Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
SIANG HARI
Suara pintu terbuka perlahan. Sancha yang masih duduk di kursi dekat jendela menoleh cepat. Matanya membelalak, dan tubuhnya refleks ingin berdiri.
Sancha:
“Bi… bibi…”
Uca (tersenyum lembut):
“Kau masih memanggilku bibi? Apa tidak lelah, Sancha?”
Sancha berdiri lalu langsung memeluk Uca erat. Pelukan itu hangat, seperti seorang anak yang lama tidak menemukan pangkuan ibunya. Air mata langsung membasahi pipi Sancha.
Sancha (isak kecil):
“Aku tidak tahu harus bagaimana, bibi… semuanya terlalu cepat… aku bahkan belum sempat bernapas…”
Uca (menepuk punggung Sancha lembut):
“Tenang, Sayang. Kau tidak sendiri sekarang.”
Mereka duduk di kursi rotan dengan bantal-bantal empuk. Di depan mereka ada teh melati hangat dan sepiring biskuit buatan maid khusus. Uca menatap wajah pucat Sancha dan mengusap pipinya.
Uca:
“Kau cantik, bahkan lebih bersinar dari pertama kali aku melihatmu di New York. Tapi mata itu masih menyimpan banyak luka.”
Sancha (tertawa kecil, sinis):
“Mungkin karena aku tinggal di kandang emas. Indah, tapi tak bisa terbang ke mana pun. Bahkan aku bukan siapa-siapa kalian…”
Uca (menarik tangan Sancha):
“Dengar, aku tahu anakku keras kepala, kadang dingin… kadang menyebalkan… tapi dia bukan pria jahat, Sancha. Percayalah… dia hanya tidak tahu caranya mencintai dengan baik.”
Sancha menunduk, menggenggam cangkir teh di tangan.
Sancha:
“Bibi tahu tentang anak ini…?”
Uca:
“Aku tahu segalanya, sayang. Dan karena itu aku datang. Aku tak ingin cucuku lahir di tengah kebekuan dua hati yang belum berdamai.”
Suasana menjadi tenang. Sancha diam, mata basah menatap meja.
Uca (lembut tapi serius):
“Sancha… menikahlah dengan Alaska. Bukan karena dipaksa, tapi karena kau ingin memberi anakmu nama… rumah… dan siapa tahu, suatu hari… cinta.”
Sancha (pelan):
“Maaf bibi,aku dan tuan alaska tidak mencintai satu sama lain,aku dan tuan alaska sudah membuat kesepakatan,bahwa kalau anak ku suatu saat lahir maka aku akan ikhlas memberikan anak ku kepada tuan alaska,lagian hidup ku belum tentu arah nya……”
Uca Tertegun mendengar jawaban dari Sancha…
“Kadang cinta datang bukan dari pandangan pertama… tapi dari kebersamaan yang tidak bisa kita hindari. Kau sudah hidup dalam dunianya. Sekarang tinggal kau yang memilih, tetap bertahan… atau belajar berdamai.”
Sancha menatap Uca, matanya basah tapi tersenyum.
Sancha:
“Bibi…aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri,bahkan ketika aku bisa memilih lebih baik aku merawat anak ku sendiri tanpa bantuan tuan alaska,tapi takdir ku berbeda..”ujar Sancha menunduk menghapus air matanya.
Uca tertawa kecil dan menggenggam kedua tangan Sancha.
Uca:
“tenang,aku akan ada selalu untuk mu,akan aku pastikan alaska tidak merebut cucu ku ini dari ibunya.”
Keduanya tersenyum senduh,dan Uca memeluk tubuh mungil sancha yang tengah mengandung 3 bulan. Mereka melanjutkan kegiatan pembicaraan mereka di meja makan,karena ini sudah masuk jam makan siang.
Meja panjang dari kayu walnut mengilap dipenuhi hidangan lezat — sup krim jagung, ayam panggang rempah, salad buah segar, dan roti buatan sendiri. Uca dan Sancha duduk berdampingan di ujung meja, suasana jauh dari kesan dingin yang biasa melekat pada mansion ini.
Uca (menyodorkan mangkuk sup):
“Coba ini, resep lama keluarga. Alaska dulu suka sekali. Bahkan kalau sedang ngambek, dia cuma mau makan ini.”
Sancha tersenyum, matanya melirik malu.
Sancha:
“Dulu? Berarti sekarang sudah tidak?”
Uca (tertawa kecil):
“Sekarang dia ngambeknya bukan karena mainan diambil… tapi karena hatinya disentuh seseorang, lalu hilang.”
