NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:277
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 - Lembah yang telah Memaafkan

Langit lembah sore itu tampak redup. Asap dari perapian besar perlahan memudar, menyisakan bau kayu hangus dan sisa minyak kemiri yang menetes di batu.

Raka duduk di atas tanah beralaskan anyaman daun kering, jarum kayu masih tergenggam di tangannya, serat sukun di pangkuan belum sepenuhnya dijahit.

‎Dari sisi perapian, seorang pria berdiri diam. Wajahnya separuh tertutup bayangan api yang bergetar.

Di tangannya tergenggam sebuah tongkat panjang dari tulang berwarna pucat.

Ia adalah Fer, lelaki yang dulu memukul kepala Raka saat pertama kali datang ke lembah.

‎Tak ada kata keluar dari bibirnya, hanya tatapan dalam yang bergetar antara penyesalan dan ketakutan.

Perlahan, Fer melangkah mendekat, menunduk rendah, lalu menaruh tongkat tulang itu di depan Raka.

‎“Ini… tongkat hukum bumi,” katanya lirih.

“Suku kami menyerahkan padamu. Kami tahu apa yang telah kulakukan dulu tak pantas dibiarkan tanpa balasan.”

‎Raka menatap tongkat itu lama. Cahaya sore menimpa tulangnya, menampakkan urat halus di dalamnya, seperti jejak waktu yang membeku.

‎Ia menghela napas pelan, lalu bangkit berdiri.

“Fer,” ujarnya lembut, “aku datang bukan membawa hukum, tapi kehidupan.”

‎Suara Raka tenang, namun menembus hening seperti aliran air di antara batu.

“Jika aku membalasmu, apa bedanya aku dengan mereka yang hidup dari dendam?”

‎Fer menunduk dalam, kedua tangannya bergetar.

“Namun hukum bumi berkata, yang bersalah harus menebus…”

‎“Tidak semua luka perlu ditebus dengan luka,” potong Raka pelan.

“Kau memukulku saat takut, bukan karena benci. Dan aku hidup, tidak mati.

Itu berarti bumi telah memilih untuk memaafkan kita berdua.”

‎Fer terdiam. Matanya memerah, seolah baru pertama kali mendengar seseorang berbicara dengan hati yang sebening itu.

‎Raka menunduk, lalu menyentuh tongkat tulang itu.

Ia mengangkatnya perlahan, kemudian menancapkannya ke tanah di antara mereka.

“Biar tongkat ini menjadi saksi,” katanya, “bahwa hari ini, dendam berakhir di sini.”

‎Hening. Angin lembah berembus lembut, menggoyang daun-daun sukun di atas mereka.

Tetua Latahna yang menyaksikan dari kejauhan mengangguk perlahan, wajahnya teduh.

‎Fer jatuh berlutut, air matanya menetes di tanah kering.

“Aku bersalah, tapi kau memberi aku hidup yang baru, Raka.”

‎Raka hanya tersenyum.

“Tak ada hidup yang baru tanpa memaafkan masa lalu. Bangkitlah, Fer. Mari kita jaga lembah ini bersama.”

‎Matahari sore menyelinap di sela awan kanopi abadi, menembus lembah dengan cahaya keemasan.

Di antara kabut lembut dan daun sukun yang bergoyang, tampak dua sosok berdiri berdampingan —

seorang asing yang membawa ilmu dari luar, dan seorang putra lembah yang akhirnya menemukan kedamaian.

Hari itu, lembah Latahna tak hanya belajar tentang pakaian dan minyak,

tetapi juga tentang cara bumi memulihkan luka tanpa menumpahkan darah.

Tiga musim telah berlalu sejak Raka tinggal di suku Latahna.

Malam turun perlahan di perkampungan suku Latahna.

Angin membawa aroma damar dan bunyi serangga dari tepi hutan.

Api unggun di tengah balai utama berkedip lemah, menari di wajah para tetua yang duduk melingkar.

Para tetua berkumpul di pondok sederhana dari bambu.

Di hadapan mereka, Raka menunduk hormat.

“Aku datang untuk berpamitan,” katanya dengan suara rendah. “Besok pagi aku akan pergi ke timur, ke tanah suku Yaka.

Aku harus menepati janji kepada pohon Sajar di Gunung Salak menyampaikan pesan agar mereka berhenti menebang pohon dan melukai bumi.”

Ruangan seketika hening.

Salah satu tetua berdiri, matanya menyipit marah,

“Kau bicara seolah kau tahu segalanya, anak muda! Darimana kau tahu siapa yang merusak bumi?, Apa kau melihat dari mata langit, Raka?

Mereka jauh, lebih dari tiga lembah dan dua gunung. Apa yang membuatmu begitu yakin?”

