NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 : Penyelamatan dan Ledakan.

"Mike, Jimmy, Helena! Lupakan drama! Fokus pada misi!" Suara Alice memecah keheningan melalui earphone mereka, tajam seperti pecahan kaca. Tidak ada nada lembut, tidak ada ruang untuk negosiasi. "Alisiya punya alasan sendiri. Jangan tanya, jangan ragu, lakukan saja! Ambil sampel itu sekarang!" Koordinat ruangan penyimpanan Evil Blood Virus melintas di layar tampilan mereka.

Mike dan Jimmy saling pandang, keraguan berkelebat di mata mereka sebelum menghilang, digantikan oleh tekad yang dingin. Mereka mempercayai Alisiya, tetapi meninggalkan sahabat mereka dalam bahaya membuat perut mereka mulas. Dengan gerakan yang terlatih, mereka mengaktifkan senjata yang terpasang di sarung tangan teknologi mereka. Laser oranye Mike berdengung dengan energi yang berbahaya, memantulkan cahaya yang menyilaukan di dinding lorong. Jimmy memutar tongkat bisbol hologramnya, menciptakan pusaran perak yang menari-nari, siap menghantam siapa pun yang menghalangi jalan mereka.

"Siap berdansa dengan iblis?" bisik Mike, seringai sinis menghiasi wajahnya.

"Iblis? Kita akan mengirim mereka kembali ke neraka!" balas Jimmy, matanya berbinar dengan kegembiraan yang mengerikan.

Mereka menerjang ke dalam jendela yang terbuka, kegelapan menyambut mereka seperti pelukan dingin. Lorong itu sunyi, tetapi mereka bisa merasakan kehadiran musuh yang mengintai di balik bayangan. Aroma keringat dan ketakutan memenuhi udara, pertanda pertempuran yang akan datang.

"Alice, apa yang sebenarnya terjadi dengan Alisiya?" tanya Mike, suaranya rendah dan serius. Ia tidak suka ditinggalkan tanpa informasi.

"Alisiya sedang mengikuti kata hatinya..." jawab Alice, nadanya misterius dan sedikit sedih. "Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang lebih penting dari sekadar virus, lebih penting dari kita semua. Percayalah padanya. Dia tahu apa yang dia lakukan. Sekarang, bersihkan lorong ini. Aku tidak ingin ada gangguan untuk Helena."

Di atas gedung gudang, Helena duduk di tepi jurang, kakinya menjuntai di atas kegelapan yang menganga. Angin malam mencambuk rambut cokelat pendeknya, membuatnya terlihat seperti dewi kematian yang dingin dan jauh. Ia menggigit apelnya dengan keras, menikmati rasa manisnya sebelum mengaktifkan mata biru di mata kanannya. Cahaya biru itu menyebar, memindai lingkungan sekitarnya dengan presisi yang mematikan.

"Diam, Alice..." desis Helena, suaranya datar dan tanpa emosi. "Aku sedang bekerja. Aku akan mendapatkan sampel itu, dengan atau tanpa bantuan kalian. Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh... Sebuah resonansi... Gadis itu... Dia hidup, tapi energinya... Hijau? Itu tidak mungkin. Itu berarti... Sesuatu yang sangat berbahaya. Alisiya melakukan hal yang benar. Gadis itu adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar dari yang kita bayangkan."

Helena melepaskan kacamata bulatnya, membiarkannya tergantung di lehernya. Mata kirinya, yang berwarna perak, bersinar dengan kecerdasan yang dingin dan tanpa ampun. Ia meregangkan tubuhnya, mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam kegelapan.

"Saatnya mengungkap kebenaran..." gumamnya, lalu melompat dari gedung, menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan hanya hembusan angin dan aroma apel yang samar.

Alisiya melesat di lorong itu seperti badai pelangi, jantungnya berdebar kencang di dadanya, memompa adrenalin ke setiap urat nadinya. "Sistem! Scythe Andras! Aktifkan!" teriaknya, suaranya menggema di lorong yang sunyi, memecah kesunyian dengan gema kekuatan dan tekad. Sarung tangan Alisiya memuntahkan scythe pelangi miliknya, senjatanya berkilauan dengan warna-warna yang mempesona, namun mematikan, seperti aurora borealis yang mematikan. Ia melihat sekelompok penjaga yang sangat banyak, seperti tembok daging yang menghalangi jalannya menuju ruangan eksperimen gadis itu. Mereka menodongkan pistol ke arahnya, wajah mereka keras dan tanpa ampun, mata mereka kosong dan tanpa emosi.