Sancha menahan senyum. Uca membuka tas tangan kecil dari kulit dan mengeluarkan sebuah album foto klasik berwarna coklat tua, lalu meletakkannya di atas meja.
Uca:
“Aku bawa ini untukmu. Biar kau tahu bahwa pria yang sering memojokkanmu itu… dulunya bocah paling lembek di dunia.”
Sancha memutar tubuhnya sedikit, tertarik. Uca membuka halaman pertama. Terlihat foto bayi dengan pipi bulat tidur di ranjang kecil berwarna biru.
Uca (tersenyum):
“Ini waktu dia baru lahir. Lahirnya prematur. Dokter bilang dia mungkin tak akan bertahan. Tapi lihat, sekarang malah berdiri seperti dewa mafia.”
Sancha:
“Matanya… tetap sama. Dingin dan mengintimidasi.”
Uca (menunjuk foto lain):
“Ini dia umur lima tahun. Dia takut badut. Pernah satu pesta ulang tahun, badut datang — Alaska kabur ke dapur dan nangis tiga jam. Kami kira dia diculik.”
Sancha tertawa pelan. Uca ikut tertawa, lalu mengusap mata.
Uca:
“Aku menyimpan ini semua karena aku tahu… suatu hari, akan ada wanita yang masuk ke dunianya, dan wanita itu harus tahu… bahwa pria yang ia takuti, dulu pernah butuh pelukan setiap malam sebelum tidur.”
Sancha (suara pelan):
“Dan sekarang… ia mengurung wanita hamil di kamar dingin yang tak berperasaan.”
Hening sejenak. Uca menatapnya lembut.
Uca:
“Kau tahu, sayang… trauma tidak selalu terlihat. Kadang orang menyakiti lebih dulu karena mereka takut disakiti. Dia tak pernah benar-benar mencintai siapa pun — sampai kau datang.”
Sancha menunduk. Jemarinya menyentuh halaman foto Alaska saat remaja, memakai seragam sekolah, rambut berantakan, tatapan masih sama tajamnya.
Sancha (berbisik):
“Tapi aku takut, bibi. Takut dia hanya melihatku sebagai… beban, bukan bagian dari hidupnya.”
Uca menggenggam tangan Sancha
“Bukan beban. Kau adalah cermin yang membuatnya sadar… bahwa ia juga manusia. Pelan-pelan saja, sayang. Jangan buru-buru memaafkan. Tapi juga jangan buru-buru menyerah.”
Tepat saat mereka larut dalam tawa dan nostalgia, suara langkah kaki berat terdengar dari arah lorong.
Sancha (menegang):
“Dia…”
Uca (menoleh santai):
“Tenang. Kita sedang makan siang. Suruh dia duduk atau diam di sudut saja.”
Pintu terbuka. Alaska berdiri di ambang, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak. Tatapannya langsung pada Sancha. Tapi matanya sedikit melembut saat melihat ibunya.
Alaska Yang Baru Mendarat Dari Italia dan segera menuju mansion nya.
“Sudah nyaman sekali kalian berdua rupanya.”
Uca (tersenyum sambil menyuap sup):
“Kau terlambat. Tapi ada sup jagung — makanan favoritmu waktu kau masih takut badut.”
Alaska memutar bola matanya, tapi sudut bibirnya tersenyum tipis — untuk pertama kalinya di hadapan Sancha.
Alaska menarik kursi di hadapan Sancha dan Uca. Ia duduk dengan sikap tenang tapi kaku. Tangannya menyendok sup krim jagung itu perlahan, matanya sempat melirik Sancha yang kini berusaha tidak memandangnya langsung.
Uca (berusaha mencairkan suasana):
“Masih ingat rasa ini, Nak?”
Alaska (tanpa ekspresi):
“Lebih enak waktu yang lalu yang masak langsung.”
Uca (tertawa):
“Karena dulu kamu makan sambil nangis. Kamu pikir sup ini bisa usir setan di bawah tempat tidur.”
Sancha (menunduk menahan tawa):
“Setan di bawah tempat tidur?”
Alaska (menghela napas):
“Mama terlalu banyak cerita masa lalu. Yang duduk di sini sekarang bukan bocah yang takut badut lagi.”
Uca:
“Memang bukan. Tapi kadang aku rindu anak kecilku yang dulu masih bisa tersenyum tanpa topeng.”
Suasana hening beberapa detik. Alaska mengalihkan pandangan dari ibunya, dan tanpa sadar, sorot matanya sempat jatuh ke arah Sancha — yang kini tampak lebih tenang, lebih ringan. Tapi detik itu juga ia mengalihkan pandangannya ke jendela.