cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps # Kak Angga berusaha menjelaskan tapi terlambat aku di lamar sama kak regi
sejak semalam aku kirim pesan itu ,pesan yang kutulis dengan air mata dan keberanian yang hampir habis.
Awalnya aku pikir setelah itu aku akan tenang, tapi ternyata tidak semudah itu. sesekali, aku masih menatap ponselku berbunyi terus menerus, banyak telepon yang terlewat dan pesan dari “Kak Angga” muncul di layar, hanya bilang, “Maaf, semua cuma salah paham.” Tapi tetap saja aku abaikan l.
pikiran yang kembali datar.
beberapa hari sesudah pulang dari rumah sakit, tubuhku memang sudah sehat, tapi hatiku belum. Luka itu masih terasa,kadang perih, kadang mati rasa.
Setiap pagi, aku duduk di balkon kamar sambil menyeruput teh hangat. Dari sini, aku bisa melihat jalan depan rumah yang ramai. Anak-anak sekolah lewat, ibu-ibu berbelanja, suara motor bersahutan. Dunia tetap berjalan, meski hatiku belum sanggup melangkah.
Kalo mamah ada di rumah,Mama selalu nanya bahkan beberapa kali selalu menatapku dengan cemas.
“Dek, kamu gak keluar rumah dulu? Ketemu teman kek, jalan-jalan kek,” katanya
Kadang aku hanya tersenyum lemah. “Nanti aja, Ma. Lagi pengin di rumah dulu.”
Mama selalu menghela napas. “Kamu tuh jangan terlalu nyimpen perasaan sendirian. Mama tahu kamu kecewa, tapi jangan disiksa sendiri, ya.”
itu percakapan kami setiap paginya karena kebetulan mamah hari ini lagi kepasar jadi terngiang di kepalaku,
Aku hanya diam. Kalau saja Mama tahu seberapa dalam kecewanya aku, mungkin beliau akan mengerti kenapa aku memilih diam. Kadang, diam itu satu-satunya cara untuk bertahan.
tiba-tiba di luar ada suara motor berhenti, dan membuka pagar rumah pas aku lihat ternyata kak Angga, dan aku kembali lagi masuk ke kamar tidak menghiraukan dia, bahkan pintu aku kunci agar dia gak bisa masuk dan benar saja kak Angga tiba-tiba mengetuk pintu, ,,
" dek udah bagun belum dek, ini kaka , " dia sudah bolak-balik mengelilingi rumah, tetap saja nggak bisa masuk karena pintunya aku kunci, selalu dia menelpon aku terus-menerus tapi tidak aku angkat, dan dia mengirim pesan " dek kamu belum bangun ya ?" tanya dia ke aku tapi aku tetap saja tidak membalas pesan dari dia, terus dia menelpon mama " mah cila belum bangun ya ini aku udah di depan rumah tapi pintunya dikunci, ?" tanya dia sama mama, " oh mungkin cila tidur lagi soalnya tadi Mama telepon dia masih dia angkat kok, mungkin abis makan cila minum obat jadi ngantuk lagi" jawab Mamah samar-samar karena aku dengar dari kejauhan, " oh iya mah kalau begitu aku balik lagi aja mah ya karena kebetulan Hari ini aku kerja juga tadinya aku cuma mampir ke sini mau lihat keadaannya cila, tapi kalau dia masih tidur nggak papa nanti aku ke sini lagi aja" lalu kak Angga menutup teleponnya, dan dia balik lagi, dan menutup pintu pagarnya kembali,
Karena aku belum siap ketemu sama kak Angga aku belum siap sakit hati, aku belum siap dengan semua itu aku masih bingung dengan perasaanku ini jadi lebih baik aku menghindari saja darinya.
Malam pun tiba , aku membuka kembali album foto di ponsel. Ada begitu banyak kenangan foto saat aku sakit dan Kak Angga duduk di sebelahku sambil ngelawak supaya aku ketawa, foto saat kami makan di pinggir jalan sambil motoran , bahkan foto selfie di mana dia tiba-tiba melingkarkan tangan di bahuku.
Aku menatap satu per satu, sampai akhirnya berhenti di satu foto, foto aku dan dia di depan taman rumah sakit. Senyum kami di situ terlihat begitu tulus. Aku mengetuk layar pelan, lalu menahan napas.
“Kenapa semua harus berubah, Kak?” bisikku pelan.
Tapi kemudian, aku tersenyum kecil. Karena aku sadar, mungkin dia tidak berubah. Mungkin sejak awal aku yang salah menafsirkan semuanya.
Aku mulai menghapus foto-foto itu satu per satu. Setiap kali menekan tombol delete, rasanya seperti mencabut duri kecil dari hati. Perih, tapi perlu.
Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar berani menghapus fotonya yang terakhir. Layar ponsel kosong. Tapi anehnya, dadaku terasa sedikit lebih ringan.
Beberapa hari kemudian, sore hari aku memutuskan keluar rumah. Aku butuh udara segar. Butuh suasana baru. Aku memutuskan untuk pergi ke taman perumahan, tempat yang dulu sering jadi pelarian setiap kali pikiranku penuh.
