kena imbasnya!"
Warta mendekati Kakek Ahal, "Kakek, saranku. Sebelum penguasa seubh semakin murka. Katakan saja yang sebenarnya"
"Penguasa subuh?! Apa ini ulah penguasa subuh?! kejam! Menakutkan, ia sangat menakutkan!" Kakek Ahal menatap Warta dengan sorot penuh benci. "Ini salahmu! Orang-orang dari luar desa selalu merugikan!"
Warta berdiri di samping Basa, ia marangkul yang lebih muda dan memberikan elusan ringan pada bahu mungilnya. "Penguasa subuh itu bagaimana kita, Kek. Lagi pula Kakek berbuat yang tidak baik. Penguasa subuh itu baik, ia masih memberi Kakek kesempatan."
Warta memandang langit malam yang sesekali berubah menjadi ungu saat kilat sedang berlarian mengejar mangsanya. Api semakin membesar, beberapa daun jati yang sudah kering berguguran di tanah mulai menjadi batu loncatan bagi para api. Warta menunduk menatap Kakek Ahal.
"Kakek, desa dan warga akan aman. Begitu juga Kakek kalau menceritakan yang sebenarnya. Itu yang diinginkan penguasa subuh. Sang penguasa subuh, ia akan lebih mendekatkan diri pada orang yang ingin dekat dengannya."
Kakek Ahal tertunduk lemas, "Saat itu..."
--
Kakek Ahal membawa pulang Basa yang pingsan, ia menceritakan kepada Niani kalau kedua anaknya dikejar oleh rusa dan Tilani tidak selamat, ada pohon yang tumbang karena sudah di makan rayap.
Saat kembali ke hutan hendak membawa mayat Tilani, Kakek Ahal panik Karena tidak dapat menemukannya. Ia segera berlari kembali ke rumah Nalani. Tapi, rumah itu kosong. Saat ia masuk, ia menemukan robot Tilani yang kondisinya persis seperti mayat Tilani. sebelah badannya hancur.
Dengan terbata, Kakek bersimpuh dan merengkuh robot itu dengan erat. Tanpa ia sadari, tombol power yang berada di tengkuk robot tertekan.
"Selamat datang. Aku kembali kedunia." Sapa robot tilani.
Kakek terkejut, dipandangnya robot itu lekat-lekat lalu kembali ia dekap erat. Air mata deras bercucuran. membasahi wajah Kakek Ahal.
"Pada saat itu, dalam pikiranku. Tilani masih hidup, aku bukan pembunuh. Aku tidak mungkin membunuh dan terus saja berbohong pada diri sendiri."
Tangan kanan kakek terangkat meremat bahu kirinya erat, "Aku... aku juga merasa takut. Siapa makhluk ini, apa yang dia inginkan. Tapi, karena banyak masalah desa yang dapat ia selsaikan dengan baik. Jadi aku tetap menjaganya. Bahkan, saat Nalani menentang, aku akhirnya mengangkat dia sebagai seorang putri desa."
Warta mengangguk pelan, "Jadi begitu,"
Suara gemuruh langit semakin kencang, satu demi satu tetes air langit mulai turun dan berangsur menjadi hujan deras. Warta mensejajarkan tinggi dengan Kakek Ahal, kedua tangannya mengelus bahu kakek dengan lembut.
"Lihat, kan, Kek. Penguasa subuh pasti membantu, selama kita tidak melakukan hal yang dibenci olehnya."
Hidra meletakkan tangan di dagu, menatap Kakek hal lekat. "Pantas paman keliatan tua banget sekarang."
Zai memukul belakang kepala Hidra, "Yang sopan, orang tua itu. Dasar orang hutan!"
Mendengar julukan yang Zai beri pada Hidra, membuat tengkuk Warta begidik.
'Untung bukan si paman seram yang memanggilku seperti itu.' Segala puji syukur Warta panjatan dalam hati.
Kakek yang merasa sudah kembali tenang, mencoba untuk bangun.
"Eh?!" tubuh Kakek Ahal limbung. Warta dengan cekatan segera menopang Kakek Ahal, membantunya untuk berdiri.
"Kek, kalau ini hukuman dari penguasa subuh, kakek terima?"
Kakek menunduk, menatap kaki kiri yang sepertinya yang terasa sangat sakit untuj digerakan. "Setidaknya nasibku tidak sama dengan benda menyesatkan itu." Kakek Ahal tersenyum simpul.
Hidra dengan murung tertunduk lemas, dengan nada yang sedih ia berucap. "Penelitianku dibilang sesat."
Basa tiba-tba berlari kearah Hidra, dengan kencang ia menendang tulang kering Hidra. "Ini semua salahmu, dasar orang hutan!"
Masih dengan raut wajah sedih, Hidra memandang Basa. Ia berjongkok, menjajarkan diri dengan Basa.
"Basa, sebenarnya... aku ini ayahmu."
Basa menendang lutut Hidra hingga terjungkal kebelakang, "Dah tau!" Basa kembali menghampiri Warta yang sedang memapah Kakek Ahal.
Hidra terbaring menatap langit, bulir-bulir hujan menerjang wajahnya. Tiba-tiba ia tertawa kencang membuat Zai menatap horor, takut-takut adik iparnya kerasukan rusa hutan.
"Oi," Hidra memanggil Zai. Ia menatap paman anaknya, salah satu sudut bibir Hidra terangkat. "Pelatih hebat." pujinya.
Mendengat pujian mendadak yang Hidra layangkan membuat Zai merinding. Ia segera mengninggalkan Hidra, menggantikan posisi Warta yang membopong kakek Ahal. Bersama dengan warga lainnya, mereka kembali ke desa.