NovelToon NovelToon
DEWA SAHAM

DEWA SAHAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LANANG DAMAR PANULUH

Embun turun lembut di lereng Gunung Slamet, membungkus desa kecil Gumalar dalam kabut tipis. Fajar menembus dedaunan bambu dan pohon randu yang menjulang, sementara suara ayam jantan saling bersahutan dari kejauhan. Di tengah keheningan itu, terdengar tangisan bayi yang nyaring dari sebuah rumah kayu beratap seng di tepi sawah.

Tangisan itu menjadi tanda kehidupan baru di desa itu — kehidupan yang lahir dari misteri dan luka.

Retno, yang kini dipanggil Mbak Sari, terbaring di dipan kayu dengan tubuh lemah. Keringat dingin membasahi dahinya, tapi senyum tipis muncul di wajahnya ketika bidan desa menaruh bayi mungil di pelukannya. Anak itu berkulit cerah, matanya tajam meski baru lahir, seolah menatap dunia dengan rasa ingin tahu yang dalam.

“Laki-laki, Mbak,” ucap bidan dengan suara lembut. “Sehat dan kuat. Panjenengan luar biasa, lahirannya lancar sekali.”

Sari menatap bayi itu lama, menelusuri wajah kecilnya dengan ujung jari. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam dadanya — rasa haru, cinta, sekaligus kekosongan. Ia tidak tahu siapa ayah anak itu. Tidak tahu dari mana datangnya, dan mengapa hatinya terasa pilu setiap kali melihat mata bayi itu. Tapi yang ia tahu pasti: anak itu adalah hidupnya kini.

“Namanya siapa, Mbak?” tanya bidan pelan.

Sari terdiam lama, menatap ke luar jendela di mana matahari pagi mulai menyinari kabut.

“Lanang,” katanya akhirnya. “Lanang Damar Panuluh.”

Bidan tersenyum. “Bagus sekali artinya. Damar… cahaya. Panuluh… penerang. Semoga dia jadi anak yang membawa terang untuk panjenengan, Mbak.”

Sari mengangguk pelan, menatap bayi itu dengan mata berkaca. “Iya… semoga begitu.”

Dan sejak hari itu, nama Lanang Damar Panuluh mulai dikenal di desa kecil itu. Seorang anak yang datang dari langit dan rahasia.

Tahun-tahun berlalu. Waktu berjalan seperti air sungai yang sabar, mengikis luka tanpa disadari. Sari tumbuh menjadi bagian dari desa. Ia bekerja di balai desa, mengajar anak-anak membaca dan menulis, menolong ibu-ibu belajar berhitung sederhana, dan menjadi panutan bagi banyak perempuan.

Kecerdasannya menonjol, cara bicaranya lembut tapi teratur, membuat semua orang menghormatinya. Namun di balik senyumnya, selalu ada jarak — semacam kehampaan yang tidak bisa dijelaskan.

Ia tidak pernah benar-benar mencari asal-usulnya. Setiap kali mencoba, rasa sakit di kepala datang begitu kuat, seolah ingatannya menolak untuk kembali. Maka ia memilih berdamai dengan kenyataan: bahwa dirinya kini hanyalah Mbak Sari, ibu tunggal dari seorang anak laki-laki yang luar biasa.

Lanang tumbuh cepat. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata. Saat anak-anak lain masih belajar menulis huruf, Lanang sudah bisa membaca papan petunjuk dan menghitung dengan jari tanpa diajari.

Warga sering menyebutnya “anak ajaib dari Sari.”

Pada usia tujuh tahun, ia mulai bersekolah di SD Negeri di desa sebelah. Jaraknya dua kilometer, tapi setiap pagi Sari selalu menggandeng tangannya melewati jalan tanah yang berkelok dan jembatan bambu di atas sungai kecil. Kadang mereka berjalan dalam kabut, kadang diterpa hujan, tapi tak pernah sekalipun Sari mengeluh.

