Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - MAU AYAH
"Mom," panggil Satria.
Elen menoleh, menatap lekat sang putra yang memanggilnya lirih.
"Ada apa sayang, hm? Kenapa anak Momy belum tidur?" tanya Elen.
Mendekat ke ranjang, kemudian tangannya mengusap lembut kepala Satria.
"Kapan aku punya ayah lagi?" tanyanya dengan nada rendah. Tak berani sedikitpun menatap Elen, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Satria hanya bisa berucap lirih. Memainkan tangannya sambil menunduk.
"Apa Satria keberatan, kalau seandainya kita selamanya hanya hidup berdua? Momy sama kamu?" tanya Elen harap cemas.
Satria terdiam, tak menggeleng ataupun mengangguk.
Terlalu takut meminta sesuatu. Satria takut jika Elen akan marah nantinya.
"Aku hanya mau Ayah di usia genapku, Mom." Satria menunduk, menyandarkan tubuhnya lagi tanpa menatap Sang Momy.
Hati Elen terasa diremas mendengar penuturan sang anak. Bukan, bukan karena egois sebenarnya. Elen hanya belum siap membangun kembali sebuah hubungan, Elen belum siap menerima orang baru lagi dalam hidupnya.
"Kamu mau Ayah? Apa tidak ingin yang lain dulu? Kalau Momy tak bisa mengabulkan bagaimana?" sesak pilu Elen berusaha ia tahan.
Andaikan Satria meminta barang, mungkin akan lebih mudah Elen mengabulkannya sebab tanggal lima kemarin sudah menerima gaji pertama.
Satria terdiam beberapa saat. Mendongkak, kemudian menunduk lagi.
Elen sedih, tak biasanya Satria bersikap seperti ini. Biasanya, anak laki-lakinya itu akan mengerti apapun keputusan dirinya.
"Apa ada hal yang mengganggumu? Apa teman-teman sekolah mengolokmu? Bilang sama Momy!"
"Udah hampir satu minggu aku melihat Ayah Bram di dekat sekolah, Mom! Tapi..."
"Tapi apa?" tanya Elen tak sabar, mendadak ia merasa cemas.
Terlebih saat teringat ekspresi aneh Bram yang tersenyum di hari sidang perceraian mereka. Elen merasa, Bram menyembunyikan sesuatu.
"Tapi saat ku lihat dari dekat, Ayah menjauh!"
Deg.
Elen berpikir, apa Bram akan merebut putranya? Mendadak hatinya gusar mendengar mantan suami melihat sang anak di sekolah.
Bukankah harusnya Elen senang? Sebab Satria diperhatikan oleh ayah kandungnya.
"Mungkin orang lain yang kebetulan mirip, tapi bisa jadi juga itu Ayah Bram. Satria, bagaimanapun Ayah Bram adalah ayah kamu. Kamu jangan pernah membencinya, Ya?"
"Ayah Bram jahat, aku nggak mau, Mom! Ayah sering mukul," ujar Satria.
Kali ini, Elen kesulitan menenangkan Satria. Dirinya dilanda kebimbangan, apakah harus mempertimbangkan Divine atau tetap egois memilih sendiri sedang sang anak butuh sosok vigur ayah.
"Tidurlah sayang, masalah keinginanmu akan Momy pikirkan baik-baik."
"Janji, Mom?"
Elen mengangguk, lalu mengusap kepala sang putra berulang-ulang aggar segera terlelap.
***
Matahari menyambut, cahaya kuning keemasan menerobos masuk lewat celah-celah jendela kamar. Elen bangkit dan terkejut dengan mata membulat sempurna.
"Astaga, jam enam. Mana sempat membuat sarapan," gumam Elen yang bergegas membangunkan Satria lalu keluar kamarnya.
"Kita kesiangan sayang?" panik Elen.
"Tak apa, Mom! Aku bisa sarapan nanti-nanti, kan hari minggu." Satria menyunggingkan senyum manisnya.
Seketika Elen menepuk jidatnya, lupa.
"Pantes alarm Momy gak bunyi, sayang!"
"Hehe, Momy lupa ya?" Satria tertawa, hingga nampak barisan giginya yang putih dan rapi.
Elen mengangguk, "karena sudah terlanjur bangun, anak Momy mau jalan-jalan kemana hari ini?"
"Ehm, aku mau..." Satria nampak berfikir lama, sejurus kemudian menunduk.
"Ketemu Om baik, Mom!"