Angin sore menyapa lembut, membawa aroma rumput basah setelah hujan. Aku duduk di bangku kayu dekat kolam kecil, memandangi anak-anak yang berlarian dengan tawa lepas. Rasanya aneh melihat kebahagiaan orang lain bisa menenangkan hatiku sedikit.
Tiba-tiba seseorang menyapa dari belakang.
“Eh, kamu cila kan?”
Aku menoleh. Seorang pria yang cukup dewasa badan nya berisi berdiri di sana, dengan senyum ramah dan mata yang terasa familiar.
“Iya. kamu siapa ya?”
“Regi. Ingat gak? kalo kamu lewat mau pergi ke sekolah aku selalu nyapa kamu,Dulu aku sering kerumah kamu kalo ada kerja sama sama ayah kamu.”
Aku memicingkan mata, berusaha mengingat. Dan benar wajahnya memang tidak asing.ohh iya om aku ingat,
Dia tertawa kecil. “Jangan panggil om dong kaka aja, aku masih muda ko, Wah ternyata kamu masih inget juga. Aku kira kamu udah lupa.”
Kami mulai mengobrol. Tentang banyak hal , tentang ayah, tentang pekerjaan dia sama ayah, tentang banyak hal ,aku bisa tertawa tanpa pura-pura.
“Sekarang kaka sibuk apa jarang kerumah lagi kenapa ?” tanyaku.
“Aku sekarang masih menjalani usaha yang dulu-dulu, cuma sekarang lagi sibuk-sibuknya”
“Wah keren. Aku aja masih bingung mau kerja di mana, haha.”
“ lah kan kamu masih sekolah masa kamu mau kerja sih” Jawab dia sambil tertawa
Dia tersenyum, seolah tahu aku sedang menahan sesuatu.
“Kalau kamu butuh teman ngobrol, aku sering nongkrong di taman ini. Biasanya sore,” katanya ringan.
Aku hanya mengangguk. “Makasih,kak”
" oh iya aku minta nomer kamu "
" Boleh kak " sambil aku liatin nomor telepon aku sama kak regi
setelah itu kami sama-sama pamit.
Hari-hari berikutnya aku mulai sering ke taman itu. Kadang sendirian, kadang kak regi datang. Dia bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi entah kenapa, kehadirannya menenangkan. Tidak ada tekanan, tidak ada harapan yang menggantung. Hanya dua orang yang saling memahami kesunyian masing-masing.
Suatu sore, saat kami duduk berdua di bangku yang sama seperti pertama kali bertemu, Regi menatapku.
“ besok aku mau main ke rumah kamu Ayah kamu ada kan?” tanyanya pelan.
Aku terdiam. “adakah besok ayah aku pulang dari luar kota?”
“ Iya aku mau ajak mama aku juga, jarang-jarang aku ke tempat itu jadi besok aku sengaja sama mama mau ngeliwet di rumah kamu.”
" Iya kak boleh" dengan polosnya jawaban aku
sama sekali aku tidak punya pikiran yang jelek sama dia,
Esok harinya pun tiba seperti biasa kak Angga selalu menelpon dan mengirim aku pesan tapi aku tidak pernah mengangkat telepon dari dia dan membalas pesan dari dia.
tidak lama setelah itu ternyata kak regi datang ke rumah ternyata benar dia datang bersama mamanya, yang menyambut dia hanya mama dan ayah aku karena memang Ayah aku cukup dekat sama kak regi, aku cuma diam di kamar menatap layar handphone aku yang terus berdering, kak Angga juga tidak datang ke rumahku karena mungkin dia tahu Ayah aku sedang ada di rumah, karena kalau Ayah di rumah tidak ada laki-laki yang boleh main ke rumah,
Mamah dan kak regi ternyata memulai percakapan bersama ayah,
" pak maksud kedatangan kami kemari kami ingin mempunyai maksud baik ingin melamar anak bapak untuk menjadi istri anak saya regi, " ucap Mamah kak regi
tidak disangka ternyata kak regi datang bersama mamanya mau melamar aku,
" Iya kami lumayan cukup dekat dan selalu ngobrol sama cila, bahkan kami suka ketemu, karena saya benar-benar yakin silakan menjadi istri yang baik buat saya," ucapan kak Regis setelah mamahnya
aku di situ terkejut sekaligus terdiam tidak berkata apapun.
pas dengar ucapan kak regi,
dan di situ pun Ayah tidak tinggal diam ayah langsung menjawab
" maaf saya bukan bermaksud menolak, karena kebetulan anak saya masih sekolah dia belum siap untuk menikah, kalaupun nanti dia sudah lulus dan kalian berjodoh, pasti saya juga akan merestui tapi untuk sekarang ini saya tidak akan merestui, karena saya ingin anak saya fokus untuk belajar,"
mungkin setelah mendengar itu kak regi kecewa setelah ngobrol lama mungkin ada kali 1 jam Mereka pun pergi bahkan aku tidak muncul keluar aku hanya diam di kamar, tapi setelah mereka pergi Aku baru keluar dari kamar
aku bertanya sama ayah dengan polosnya aku pura-pura nggak tahu
" Saya barusan ada siapa?"
jawab ayah dengan sedikit nada marah" nggak punya pikiran banget dia kan umurnya lebih jauh dari kamu bahkan status dia sudah duda dan mempunyai anak dua pula kok berani-beraninya dia datang ke sini untuk melamar kamu mana dia bilang suka bertemu sama kamu itu benar??"