“Lanang, kalau belajar jangan cuma buat pinter, tapi buat ngerti hidup,” ucapnya suatu pagi sambil menyiapkan bekal nasi bungkus dan air minum di botol kecil. “Hidup itu kadang gak selalu adil, tapi kita harus tetap baik.”

Lanang mengangguk, dengan mata yang jernih dan dewasa untuk usianya. “Iya, Bu. Aku pengin bisa bantu Ibu kerja di balai desa nanti.”

Sari tersenyum, menepuk bahunya. “Kamu bantu Ibu cukup dengan rajin belajar dan jadi anak baik.”

Anak itu tersenyum, lalu berlari menembus kabut pagi dengan seragam putih merah yang mulai lusuh. Suara tawanya menggema di antara pepohonan.

Di sekolah, Lanang cepat menonjol. Guru-guru terkejut karena daya ingatnya luar biasa. Ia bisa menghafal pelajaran hanya dengan sekali baca, menggambar peta Indonesia dengan detail, dan menjawab soal matematika tanpa harus mencoret-coret di kertas.

Bahkan kepala sekolah sering memanggil Sari ke ruang guru, sekadar untuk memuji anaknya.

“Bu Sari, anak panjenengan ini luar biasa. Saya jarang lihat anak desa punya daya tangkap seperti itu. Apa Ibu dulu guru juga?”

Sari tersenyum samar, menatap meja kayu dengan pandangan jauh.

“Saya… dulu sepertinya pernah mengajar, Pak. Tapi sudah lupa di mana.”

Guru itu tidak banyak bertanya lagi. Semua orang di desa sudah tahu bahwa Mbak Sari adalah misteri yang tidak pernah dibuka.

Hari berganti tahun. Sari membesarkan Lanang dengan kasih sayang yang nyaris sempurna. Ia mengajarkan disiplin, kesederhanaan, dan rasa hormat pada alam. Mereka menanam sayur di kebun belakang, menjemur padi bersama tetangga, dan setiap sore duduk di beranda menatap langit gunung yang berubah jingga.

Kadang Sari menatap wajah Lanang lama sekali, mencoba mencari sesuatu yang hilang. Ada garis halus di wajah anak itu yang terasa begitu akrab — bentuk mata, lengkung senyum, cara menatap yang penuh keyakinan.

Namun setiap kali hampir mengingat, kepalanya terasa berdenyut, dan kenangan itu menguap seperti asap.

Suatu malam, ketika mereka berdua sedang duduk di depan tungku, Lanang bertanya dengan polos,

“Bu, kenapa aku nggak punya Bapak?”

Pertanyaan itu membuat Sari terdiam lama. Api tungku memantulkan cahaya di matanya yang tiba-tiba basah. Ia menatap anak itu, tersenyum pelan, meski hatinya gemetar.

“Bapakmu jauh, Nak,” katanya akhirnya. “Tapi aku yakin… di mana pun dia berada, dia sayang sama kamu.”

Lanang menunduk, lalu mengangguk. “Aku juga sayang sama Ibu.”

Sari memeluknya erat. Dalam peluk itu, entah kenapa, dadanya terasa nyeri — seolah ada nama yang berusaha muncul dari balik kabut pikirannya, tapi selalu terhalang dinding tebal yang tak terlihat.

Musim terus berganti. Lanang kini duduk di kelas lima SD. Ia menjadi juara umum berturut-turut dan sering mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat tingkat kabupaten. Wartawan lokal pernah datang meliput, dan fotonya muncul di koran daerah dengan judul “Anak Desa Gumalar, Si Jenius Kecil dari Lereng Gunung.”

Sari membaca berita itu dengan mata berkaca-kaca. Ia bangga, tapi juga diliputi rasa takut yang tak dimengerti.

Setiap kali nama anaknya disebut di luar desa, hatinya berdebar, seolah sesuatu di masa lalu bisa mendengarnya.

