Amezza adalah seorang pelukis muda yang terkenal. Karakternya yang pendiam, membuatnya ia menjadi sosok gadis yang sangat sulit ditaklukan oleh pria manapun. Sampai datanglah seorang pria tampan, yang Dnegan caranya membuat Amezza jatuh cinta padanya. Amezza tak tahu, kalau pria itu penuh misteri, yang menyimpan dendam dan luka dari masa lalu yang tak selesai. Akankah Amezza terluka ataukah justru dia yang akan melukai pria itu? Inilah misteri cinta Amezza. Yang penuh intrik, air mata tapi juga sarat akan makna arti cinta dan pengampunan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Yang Tak Terduga
Seminggu lebih Evradt pergi ke Inggris. Amezza merasa kesepian. Waktu itu digunakannya untuk mencari tempat lain saja untuk dijadikan studio miliknya.
Setelah 2 hari mencari Amezza menemukan sebuah bangunan yang disewakan di kompleks pertokoan dekat pasar.
Amezza bertanya pada Evradt apakah ia setuju Amezza akan menyewa tempat itu. Evratd mengatakan semuanya terserah Amezza.
Sampai di bulan kedua Amezza ada di Paris ini, Evradt belum pernah memberikan dia nafkah lahir dan batin. Setiap malam Evradt langsung tidur dengan alasan capek. Amezza juga malu untuk menggoda Evradt lebih dulu. sementara semua pengeluaran Amezza diambil dari tabungannya. Amezza pun tak mempermasalahkan itu.
Setelah mengatur studio miliknya selama 3 hari, Amezza pun mulai menggunakan studio nya untuk melukis.
Di hari pertama ia berada di studio Amezza pulang lebih cepat karena ia tahu Evradt akan segera pulang.
Ia menyiapkan makan malam untuk Evradt. Karena menurut informasi dari Evradt kalau pesawatnya akan mendarat jam 4 sore.
Vania entah kenapa tak terlihat sehari ini. Amezza jarang sekali berkomunikasi dengan mama mertuanya. kata-kata Vania kadang ketus kepadanya.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Namun Evradt belum juga sampai. Amezza sudah berulang kali menghubunginya namun ponselnya belum aktif. Makanan yang ia siapkan di atas meja sepertinya sudah dingin.
"Nyonya, makanlah dulu. Mungkin pesawat tuan mengalami delay. Tuan kan tak membawa pesawat sendiri. Tuan naik pesawat komersil." ujar Bianca. Sesungguhnya pelayan itu merasa kasihan pada Amezza.
"Bagaimana kalau Ev datang? Masa sih aku sudah makan lebih dulu."
Bianca hanya bisa menarik napas panjang. Pelayan perempuan itu segera kembali ke dapur. Sedangkan Amezza menatap ruangan makan yang besar itu dengan perasaan hampa. Lilin yang ia pasang pun nampaknya sudah hampir habis.
Perempuan itu berjalan ke arah pintu samping. Ia berdiri di depan pintu sambil menatap malam yang gelap. Angin bertiup perlahan, menerbangkan daun-daun kering di penghujung musim gugur.
Akhirnya Amezza mengalah. Ia masuk kembali ke dalam rumah. Mengunci pintu dan segera menaiki tangga menuju ke kamarnya. Kamar yang besar ini juga membuat hatinya semakin sedih. Amezza memegang ponselnya. Mencoba menghubungi suaminya lagi. Namun nomor ponsel Ev tak juga aktif. Ia menghubungi asistennya, namun ponsel Antonio juga tak aktif.
Ia pun segera mengganti gaunnya dengan gaun tidur. Amezza sengaja sudah menyiapkan gaun tidur yang sangat terbuka. Siapa tahu suaminya akan tertarik. Ia merasa sudah cukup banyak makan selama sebulan ini. Berat badannya juga sudah naik.
Jarum jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Amezza memejamkan matanya. Ia mencoba tak menangis walaupun sebenarnya hatinya sangat sakit.
Hampir saja ia terlelap, saat ia mendengar pintu kamar yang dibuka dari luar. Amezza segera bangun dan melihat suaminya masuk. Kemeja yang digunakannya nampak tak beraturan.
"Ev.....!" panggilnya lembut.
Evradt menatap Amezza. Ia tersenyum. "Hallo sayang....!"
Amezza dapat mencium bau alkohol dari mulut Evradt. Laki-laki itu langsung memeluknya erat. "Aku merindukanmu, sayang. Kau sangat seksi malam ini. Aku suka." kata Evradt lalu segera mencium bibir Amezza dengan penuh napsu.
Amezza tak mampu menolaknya. Ia mencoba mendorong tubuh Evradt namun lelaki itu terlalu kuat. Evradt membanting tubuh Amezza di atas ranjang. Hanya dengan pemanasan yang kesannya terburu-buru, ia kemudian melakukan penyatuan. Amezza memejamkan matanya. Air matanya mengalir, menahan sakit di inti tubuhnya.
*************
Saat Amezza bangun keesokan paginya, ia merasa tubuhnya sakit. Ia turun perlahan dari atas ranjang dan segera ke kamar mandi.
Ia sengaja berendam di air sabun aroka therapy untuk menenangkan pikirannya yang kacau pagi ini. Amezza harus segera ke studio karena ada 2 pesanan lukisan.