" Iya ya aku suka ketemu sama dia tapi itu nggak sengaja itu secara kebetulan aja kami ketemu di jalan saling sapa seperti biasa ya, aku ngobrol sama dia Karena aku pikir dia teman bisnisnya ayah jadi ya Aku nggak punya pikiran sampai ke situ yah bahkan aku juga nggak tahu kalau status dia sudah duda apalagi punya anak. kalau emang dari awal aku tahu aku nggak akan mau ngobrol sama dia" jawabku sedikit meyakinkan ayah.
Mama juga ikut menjawab" tuh kan Mama bilang juga apa mama lebih setuju cila sama Angga aja dia Anaknya baik sopan perhatian, apalagi yang kurang dari dia ,dia hanya bekerja sebagai dept kolektor
nggak ada yang salah kan dari pekerjaan dia"
" nggak ada yang salah gimana anak kita kan masih sekolah masa sudah disuruh pacaran sih, nanti juga kalau dia udah lulus ada waktunya dia pacaran mau sama siapapun aku nggak akan melarang, apalagi aku ingin cila nikah sama abdi negara, yang punya gaji tetap penghasilannya pun tiap bulan sudah menentu, Dia nggak akan ditinggalin, jadi dia bisa tetap di rumah dan aman dijaga oleh suaminya maksud aku itu mah" jawab ayah yang meyakinkan mamah
karena aku capek mendengar mereka ngobrol aku langsung pergi ke kamar.
Malamnya, aku dengan hati yang sedikit lebih ringan. Aku teringat kata-kata, mamah tadi dan untuk pertama kalinya aku percaya bahwa mungkin benar, waktu bisa menyembuhkan. tapi di sisi lain Aku teringat dengan kata-kata kak Angga, yang dulu pernah dia ucapkan, kalau dia juga ada seseorang yang spesial, terlebih aku melihat pesan dia bersama wanita yang bernama Mey itu cukup membuat aku terasa sakit,
Tapi di sisi lain, bayangan Kak Angga masih sesekali muncul di pikiranku. Kenangannya belum sepenuhnya pudar. Mungkin butuh waktu lebih lama.
beberapa saat kemudian
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
dari kak Angga “Dek, aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Aku tahu kamu marah, tapi aku pengin minta maaf. Tentang Mey,aku bisa jelasin, tapi terserah kamu mau denger atau enggak.”
Jantungku berdegup kencang lagi. Aku mematung.
Rasanya seperti ditarik kembali ke masa yang sudah berusaha kulupakan. Tanganku gemetar di atas layar. Aku mengetik… lalu menghapus. Mengetik lagi… lalu berhenti.
Akhirnya aku menutup ponsel dan meletakkannya di meja.
Aku belum siap.
Belum saatnya membuka luka yang baru mulai mengering.
Aku memilih tidur malam itu tanpa membalas.
Tapi entah kenapa, di antara mimpi dan nyata, aku mendengar suaranya samar,memanggil namaku dengan nada yang dulu membuatku jatuh cinta.
3 hari berlalu. Aku lupa dengan masalah ku. sore itu aku sepulang dari sekolah sebelum keluar dari gerbang menelpon Fitri teman sekelas aku," fit kamu di mana Kamu udah pulang belum, kalau kamu ada di kosan aku ke kosan kamu ya??"
" hai Cila aku udah pulang kok ini aku lagi di kosan ke sini aja aku tungguin ya"
Aku berteman sama Fitri sudah lama tapi kamu hanya teman saling sapa aja, cuman akhir-akhir ini kami agak sedikit dekat Karena suka ngobrol, dan saling cerita satu sama lain akhirnya kami cukup dekat tapi tidak sedekat aku sama Yuli, kebetulan sore itu aku nggak mau cepet-cepat pulang ke rumah jadi aku ingin mampir ke kosannya Fitri, aku menancap gas keluarlah aku dari gerbang sekolah.
dan sesampainya aku di seberang jalan kosannya Fitri aku belok seperti biasa aku pakai sensen karena jalannya agak sedikit menurun jadi aku membawa motor sedikit perlahan, seperti biasa aku lirik kiri kanan dulu tapi tidak disangka ternyata pas aku belok di tengah-tengah ada motor melaju sangat kencang dari belakang aku, dan kita satu arah dia boncengan berdua menabrak motor aku, dan di situ kecelakaan pun terjadi, motor aku terpental jauh, pas aku terlempar bahkan sepatu nggak tahu ke mana, dan aku sendiri tidak sadarkan diri,