"Ini hari minggu sayang, Om baik pasti sibuk. Lain kali ya?" bujuk Elen. Menghela napas mendengar keinginan putranya kali ini.
"Tapi, Mom..."
"Satria," panggil Bram. Laki-laki itu sudah berdiri di depan kontrakan Elen setelah bersusah payah menemukan alamatnya.
"Mas..." Elen tercekat, mematung melihat mantan suaminya berada di hadapan mata.
"Ayah," panggil Satria, sedikit ragu kemudian menarik-narik jari Elen.
"Ehm, apa aku boleh mengajak Satria pergi?" tanya Bram.
Mengerutkan kening, kemudian menghela napas.
"Tak boleh. Bukankah Mas sendiri yang tak mau dengan Satria?" Sakit di hati Elen belum sembuh, luka yang Bram torehkan masih menyisakan trauma hingga sekarang. Sejengkal pun tak ingin membiarkan laki-laki itu merebut Satria.
"Aku mohon." Suara Bram terdengar melemah, tak seperti biasanya. Pertahanan laki-laki itu runtuh sudah!
"Mom!" Satria menunduk, jemarinya terlepas dari tangan Elen. Ingin mengatakan sesuatu, tapi urung melihat kilat amarah di wajah Momy-nya.
"Satria sayang!" panggil Bram.
"Mom, Satria mau ayah," ucap lirih bocah itu akhirnya lolos juga.
Elen tertegun, bukan hanya karena sikap Bram tapi juga keinginan Satria.
"Mom,-"
"Hm, tapi sayang?"
"Kali ini saja, Elen." Bram tak menyerah, ia hanya ingin satu kali saja menebus kesalahannya pada sang anak.
"Boleh ya, Mom?"
Elen mengangguk, meski ragu.
"Kamu nggak berniat ngapa-ngapain anakku kan, Mas?" Bagaimanapun, dia darah dagingmu." Akan sangat egois jika ia melarang Bram membawa Satria padahal sang putra sangat ingin ikut.
"Tenang saja, ayo Satria!" ajak Bram mendekat. Elen hanya bisa menatap sang putra yang digandeng tangan mantan suaminya. Ada rasa penasaran menyeruak, juga sikap Bram yang seperti itu membuat dadanya dipenuhi sesak. Mempertanyakan diri, kenapa setelah berpisah laki-laki itu berubah sifatnya?
Flash back on,
"Bram, datanglah ke rumah. Kakek Djaja selalu menanyakan kabarmu?" pinta Noah.
"Baiklah jika memaksa," jawab Bram.
"Ajaklah anakmu juga istrimu!"
"Kau bodoh, kami sudah bercerai!" maki Bram.
"Kalau begitu, ajaklah putramu. Dia pasti senang bermain disini," pinta Noah sekali lagi.
"Oke."
Bram dan Noah memang akrab sejak sekolah, mereka sama-sama nakal sejak dini. Namun, yang Bram tak habis pikir. Noah menjadi sangat penurut jika dengan kakek dan orang tuanya.
Flash back off.
"Ayah kita mau kemana?" tanya Satria.
"Ke rumah teman ayah, mau kan?"
Satria mengangguk, mendengar nada bicara sang ayah sekarang tak tinggi membuatnya tersenyum di boncengan motor Bram.
Hingga motornya berhenti di depan rumah mewah dan Satria merasa familiar.
"Ayah, aku pernah datang kesini!" ujar Satria jujur.
"Hah? Serius kamu?"
Satria mengangguk, "iya, sama Momy dan Paman Daddy!"
Bram merasakan nyeri di hatinya. Namun, Elen berhak bahagia dan kebahagiaan itu bukan dengannya.
Selama ini, sudah cukup wanita itu ia torehkan luka.
Menatap Satria lamat sebelum mengajak sang anak masuk, "Satria, kelak apapun yang terjadi dengan Ayah. Ayah harap kamu tak akan kecewa," mohon Bram.
Satria hanya diam, memory selama ini tentang sikap sang ayah berputar dikepala. Bagi bocah itu, sulit untuk tidak ingat. Namun, Satria cukup senang dengan keberadaan Bram yang berubah.
"Aku hanya berharap ayah membiarkan Momy bahagia," ujar Satria lirih.
Bram mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, ia berikan pada Satria sebelum memasuki rumah Noah.
"Buka nanti setelah kita pulang!" pinta Bram. Satria menurut, ia hanya bisa mengikuti langkah Bram masuk ke dalam rumah setelah bertanya pada satpam yang berjaga.
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....