Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kepergok Kinanti
Malam itu udara begitu sunyi. Lampu lorong rumah hanya menyala satu di ujung dekat dapur, temaram dan redup. Jam dinding berdetak perlahan, membelah keheningan malam dengan bunyi tik-tak yang menyesakkan.
Kinanti terbangun dari tidur dengan perasaan tidak nyaman. Dadanya sesak, pikirannya berkabut. Mimpi buruk beberapa hari lalu masih menggantung samar, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia meraba sisi kasur. Kosong. Dingin. Tidak ada David di sana.
Alisnya berkerut. Padahal ia yakin, sebelum tidur, David sudah berbaring di sampingnya, bahkan sempat membenarkan selimut Kinanti dan mencium keningnya. Tapi sekarang, tempat tidur itu hampa.
“Mas...?” gumamnya pelan. Tidak ada jawaban.
Tubuh Kinanti masih lemah pasca melahirkan, dan ia sangat berhati-hati bila harus bergerak sendiri. Tapi dorongan ingin buang air kecil tidak bisa ditahan.
Kamar mandi di rumah itu tidak berada di dalam kamar tamu, melainkan di lorong belakang dekat dapur. Sejenak Kinanti menimbang, menunggu siapa tahu David kembali. Tapi setelah lima menit, suaminya tak kunjung muncul.
Dengan perlahan, ia duduk. Menarik selimut dari tubuhnya dan menggantinya dengan syal tipis untuk menutupi dada. Tangannya meraba meja kecil, mencari tongkat penyangga yang biasa ia pakai sejak pemulihan. Tubuhnya belum stabil.
Ia membuka pintu kamar tamu. Denting halus terdengar saat gagang pintu digerakkan. Di depannya, lorong tampak lengang. Tidak ada siapa pun. Lampu temaram menggantung dari langit-langit dengan cahaya kekuningan, memantul samar pada lantai keramik.
Langkahnya lambat. Suara tongkat beradu dengan lantai terdengar lirih namun nyata.
Kinanti menyusuri lorong menuju kamar mandi. Tapi saat hendak membelok di sudut menuju dapur, langkahnya terhenti. Matanya membelalak, jantungnya berdentum keras.
Naura.
Gadis muda itu muncul dari arah gudang kecil di samping dapur. Langkahnya terburu-buru, napasnya terengah. Rambutnya berantakan, sebagian jatuh menutupi wajah. Bajunya—kaos abu-abu longgar dan celana pendek kain tampak kusut, seperti baru saja terjatuh atau didorong seseorang ke dalam tempat berdebu
Keduanya bertatapan dalam keheningan beberapa detik yang terasa seperti selamanya.
“Naura?” suara Kinanti tercekat. “Kamu dari gudang?”
Naura terkejut bukan main. Mata bulatnya membesar seperti anak kecil yang ketahuan menyimpan sesuatu. “A-Aku…” dia tergagap. Nafasnya masih belum tenang. “Aku… aku cari kayu, Mbak.”
“Cari kayu? Tengah malam begini?” Kinanti mengerutkan dahi.
“Buat mukul tikus.” jawab Naura cepat. Matanya berputar gugup, tidak berani menatap Kinanti langsung.
Kinanti menyipitkan mata. “Tikus?”
Naura buru-buru mengangguk. “Iya… tadi aku lihat ada tikus lari ke arah kamarku. Aku… aku nggak mau Mbak Kinanti ketakutan kalau tahu ada tikus di rumah ini.”
Kinanti diam. Perutnya mulai terasa sakit, tapi rasa curiga lebih mendominasi.
“Baru kali ini ada tikus?” tanyanya lagi.
“Iya… mungkin karena tetangga lagi bongkar rumah, Mbak. Jadi... ya, hewan-hewan itu pindah ke sini.”
Alasan itu terdengar cukup masuk akal, tapi nada bicara Naura terlalu tergesa. Sikapnya gugup. Dan entah mengapa hidung Kinanti mencium aroma samar dari tubuh Naura. Seperti campuran keringat... dan parfum laki-laki.
Hidungnya mencium dengan lebih tajam. Itu parfum David.
“Naura, kamu lihat Mas David?” tanya Kinanti perlahan.
Wajah Naura langsung pucat. Sekilas, ia mencoba menyembunyikan keterkejutan, tapi tidak berhasil. “M-Mas David? Nggak... nggak tahu aku, Mbak.”
Kinanti menunduk sebentar, menahan perasaan tak nyaman yang mulai menjalar dalam pikirannya. Ia tahu, firasat seorang istri jarang salah.
“Kalau kamu lihat, bilang ya,” kata Kinanti pelan. “Aku takut dia kenapa-kenapa.”
Naura mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Aku bantu cari kalau dia belum balik.”
Kinanti berjalan perlahan ke kamar mandi. Tapi sebelum masuk, ia sempat menoleh kembali ke arah lorong. Naura sudah tidak ada. Kinanti menarik napas dalam.
Sesaat di dalam kamar mandi, ia mencoba menenangkan diri. Tapi saat air keran menyentuh tangannya, bayangan tentang Naura yang keluar dari gudang dengan napas terengah membuatnya makin gelisah.
Dan… David.
Kemana suaminya?
Begitu keluar dari kamar mandi, ia memutuskan untuk memeriksa gudang. Lorong masih sepi. Jam dinding menunjukkan pukul dua lewat lima belas.
Sepi sekali. Tapi tidak jauh dari sana, dari arah gudang, terdengar suara samar-suara benda logam bergeser.
Kinanti mematung sejenak.
“Mas David! Mas David!”