Raka tidak membalas dengan marah. Ia hanya mengangkat pergelangan tangannya gelang dari akar pohon Sajar yang berwarna hijau tua bergetar lembut, mengeluarkan cahaya samar.

“Pohon Sajar memberiku anugerah untuk berbicara dengan akar-akar bumi. Mereka saling berbagi suara, dari Gunung Salak hingga lembah ini.”

“Sajar mengajariku bahasa akar. Dari Gunung Salak di barat, hingga hutan lembah di timur, mereka semua terhubung.

“Dari tempat ini aku bisa mendengar jeritan tanah yang kering, juga pohon-pohon yang tumbang. Semua pohon saling terhubung mereka berbagi kesadaran, seperti darah yang mengalir di tubuh bumi.

Ketika satu pohon menjerit karena luka, pohon lain ikut berduka. Dari sanalah aku tahu, bumi menangis karena tangan manusia.”

Para tetua saling berpandangan. Beberapa menunduk, sebagian lain terdiam dalam rasa kagum dan takut.

Keheningan turun.

Hanya api yang berderak dan suara burung malam yang bersahutan dari kejauhan.

Raka melanjutkan, “Aku tak datang untuk menghakimi. Aku hanya membawa pesan agar kita belajar mendengar bumi kembali. Karena aku sudah mendengar lidahnya dan bumi sedang sakit.”

Tetua Aru menatap Raka lama sekali, lalu berkata lirih, “Jika benar kau telah mendengar lidah bumi, maka jangan biarkan suara itu padam.

Tapi ingat, perjalanan ke timur bukan hanya tentang pohon, tapi tentang manusia yang sudah lupa pada tanahnya sendiri.”

Raka menunduk hormat. “Aku mengerti, Tetua.”

Dalam hati, Raka tahu, perjalanan ke timur bukan hanya perjalanan tubuh, tapi perjalanan jiwa menuju akar bumi yang lebih dalam.

Api unggun di tengah pondok mulai merendah.

Bara merahnya berdenyut pelan, menyoroti wajah para tetua yang tampak ragu.

Suara bambu di dinding pondok terdengar seperti napas bumi yang ikut menyimak percakapan malam itu

Setelah Raka menyampaikan niatnya untuk pergi, seorang tetua berkulit keriput dan berambut putih panjang bersuara,

“Raka... sebelum kau melangkah jauh, kami ingin tahu satu hal. Siapa yang kau dengar ketika bicara pada bumi?”

Semua mata memandangnya. Raka menatap api yang mulai padam, lalu menjawab pelan,

“Yang kudengar bukan roh yang meminta untuk di sembah, tapi napas kehidupan dari Sang Pencipta yang menciptakan bumi.”

Beberapa tetua saling berpandangan. Suara gumam terdengar di sudut ruangan.

Tetua Aru yang dikenal paling keras berkata,

“Di lembah ini, kami percaya pada roh bumi, roh cahaya, dan roh kegelapan. Mereka menjaga keseimbangan dunia.

Jika salah satu dilupakan, maka bumi bisa murka.

Tapi kau bicara tentang satu pencipta yang berada di atas semua roh itu... bukankah itu menolak kepercayaan kami?”

Raka menunduk sejenak, lalu menatap Aru dengan mata tenang.

“Aku tidak menolak, Tetua. Aku hanya melihat bahwa roh yang kalian jaga adalah bagian dari cahaya-Nya.

Seperti sungai yang mengalir dari satu mata air, begitu pula roh-roh bumi mengalir dari satu sumber kehidupan.

Siapapun yang merusak bagian bumi, sama saja merusak sumber yang menghidupi kita semua.”

Ruangan kembali hening.

Tetua lain, perempuan tua bernama Sani, menatap Raka dengan mata lembut.

“Jadi menurutmu, menjaga bumi bukan karena takut pada roh, tapi karena menghormati Sang Pencipta?”

Raka mengangguk. “Roh bumi tetap ada, Tetua Sani. Tapi mereka bukan untuk ditakuti, melainkan didengarkan.

Ketika kita menanam, merawat, dan memanen dengan hati yang jujur, roh bumi akan bahagia karena mereka mendengar kehendak yang sama dari Sang Pencipta.”

Sani tersenyum samar, sementara Aru masih menunduk, memegang lututnya kuat-kuat.

“Hmm… mungkin selama ini kami terlalu sibuk menenangkan roh yang marah, sampai lupa mengapa bumi marah,” gumamnya lirih.

Raka membungkuk hormat.

“Setiap suku punya caranya sendiri menjaga keseimbangan. Aku hanya ingin berjalan dan mendengar suara bumi dari arah lain.