"Berhenti! Jangan mendekat! Kami akan menembak! Ini peringatan terakhir!" teriak salah satu penjaga, suaranya mengancam, namun sedikit bergetar. Ketakutan bisa dirasakan di udara, aroma keringat dan keputusasaan memenuhi lorong.

Alisiya melompat tinggi ke udara, melampaui jangkauan senjata mereka, melayang di atas mereka seperti dewi kematian yang penuh warna. "Haa! Aku tidak dengar! Aku hanya mendengar suara orang-orang yang akan segera mati!" serunya, suaranya penuh dengan ejekan, namun di balik nada itu, ada tekad yang membara, kemarahan yang tak terkendali. Dengan sekali ayunan scythe pelangi miliknya, ia menciptakan pusaran warna yang mematikan, lima kepala penjaga terpenggal dalam sekejap, tubuh mereka ambruk ke tanah seperti boneka yang rusak, darah menyembur ke mana-mana, namun tidak ada setetes pun yang mencemari warna-warna pelangi scythe miliknya, seolah senjata itu menolak untuk ternoda oleh kekerasan, seolah ia adalah makhluk suci yang tidak bisa disentuh oleh kejahatan.

Saat Alisiya mendarat dengan anggun, seperti kucing yang lincah, ia melihat sebuah peluru melesat ke arahnya dengan kecepatan yang mencengangkan. Reaksinya cepat, nalurinya tajam, refleksnya terlatih. Ia menangkis peluru itu dengan scythe raksasa hologram miliknya, menciptakan percikan api yang menyilaukan. Ledakan dari peluru itu mengejutkan Alisiya, membuatnya terhuyung mundur, kakinya mencengkeram lantai untuk menjaga keseimbangan. Kekuatan ledakan itu luar biasa, mengguncang seluruh tubuhnya, membuatnya merasa seperti disambar petir.

Seorang wanita muda muncul dari balik bayangan, gayanya rapi dan profesional, namun memancarkan aura bahaya yang mematikan. Ia mengenakan rok kerja berwarna merah yang mencolok, dipadukan dengan jaket kulit hitam yang ketat, pakaian yang sempurna untuk seorang eksekutif yang kejam. Di tangannya, ia memegang sniper, senyum sinis menghiasi wajahnya, matanya memancarkan kecerdasan yang dingin dan tanpa ampun. Ia berjalan dengan tenang ke arah bawahannya yang tergeletak di tanah, mengamati mereka dengan tatapan jijik.

"Wah, wah... Ada penyusup di sini..." katanya, suaranya lembut namun berbahaya, seperti beludru yang menutupi pisau. "Sepertinya kita punya masalah kecil. Kalian benar-benar mengecewakan, tahu?"

Alisiya, yang berhasil selamat dari ledakan, menghapus keringat di keningnya dengan punggung tangannya, matanya menyipit, menatap wanita itu dengan waspada. Ia bisa merasakan aura bahaya yang memancar dari wanita itu, seperti panas dari api yang membara. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya penuh dengan ketegangan, namun juga dengan rasa ingin tahu.

Wanita itu tertawa kecil, suaranya seperti bel yang berdering di telinga Alisiya, namun kali ini, ada nada mengejek di dalamnya. "Wah... Perasaan aku mau menanyakan pertanyaan yang sama padamu, sayang... Siapa kau? Gadis monster? Atau hanya tikus got yang tersesat yang mencoba bermain pahlawan?"

Tiba-tiba, wanita itu mengangkat snipernya dengan gerakan cepat dan menembak ke arah Alisiya. Alisiya, yang sudah tahu tentang peluru peledak yang digunakan oleh wanita itu, menghindar dengan cepat, melompat ke samping seperti penari yang lincah. Ia menghindari ledakan yang dahsyat, namun panasnya membakar kulitnya, dan gelombang kejutnya membuatnya terhuyung. Alisiya berhasil menghindar, namun ledakan besar menghancurkan dinding yang sangat jauh di belakangnya, meruntuhkan beton dan baja seperti kertas. Tanpa melihat ke belakang, Alisiya tahu bahwa peluru wanita itu sangat berbahaya dan dapat menghancurkan tembok gedung, bahkan mungkin seluruh kompleks.

Wanita itu tertawa, suaranya menggema di lorong yang hancur, seperti simfoni kehancuran. "Hahahah... Kamu itu kenapa masih menghindar? Apakah kau takut dengan ledakannya sehingga tidak mau melihat ke belakang? Apa kau takut melihat seberapa besar kerusakan yang bisa kulakukan? Apa kau takut melihat seberapa kuat aku?"

