Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 — Bayangan yang Menjadi Guru
Malam di Gunung Jingluo jatuh seperti selimut gelap yang menutupi puncak-puncak batu, sementara angin dingin membawa aroma tanah basah. Shen Wuyan duduk bersila di ruang meditasi tersembunyi, di antara dua batu besar yang membentuk semacam altar alamiah. Kabut tipis menari di sekelilingnya, cahaya bulan yang menembus celah pepohonan memantul pada permukaan batu dingin, membentuk bayangan samar. Bayangan itu, yang selalu ada di sisinya, kini lebih jelas, tegak di ujung ruangan seperti sosok mentor yang menunggu.
Wuyan menarik napas panjang, merasakan energi jiwa yang berputar di dalam dirinya. Hun dan Po, dua aspek jiwanya, berdenyut dengan ritme yang berbeda—Hun tenang namun waspada, Po liar namun cerdas. Ia tahu bahwa untuk menguasai fragmentasi yang muncul setelah kematian Liang Yu, ia harus belajar memisahkan keduanya dengan hati-hati. Tapi bayangan yang menemaninya kini bukan lagi sekadar pengamat; ia mulai berbicara.
“Kau takut,” suara itu lembut, tetapi mengandung kekuatan yang tidak bisa diabaikan. “Dan itu wajar. Kau akan menghadapi dirimu sendiri. Kau akan melihat apa yang belum pernah kau lihat, dan menyerap apa yang belum pernah kau sentuh.”
Wuyan menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa mengendalikannya,” bisiknya, hampir kepada dirinya sendiri. Energi jiwa di dalam dirinya terasa panas, seperti arus listrik yang bergerak cepat dari jantung menuju ujung jari. Po-nya menjerit untuk bebas, sementara Hun menahan, menegaskan batas kesadaran.
Bayangan mendekat, cahaya samar memantul dari sisi tubuhnya, dan senyum tipis muncul di wajahnya. “Tak apa. Aku akan membimbingmu. Tapi ingat—fragmentasi bukan permainan. Setiap fragmen yang kau serap membawa konsekuensi. Setiap wajah yang kau masuki, mengubahmu, dan kau tidak akan pernah kembali seperti dulu.”
Wuyan mengangguk perlahan, ketakutan dan penasaran bercampur. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, merasakan ritme energi yang berputar di dalam. Hun dan Po berinteraksi dengan cara yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia membayangkan Po sebagai arus liar yang bisa menjangkau fragmentasi, sementara Hun adalah jangkar yang menjaga dirinya tetap utuh.
“Langkah pertama,” bisik bayangan di sisinya, “adalah menyadari batasmu. Jangan mencoba menyerap seluruh wajah sekaligus. Rasakan satu fragmen, biarkan Hun menahannya, dan biarkan Po mengeksplorasi—dengan aman.”
Wuyan mengangguk, perlahan membuka kesadarannya terhadap Po. Ia merasakan tarikan lembut dari sisi gelap jiwanya, suara bisikan fragmentasi yang ingin terhubung dengannya. Perlahan, ia mencoba mengarahkan arus itu, membiarkan satu fragmen kecil bergabung. Sensasinya aneh: hangat, menegangkan, seperti menatap wajah yang familiar namun asing. Energi itu berputar di dalam dirinya, berbaur dengan kesadarannya sendiri, dan untuk sesaat, ia merasa seluruh identitasnya tercerabut dan menempel pada fragmen itu.
Bayangan mencondongkan tubuh, matanya menatap intens. “Rasakan. Jangan takut. Tapi jangan lupa—sekali kau menyerap, kau harus menerima. Setiap fragmen yang kau serap menjadi bagian darimu. Kau bisa belajar, kau bisa menguasai, tetapi kau juga harus siap kehilangan sebagian diri lama.”
Wuyan menggigit bibirnya, napasnya memburu. Ia merasa Po-nya ingin meledak, namun Hun menahannya, membentuk penghalang halus antara fragmentasi dan kesadaran diri. Ia menyadari bahwa ini bukan sekadar latihan; ini adalah pertemuan dengan sisi gelap jiwanya sendiri, sebuah ujian untuk menentukan apakah ia mampu bertahan atau terseret oleh fragmentasi.
Beberapa saat kemudian, Wuyan mulai merasakan fragmen itu menempel lebih erat, seolah mencari rumah dalam jiwanya. Energi itu berputar dan membentuk pola yang aneh di dalamnya: cahaya redup, seperti kilau logam perak yang berpendar di bawah kulitnya. Po bergetar, menuntut kebebasan, tetapi Hun memegang kendali, menjaga agar identitas Wuyan tetap stabil.