Semoga cahaya Sang Pencipta juga menyinari lembah ini.”

Angin lembut berhembus, meniup api hingga padam.

Dalam gelap, hanya cahaya gelang akar di tangan Raka yang berpendar samar,

seolah bumi sendiri mengangguk memahami percakapan antara manusia dan Sang Pencipta melalui lidah bumi.

Raka menatap bara yang memudar, memikirkan betapa sulitnya membuat manusia mendengar suara bumi tanpa takut pada langit.

Malam itu, setelah semua tetua kembali ke gubuk mereka, Raka duduk di tepi sungai kecil yang mengalir melewati desa. Ia menatap pantulan cahaya awan menutupi bulan, mendengar bisikan halus dari akar-akar pohon di bawah tanah seolah bumi sendiri sedang mendoakannya.

Besok pagi, saat embun masih menetes di ujung daun, Raka akan melangkah meninggalkan suku Latahna

Pagi itu lembah Latahna berbalut kabut tipis.

Embun masih menempel di daun-daun sukun, dan udara membawa aroma damar yang lembut.

Raka berdiri menghadap timur.

Di belakangnya, para warga Latahna telah berkumpul di tepi lembah wajah-wajah yang dulu asing, kini menatapnya dengan mata penuh haru.

Fer melangkah mendekat sambil membawa sesuatu yang dibungkus kain serat sukun.

“Ini punyamu” katanya lirih, lalu memberikan tombak milik Raka.

.

Tombak batu rijang memantulkan cahaya pagi. Ujungnya masih tajam, tapi kini terasa lebih seperti lambang persahabatan daripada senjata.

Raka menerimanya dengan senyum kecil.

“Terima kasih, Fer. Aku tidak akan melupakan lembah ini.”

Fer menunduk dalam, suaranya bergetar.

“Dan kami tidak akan melupakanmu, Raka. Kau datang membawa cahaya, bukan dendam.”

Dari barisan para tetua, Sani melangkah maju.

Tangannya yang keriput membawa sebuah tabung kecil dari anyaman bambu.

“Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan. “Belalang-belalang kering, hasil panen musim lalu. Makanan ringan untuk perjalananmu di musim kemarau.”

Raka menerimanya dengan hormat. “Terima kasih, Tetua Sani. Aku akan menjaganya seperti menjaga doa dari lembah ini.”

Matanya menyapu sekeliling. Kini hampir seluruh warga Latahna telah mengenakan pakaian dari serat sukun lembut, ringan, dan menutupi tubuh mereka dengan wajar.

Raka tersenyum kecil.

“Lembah ini telah belajar dari bumi. Aku tidak perlu khawatir lagi.”

Tetua Aru maju mendekat, tongkatnya mengetuk tanah perlahan.

“Sebelum kau pergi,” ucapnya berat,

“ingatlah satu hal.

Di timur, di balik dua punggung gunung, ada seekor harimau besar. Itu wilayahnya.

Siapa pun yang melewati jalurnya tanpa izin, jarang bisa kembali. Semoga roh bumi dan hukum alam melindungimu, Raka.”

Raka menunduk dalam. “Aku akan berjalan dengan hati yang tenang. Karena bumi tidak melukai mereka yang menghormatinya.”

Ia berbalik, melangkah perlahan meninggalkan lembah.

Langkahnya ringan, tapi setiap pijakan terasa seperti menggores kenangan di tanah yang pernah menyembuhkan luka.

Fer menatap punggung Raka sampai sosok itu mulai tertelan kabut timur.

Angin berhembus lembut, membawa daun-daun sukun berjatuhan seperti salam perpisahan.

Raka menapaki jalan setapak yang menurun ke lembah lain.

Suara air, suara burung, dan desir angin bersatu menjadi lagu perjalanan.

Ia sempat menoleh sekali, melihat asap tipis dari desa Latahna melambung ke langit.

Lalu ia melanjutkan langkahnya, menyusuri jalan menuju tanah suku Yaka.

Namun ketika matahari sudah naik sepertiga langit…

tanah tiba-tiba bergetar pelan.

Seekor burung hitam terbang rendah melintas di atas kepala.

Kemudian..

“GRAAARRR!!!”

Suara keras menggema dari arah timur, seperti raungan besar yang membuat dedaunan bergetar.

Raka berhenti.

Tangannya refleks menggenggam tombak batu rijang dengan waspada.

Dari balik kabut tipis, terdengar langkah berat… dan napas hewan yang dalam.

Raka memejamkan mata sejenak.

“Apakah itu… peringatan dari bumi?” gumamnya pelan.

Lalu ia membuka mata, menatap ke arah suara itu.

Di ujung jalan berbalut kabut sesuatu sedang menunggu.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!