Alisiya mendengus, bibirnya melengkung sinis. Meskipun amarahnya membara, ia tidak bisa menyangkal kekaguman yang tak terucapkan terhadap lawannya. Wanita ini bukan hanya sekadar anak buah Alexander Volkov, ia adalah sesuatu yang lebih, sesuatu yang berbahaya. "Apakah kau mengira aku bodoh? Apakah kau pikir aku akan jatuh ke dalam perangkap murahanmu? Itu adalah trik pengalihan yang basi, kan? Kau mencoba membuatku lengah, mencoba membuatku panik, tapi aku tidak akan tertipu. Aku sudah melihat permainan bodoh seperti yang kau lakukan berkali-kali sebelumnya. Kau meremehkanku, dan itu adalah kesalahan terbesarmu."

Wanita itu kembali tertawa, suaranya semakin keras dan mengejek, memenuhi lorong yang hancur dengan gema yang mengerikan, seperti suara iblis yang menikmati penderitaan korbannya. "Hahaha... Sombongnya melebihi cicak yang mencoba terbang, ya? Kau pikir kau pintar, hah? Tapi kau hanya seorang gadis kecil yang bermain-main dengan kekuatan yang tidak kau pahami. Kau adalah bom waktu yang menunggu untuk meledak, dan aku akan menikmati saat-saat terakhirmu. Kalau kepalamu meledak? Kalau otakmu berceceran di seluruh dinding? Apakah kau masih bisa berbicara seperti serangga lemah, hah? Apakah kau masih bisa menyelamatkan temanmu?"

Para bawahan wanita itu, yang masih hidup, meskipun terluka parah dan berlumuran darah, menertawai Alisiya, mengikuti jejak pemimpin mereka seperti anjing yang setia, meskipun mereka tahu bahwa kematian mungkin sudah dekat. Alisiya mengepalkan tangannya, kukunya menancap di telapak tangannya, amarahnya memuncak, namun ia mencoba untuk tetap tenang, untuk mengendalikan emosinya. Ia tahu bahwa jika ia kehilangan kendali, jika ia menyerah pada amarahnya, ia akan kalah, dan gadis di dalam laboratorium akan mati. Ia mengangkat scythe pelangi miliknya tinggi-tinggi, senjatanya berkilauan dengan cahaya yang semakin terang, seperti matahari yang akan meledak, seperti harapan yang bersinar di tengah kegelapan.

"Yang lemah... Yang lemah itu kalian!" teriak Alisiya, suaranya menggelegar seperti guntur, mengguncang seluruh lorong, membuat debu dan puing-puing berjatuhan dari langit-langit. "Kalian adalah budak yang patuh, mengikuti perintah tanpa berpikir, tanpa mempertanyakan. Kalian tidak memiliki kebebasan, tidak memiliki kemauan. Kalian hanyalah pion dalam permainan orang lain, dan kalian akan mati seperti pion."

Dengan sekali ayunan scythe pelangi miliknya, ia menciptakan gelombang kejut pelangi yang sangat tajam, seperti tsunami warna yang mematikan, melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang mencengangkan, membelah udara dengan suara yang memekakkan telinga, menciptakan vakum yang menghisap segala sesuatu di sekitarnya.

"Sial!" seru wanita itu, matanya terbelalak karena terkejut, untuk pertama kalinya ia menunjukkan emosi yang sebenarnya, ketakutan yang murni dan tak teraduk. Ia tidak menyangka Alisiya memiliki kekuatan sebesar itu, ia meremehkannya, dan sekarang ia akan membayar harganya.

Gelombang kejut pelangi itu menghantam para bawahan wanita itu dengan kekuatan yang luar biasa, membelah tubuh mereka menjadi dua bagian, seperti mentega yang dipotong dengan pisau panas, seperti kertas yang disobek dengan mudah. Darah menyembur ke mana-mana, mewarnai lorong dengan warna merah yang mengerikan, menciptakan pemandangan yang mengerikan dan mengerikan. Wanita itu berhasil menghindar, melompat ke samping tepat pada waktunya untuk menghindari gelombang kejut pelangi itu, namun ia tidak sepenuhnya lolos. Gelombang kejut itu mencium kulitnya, membakar dagingnya, merobek pakaiannya, dan membuatnya terlempar ke dinding dengan sangat keras seperti kaca yang di lempar ke dinding.