“Bagus,” suara bayangan terdengar, lembut namun menekankan kekuatan kata. “Sekarang kau merasakan bagaimana jiwa retak bekerja. Kau bisa memisahkan Hun dan Po dengan aman, tetapi ingat—jika kau terlalu serakah, fragmentasi bisa menelanmu.”
Wuyan menelan ludah, mencoba memahami ritme energi yang berubah-ubah di dalam dirinya. Ia menutup mata, membiarkan bayangan memandu langkah-langkahnya. Fragmen kecil lain muncul, bayangan yang samar, dan Wuyan mencoba menyerapnya perlahan. Sensasi itu seperti merasakan kehidupan lain masuk ke dalam jiwanya, hangat namun penuh ketegangan. Ia bisa merasakan kekuatan yang baru, tetapi juga bahaya yang mengintai.
Bayangan menatapnya, senyum misterius tetap menempel di wajahnya. “Lihat ini sebagai jalan. Kau belajar mengendalikan energi yang lebih besar daripada dirimu sendiri. Kau belajar menerima ketidakpastian, dan kau belajar bahwa tidak ada yang bisa kembali seperti semula. Sekali kau menyerap wajah lain, jalanmu tidak akan sama lagi.”
Kata-kata itu menggema di dalam kesadaran Wuyan, membentuk bayangan konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Ia menutup mata, merasakan panas dan dingin, kekuatan dan kelemahan, dan fragmentasi yang bersatu dengan kesadarannya sendiri. Hun menahan, Po menuntut, dan di antara keduanya, Wuyan menemukan ritme baru—sebuah keseimbangan yang rapuh namun nyata.
Ia membuka mata perlahan, dan di depannya, bayangan tersenyum samar, seolah bangga sekaligus waspada. “Kau akan menghadapi jalan panjang, Wuyan. Jalan di mana setiap fragmen menjadi guru, dan setiap guru bisa menjadi musuh. Tetapi kau tidak sendiri. Aku akan selalu di sisimu, membimbing, menuntun, dan mengingatkan.”
Wuyan menunduk, merasakan ketegangan internal yang luar biasa. Ia menyadari bahwa kepercayaan terhadap bayangan adalah kunci, tetapi risiko selalu ada. Ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya, dan untuk pertama kalinya merasakan kemurnian fragmentasi: kekuatan yang bisa digunakan, tetapi juga tanggung jawab yang berat.
Bayangan mencondongkan kepala, tatapannya lembut namun menegaskan kewaspadaan. “Ingat, Wuyan. Kau sekarang mulai belajar jalan jiwa retak. Ini bukan sekadar latihan, ini adalah transformasi. Setiap fragmen yang kau serap, setiap wajah yang kau hadapi, akan membentukmu. Sekali kau melangkah terlalu jauh, kau tidak bisa kembali. Jalanmu tidak akan sama lagi.”
Wuyan menelan napas, menyadari bahwa dirinya kini berdiri di ambang dunia baru: dunia di mana Hun dan Po bisa dikendalikan dengan keterampilan, tetapi juga bisa menghancurkan jika salah langkah. Ia menatap bayangan di sisinya, mentor yang ambigu namun terpercaya, dan merasakan chemistry yang semakin kuat: bukan hanya pengamat, tetapi pemandu, pengajar, dan saksi dari pertumbuhan jiwanya.
Malam itu, Gunung Jingluo sunyi. Angin lembut membawa aroma hujan yang semalam masih mengguyur. Cahaya bulan menembus kabut, memantul di batu-batu meditasi, membentuk pola bayangan yang memantul di dinding gua. Wuyan duduk bersila, memusatkan energi jiwa, dan bayangan di sisinya tetap menatapnya. Tidak ada kata lagi, hanya keheningan yang penuh arti, simbol dari pembelajaran dan konsekuensi yang baru saja ia rasakan.
Di dalam kesadaran Wuyan, gema kata-kata bayangan berputar:
“Sekali kau menyerap wajah lain, jalanmu tidak akan sama lagi.”
Dengan kalimat itu, malam berakhir, tetapi perjalanan Wuyan baru saja dimulai. Ia kini memahami risiko, kekuatan, dan tanggung jawab dari fragmentasi jiwanya, serta mengetahui bahwa mentor yang misterius ini akan selalu menemaninya di sepanjang jalan yang gelap dan penuh teka-teki.