Evradt nampak terlelap. Di balik selimut itu, tubuh lelaki itu polos. Amezza memperbaiki selimut yang menutupi tubuh Evradt. Ia meninggalkan memo kecil di atas nakas sebelum akhirnya meninggalkan kamar.
Sewaktu Amezza turun ke bawah, nampak Vania yang baru saja keluar dari ruang gym.
"Selamat pagi, ma." sapa Amezza sopan.
Vania tak menjawab sapaan menantunya. Ia hanya tersenyum seadanya dan berjalan melewati Amezza.
Perempuan itu terdiam di ujung tangga. Ia hampir saja pergi saat mendengar ada suara wanita lain di sana. Ia menoleh ke arah sumber suara itu dan menemukan sosok perempuan yang pernah dilihatnya bersama Evradt.
"Gaby?" Amezza terkejut.
Gaby menoleh ke arah Amezza. Ia tersenyum. "Hallo Amezza."
Vania menatap Amezza. "Gaby akan tinggal di sini. Dia ada syuting film. Semalam ia datang bersama dengan Ev."
Hati Amezza bagaikan tertusuk duri rasanya. Bagaimana bisa mantan tunangan Evradt ada di sini?
Namun sekali lagi gadis itu hanya diam. Ia segera memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Saat ia masuk kamar, nampak Evradt yang baru keluar kamar mandi. Laki-laki itu hanya menggunakan boxer. Ia nampak masih mengantuk.
"Ev, apakah kamu datang dari London bersama Gaby?" tanya Amezza pelan. Ia berusaha menunjukan bahwa dirinya tak cemburu. Hanya sebatas bertanya.
Evradt membaringkan tubuhnya lagi di atas ranjang sambil memeriksa ponselnya.
"Ya." jawabnya pelan.
"Dan Gaby akan tinggal di sini?"
"Ya."
"Tapi Ev.....!"
Evradt membanting ponsel yang di pegangnya di atas kasur. Ia menatap Amezza dengan kesal. "Apanya yang tapi? Rumah ini milikku. Aku berhak mengundang siap saja untuk ada di sini."
"Bukan begitu, Ev."
"Aku masih mengantuk. Jangan ganggu aku dengan sikap kekanak-kanakan mu itu."
Amezza berusaha menguatkan hatinya. Ia keluar kamar sambil menahan tangisnya. Begitu keluar rumah, ia segera meminta sopir untuk mengantarkannya ke studio.
Sengaja Amezza berdiam diri di studio. Berusaha konsentrasi menyelesaikan pesanan lukisan. Sesekali air matanya mengalir. Namun Amezza berusaha terus berpikir positif.
Sampai jam menunjukan pukul 7 malam, Evradt tak meneleponnya. Amezza pun pulang dengan menumpangi sebuah taxi.
Begitu tiba di mansion, Amezza melihat sebuah pemandangan yang menyayat hatinya. Di tepi kolam, nampak Evradt duduk hanya menggunakan celana renang sedangkan Gaby nampak tidur di paha Evradt.
"Apa-apaan ini?" tanya Amezza tanpa bisa menahan rasa cemburunya. Menurutnya ini sudah keterlaluan.
Gaby bangun dari pangkuan Evradt. Ia duduk manis tanpa menjauh. Evradt menatap Amezza.
"Kenapa?" tanya Evradt.
"Kelakukan kalian sungguh tak sopan. Dia hanya mantan tunangan mu sedangkan aku adalah istrimu. Apa yang kalian lakukan ini sungguh tak bermoral."
Gaby yang hanya menggunakan bikini itu menatap Amezza dengan tajam. "Aku hanya ingin bermesraan sebentar dengan mantan tunangan ku. Apakah itu salah?"
"Tentu saja salah. Ev bukan lelaki bujang. Dia sudah punya istri." Amezza hampir menangis.
Vania muncul dari arah belakang. "Amezza, jaga sikapmu. Hormati Gaby. Dia adalah tamu di rumah ini."
"Tapi, ma. Ev dan perempuan gatal ini....."
Plak!
Sebuah tamparan dari Vania menyambar pipi mulus Amezza. Gadis itu terkejut sambil memegang pipinya yang terasa panas. Ini adalah tamparan pertama yang dia dapatkan seumur hidupnya. Evradt segera melangkah masuk ke dalam rumah setelah memakai handuk di tubuh bagian bawahnya. Gaby mengikuti langkah Evradt.
Amezza menatap Vania. Air matanya mengalir deras. "Aku salah apa, ma?"
Vania meletakan jari telunjuknya di jidat Amezza. "Jangan pernah menganggu kesenangan anakku." Ia mendorong tubuh Amezza melalui jidatnya, membuat tangis Amezza langsung pecah. Vania pun meninggalkan Amezza. Perempuan itu berjongkok sambil memegang dadanya.
"Nyonya.....!" Bianca datang dan segera mengangkat tubuh Amezza. "Jangan seperti ini. Nyonya nanti sakit. Nona Vania memang sudah biasa di rumah ini."
"Bagaimana mungkin ia membiarkan mantan tunangannya ada di sini? Apakah mereka tak memperdulikan perasaanku?"
"Jangan menangis, nyonya !"
Amezza memeluk Bianca. Ia ingat dengan Oma Tizza.
************
Mampukah Amezza melewati semua cobaan ini?