Alisiya melihat sekelilingnya, lorong itu hancur berantakan, tembok sekelilingnya runtuh, kaca jendela yang sudah hancur berkeping-keping, kabel-kabel listrik menjuntai dari langit-langit, memercikkan api, menciptakan pemandangan yang kacau dan berbahaya. Ia telah menghancurkan lorong itu dengan amarahnya sendiri, dengan kekuatannya sendiri, dengan senjatanya sendiri. Ia merasakan penyesalan yang pahit di dalam hatinya, namun ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Ia harus menghentikan wanita itu, ia harus menyelamatkan gadis di dalam laboratorium, ia harus menyelesaikan misinya.

"Di mana wanita itu..." gumamnya, suaranya serak dan penuh dengan kelelahan, namun juga dengan tekad yang membara. Ia mencari-cari wanita itu di antara reruntuhan, matanya menyipit, mencoba untuk melihat melalui debu dan asap, mencoba untuk mendeteksi kehadirannya. Ia tahu bahwa wanita itu masih hidup, ia bisa merasakannya, aura bahayanya masih terasa di udara, seperti aroma ozon setelah badai petir. Ia harus menghentikannya sebelum ia melakukan lebih banyak kerusakan, sebelum ia membunuh lebih banyak orang. Pertarungan ini belum selesai, dan ia tahu bahwa pertarungan selanjutnya akan menjadi pertarungan yang menentukan.

Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan, suara wanita itu, yang terdengar lemah dan terengah-engah, namun masih penuh dengan ejekan dan kebencian. "Kau... Kau pikir kau sudah menang, hah? Kau pikir kau sudah mengalahkanku? Kau salah, gadis kecil. Pertarungan ini baru saja dimulai."

Alisiya menoleh ke arah suara itu, matanya menyipit, dan ia melihat wanita itu tergeletak di antara reruntuhan, bersandar di dinding, berlumuran darah dan luka. Rok kerjanya robek, jaket kulit hitamnya compang-camping, dan wajahnya berlumuran debu dan luka. Namun, senyum sinis masih menghiasi wajahnya, dan matanya masih memancarkan kecerdasan yang dingin dan tanpa ampun.

"Kau... Kau sangat kuat, aku harus mengakui itu," kata wanita itu, suaranya bergetar, namun masih penuh dengan ejekan. "Tapi kau bodoh. Kau terlalu percaya diri. Kau meremehkanku, dan itu akan menjadi kesalahan terbesarmu."

Tiba-tiba, wanita itu mengangkat tangannya, dan Alisiya melihat bahwa ia memegang sebuah remote control kecil. Jantung Alisiya berdebar kencang di dadanya, ia tahu bahwa remote control itu berarti sesuatu yang buruk.

"Selamat tinggal, gadis kecil," kata wanita itu, senyumnya melebar, menunjukkan giginya yang putih. "Semoga kau menikmati ledakannya."

Wanita itu menekan tombol di remote control, dan pada saat yang sama, ia melompat dari tempatnya dan berlari secepat mungkin ke arah yang berlawanan dari Alisiya. Ia tahu bahwa ledakan itu akan sangat dahsyat, dan ia tidak ingin berada di dekatnya ketika itu terjadi.

Alisiya merasakan sesuatu yang aneh terjadi di sekelilingnya. Ia merasakan energi yang kuat berkumpul di udara, dan ia melihat bahwa kabel-kabel listrik yang menjuntai dari langit-langit mulai memercikkan api dengan lebih hebat.

"Tidak!" teriak Alisiya, namun sudah terlambat.

Ledakan dahsyat mengguncang seluruh lorong, meruntuhkan sisa-sisa tembok dan langit-langit, menciptakan bola api yang besar dan mengerikan. Alisiya terlempar ke belakang oleh kekuatan ledakan itu, tubuhnya membentur dinding dengan keras, dan ia kehilangan kesadaran.

Lorong itu hancur total, hanya menyisakan reruntuhan dan puing-puing yang berasap. Wanita itu, yang telah mengaktifkan bom, berhasil melarikan diri sebelum ledakan itu terjadi, meninggalkan Alisiya untuk menghadapi kematiannya.

Pertarungan itu berakhir, namun kemenangan itu pahit. Alisiya telah mengalahkan lawannya, namun ia telah membayar harga yang mahal. Ia terluka parah, dan ia tidak tahu apakah ia akan selamat. Dan yang lebih buruk lagi, ia tidak tahu apakah gadis di dalam laboratorium masih hidup.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!