Di malam hari, ketika Lanang sudah tidur, Sari sering duduk di depan jendela memandangi langit. Ia tidak tahu kenapa kadang ada perasaan sepi yang tiba-tiba datang — seperti rindu pada seseorang yang tak diingat wajahnya.

Hanya suara samar di dalam mimpi yang kadang datang memanggil.

“Retno… jaga dia baik-baik…”

Ia akan terbangun dengan napas tersengal, menatap bayangan wajahnya di cermin, dan bertanya pelan,

“Retno itu siapa…?”

Tapi seperti biasa, angin gunung hanya menjawab dengan sunyi.

Sementara itu, jauh di Jakarta, Arif Dirgantara duduk di ruang kerjanya di lantai 32 Dirgantara Tower. Tahun-tahun telah berlalu, tapi di mejanya masih ada satu foto — foto pernikahan sederhana di Bandung yang mulai pudar warnanya.

Ia tidak pernah menikah lagi. Setiap bulan, ia mengirim orang untuk mencari kabar tentang istrinya, tapi hasilnya selalu sama: nihil.

Hanya satu kali ia mendapat petunjuk samar — laporan tentang seorang perempuan di Pemalang yang kehilangan ingatan, dengan seorang anak laki-laki. Tapi tanpa nama jelas, tanpa bukti, dan terlalu banyak waktu yang sudah lewat, laporan itu tenggelam di antara berkas-berkas perusahaan.

Namun malam itu, ketika ia menatap keluar jendela melihat lampu kota Jakarta yang berkilau, ada rasa aneh di dadanya. Seperti firasat lama yang bangkit lagi.

“Retno… kamu masih hidup, ya?”

Ia menutup mata, menahan napas panjang. Di luar sana, mungkin di tempat yang tidak pernah ia bayangkan, darah dagingnya sedang tumbuh menjadi cahaya kecil yang menerangi dunia.

Di bawah langit Pemalang, Lanang Damar Panuluh berdiri di halaman sekolah, menatap bendera merah putih yang berkibar di atas tiang.

Matanya menyala penuh semangat. Angin gunung mengibarkan rambutnya yang mulai panjang, dan di wajah itu — samar-samar — terpancar ketegasan dan sorot mata seorang Dirgantara.

Ia menggenggam erat medali kecil yang baru diterimanya, lalu menatap ke arah hutan di kejauhan.

Entah mengapa, di dalam hatinya muncul rasa aneh — seperti rindu pada sesuatu yang belum pernah ia temui.

Mungkin takdir sedang menunggu saatnya untuk mempertemukan kembali dua dunia yang pernah dihapus.

Dan di bawah langit lereng Gunung Slamet yang perlahan terang, cahaya kecil bernama Lanang Damar Panuluh mulai menyala — membawa janji masa depan yang akan mengguncang seluruh nama besar keluarga Dirgantara.

1
Retno indriyawati
trus nanti bakalan ktemu dimana.. apa si arif bakalan nusulin dan mncari informasi
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ biat selalu semangat dalam berkarya💪💪💪
Retno indriyawati
wahh mantapp nih. . sudah aroma2 wangiiiii
Retno indriyawati
😍😍😍😍😍
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ untuk tetqp semangat 💪💪💪💪💪
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
tetap semangat dalam berkarya
Retno indriyawati
wah. kapan nih bisa ktemuunya. 😍😍😍
Retno indriyawati
wah seru bgt. lanjut thor
Retno indriyawati
aku suka2
Retno indriyawati
makin sukses thor ..
Retno indriyawati
tambah seru aja nih
Rendy Budiyanto
semangat min
menarik
Rendy Budiyanto
💪💪💪
Junot Slengean Scd: terimakasih
total 1 replies
Retno indriyawati
lanjut
Junot Slengean Scd: siap👍
total 1 replies
Retno indriyawati
keren si ini
Retno indriyawati
🤣🤣🤣🤣
Junot Slengean Scd: dukung terus
total 1 replies
Kevin Leonardus
up lagi thor ga sabar💪💪
Junot Slengean Scd: wkwkwkwkkwkw💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!