Suara Kinanti menggema lembut namun panik di malam yang hening. Napasnya tersengal, kakinya yang hanya dibalut sandal rumah menapaki lantai dingin yang memisahkan lorong belakang rumah menuju gudang.
Ia membuka pintu gudang perlahan, tubuhnya masih lemah sejak melahirkan Mauren. Namun ada rasa gelisah yang menggerakkan tubuhnya lebih cepat dari biasanya.
Klik. Kinanti menyalakan saklar lampu. Lampu neon tua menyala berkedip, memperlihatkan isi gudang yang masih tertata rapi. Tumpukan dus-dus kardus, buku-buku lama, koper kosong, dan perabot rusak terlihat berjajar di rak kayu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya, David Sanjaya, yang semula ia kira berjalan keluar kamar untuk ke kamar mandi atau mengambil sesuatu. Tapi tidak. Kinanti tahu, instingnya sebagai istri tidak salah. Ada yang aneh.
“Apa tikus ya?” gumamnya pelan, mencoba meredam degup jantungnya yang mulai kacau.
Matanya menyisir sekeliling. Tak ada gerakan. Tak ada suara selain detak jarum jam di dinding luar dan sesekali suara jangkrik dari kebun belakang.
Namun, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah ranjang tua, terletak di sudut gudang, biasa digunakan sebagai tempat istirahat singkat para pekerja saat renovasi rumah beberapa bulan lalu. Kinanti hampir tak pernah memperhatikannya lagi, kecuali malam ini. Pandangannya terpaku pada seprei yang membungkus kasur tua itu. Seprei itu… tampak baru diganti. Rapi tapi kusut. Seperti baru saja dipakai. Seperti baru saja ada seseorang yang berbaring di atasnya.
Kinanti menahan napas. Bulir keringat mengalir di pelipisnya.
"Ya Allah...," lirihnya. "Jangan. Jangan biarkan aku berpikir buruk…"
Namun pikirannya tak bisa dicegah. Bayangan tentang pengkhianatan, tentang hal-hal yang selama ini hanya ia baca di novel atau tonton di drama, mulai menguasai logikanya.
Dia mendekat pelan, menyentuh tepi ranjang. Hangat.
Masih hangat.
Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia melangkah mundur, menelan ludah yang terasa pahit.
“Tidak mungkin... Mas David tidak akan... tidak akan pernah melakukan itu padaku...” bisiknya, lebih seperti meyakinkan diri sendiri daripada pernyataan pasti.
Kinanti melangkah mundur, matanya memeriksa sekeliling sekali lagi. Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Tapi instingnya tidak bisa dibohongi. Hatinya menjerit pelan, seperti bayi yang menangis di tengah malam tanpa alasan.
Ia kembali ke ambang pintu gudang, tangan gemetar mengunci gagang pintu. Klik. Kunci berputar. Ia memastikan pintu itu benar-benar terkunci. Kalau ada orang di dalam sana, mereka tidak akan bisa keluar. Kecuali... kecuali mereka punya kunci cadangan.
Kinanti berdiri sejenak di depan pintu itu, mencoba menenangkan dirinya. Tapi di dalam kepalanya, bayangan tentang suaminya, tentang kemungkinan seseorang bersama suaminya... membuat hatinya mencelos. Ia benci membayangkannya. Ia benci dirinya sendiri karena berpikir seperti itu. Tapi kenyataan dan naluri tak selalu sejalan dengan doa dan harapan.
Ia berjalan perlahan kembali ke dalam rumah. Melewati ruang tamu yang gelap, menyusuri koridor panjang menuju kamar. Setiap langkah terasa berat. Kepalanya berdenyut. Dadanya sesak.
Ketika sampai di kamar, ia mendapati tempat tidur masih kosong. David belum kembali.
“Mas di mana, sebenarnya...” desisnya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai. Lampu meja menyala redup. Bayangan-bayangan gelap di dalam pikirannya terus menari.
Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur. Ia ragu sejenak, lalu meraihnya. Membuka kontak, menekan nama “David Suamiku” — begitu nama suaminya tersimpan di ponselnya.
Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Lima kali. Tidak diangkat.
Kinanti menggigit bibir bawahnya. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya. Dia tidak boleh menangis hanya karena pikiran buruk yang belum tentu benar. Dia harus yakin pada suaminya. Tapi… mengapa begitu sulit malam ini?
Tiba-tiba, suara pintu depan berderit. Kinanti langsung berdiri dan berjalan cepat menuju suara itu. Di ruang tamu, ia melihat sosok David baru saja masuk rumah. Kemeja pria itu kusut, rambutnya berantakan.
“Mas dari mana?” tanya Kinanti dengan nada tenang, walau suaranya nyaris bergetar.
David tampak terkejut. “Sayang… kamu belum tidur?”
Kinanti menatap mata suaminya. “Aku terbangun karena kamu tidak ada di sampingku. Aku kira kamu ke kamar mandi... tapi aku cari, kamu tidak ada.”
David menggaruk belakang kepalanya, wajahnya canggung. “Maaf… aku… kepalaku pusing. Tadi aku keluar sebentar cari udara segar. ke taman depan.”
“Taman?” Kinanti mengulang, seperti ingin menguji jawabannya.
David mengangguk cepat. “Iya. Maaf nggak bilang. Mas tadi sempat melihat seseorang masuk rumah kita lewat pintu samping, dan postur tubuhnya sangat mirip dengan Yusuf."
"Apa mungkin Naura dan Yusuf melakukan ...." Kinanti duduk dengan hati-hati, tapi airmata tidak bisa berhenti menetes.
"Sayang, jangan berpikiran macam-macam, ini duga'an Mas saja," ujar David.