NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Kaki petugas itu menggantung di udara, menendang dengan sia-sia. Tangannya mencakar-cakar cengkeraman besi di lehernya ketika James menahannya di batang pohon.

Petugas kedua, dengan mata terbelalak, berteriak melalui radionya, "Petugas tumbang, aku ulangi—" tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, James menoleh ke arahnya. Dengan satu tangan bebas, dia merebut pistol dari genggaman pria itu, memutarnya dengan mudah, lalu membongkarnya menjadi dua.

Kepingan-kepingan itu jatuh ke tanah.

Petugas kedua itu pucat, tersentak mundur, lalu lari.

Sebuah geraman dalam dan primitif meledak dari dada James. Jemarinya mencengkram lebih kuat di leher petugas itu.

"Berani-beraninya... kau... menyentuhnya!" Suaranya menggema bagai guntur di tengah keheningan—membekukan napas semua yang hadir.

Sophie berdiri terpaku.

Dia tak bisa melihat wajahnya—hanya punggung pria itu, lebar dan kokoh, diselimuti kilatan biru dan merah dari lampu polisi. Tapi ada sesuatu tentang dirinya... sesuatu dalam caranya berdiri, melindunginya, membuat jantung Sophie melambat. Beberapa detik lalu, dia ketakutan. Sekarang... dia tak mengerti mengapa, tapi dia merasa aman.

Namun, rasa aman itu datang bersama kekacauan.

Pria di depannya adalah wujud kemarahan yang terpusat—diam tapi mematikan, bagai pedang dalam sarangnya. Tangannya memegang petugas itu seperti tidak berbobot.

Siapa dia?

Bukan wajah yang dia kenal. Bukan nama yang pernah dia dengar.

Namun sesuatu di dadanya bergetar—bukan karena takut, melainkan karena sedih. Rasa kehilangan yang tak punya alasan.

Dia mengangkat tangan yang gemetar, tak tahu apakah ingin menghentikan atau justru menjangkau pria itu. Tapi kata-kata—apa pun yang ingin dia ucapkan—tak sempat keluar.

Clara datang tepat saat ketegangan itu memuncak.

"Tidak! Berhenti—kumohon!" teriaknya, berlari dan memegang lengan James dengan kedua tangannya.

Tapi James tidak bergerak. Cengkeramannya justru semakin erat, buku-buku jarinya memutih.

Matanya—yang dulu lembut—kini menjadi bara. Rahangnya terkunci. Napasnya pendek dan kasar.

Ini bukan hanya tentang petugas itu.

Dia sedang mencekik masa lalunya. Malam-malam saat dia diam. Jeritan yang tak pernah dijawab.

"Mereka tidak berhak menyentuhnya." Suaranya bergetar, tapi penuh keyakinan. "Mereka tidak berhak menyakitinya!"

Clara bisa melihatnya—dia sedang tenggelam. Terseret dalam amarah yang begitu dalam.

Dia menggenggam lengan James lebih erat. "Kumohon... hentikan."

Tapi James tak mendengarnya.

Lalu, sebuah suara—kecil dan lembut—memecah ketegangan.

"Mama..." Itu suara Chloe.

Lalu lagi, "Mama..." kali ini bergetar. Itu Felix.

Kedua anak kembar itu berdiri di belakang Clara, mata mereka lebar dan tubuh gemetar. Tangan mungil mereka menggenggam rok Sophie. Terlalu muda untuk mengerti semuanya.

James membeku.

Cengkeramannya mengendur.

Petugas itu jatuh dari tangannya, terengah, batuk, terkulai di tanah dengan kedua tangan memegangi lehernya—wajahnya merah, terengah, hampir tak sadarkan diri.

James mundur perlahan, tangannya gemetar sekarang—bukan karena marah, tapi bersalah.

Sirene meraung di kejauhan, semakin dekat.

Lalu, suara rem mendadak. Sebuah mobil polisi berhenti.

Pintu terbuka. Senjata dikokang. Tiga petugas mengangkat senjata mereka, dan satu melangkah maju—Kapten Ruild.

Dia memindai pemandangan dalam sekejap—salah satu bawahannya tergeletak di tanah, yang lain gemetar disudut, pistolnya sudah rusak di dekatnya. Kerumunan mulai terbentuk. Bisikan. Teriakan.

"Turunkan senjata." Suara kapten memotong ketegangan. Para petugas lain ragu sejenak—lalu perlahan menurunkan senjata mereka.

Dia menoleh ke petugas kedua yang gemetar. "Jelaskan. Sekarang."

"Dia... dia menyerang kami, Kapten! Dia muncul entah dari mana—"

"Itu tidak benar!" Clara menyela. "Mereka memperlakukan seorang wanita tak bersalah seperti penjahat! Dia hanya menghentikan mereka."

Kerumunan bergemuruh. Seorang pria tua berteriak, "Dia hanya berjalan dengan anak-anaknya!"

Seorang wanita menambahkan, "Polisi-polisi ini sering begitu di daerah ini. Penindas berseragam!"

Suara-suara semakin keras. Arus mulai berbalik.

Kapten Ruild menyipitkan mata pada kedua bawahannya—tatapan berisi jijik, kecewa, dan marah dalam satu pandangan.

"Berikan dia pertolongan medis," perintahnya pada petugas yang terjatuh. Lalu kepada yang kedua, "Kau dan aku akan berbicara nanti."

Dia berbalik ke arah James, yang kini berdiri diam, napas berat, kepala menunduk.

"Anak muda," kata kapten, melangkah mendekat, "Aku mengerti situasinya. Tapi kenapa kau harus melakukan sejauh itu?"

James perlahan menatap. "Karena saat mereka yang seharusnya menegakkan hukum... justru melanggarnya..." Dia berhenti sejenak, suaranya dingin tapi jelas. "...seseorang harus membangun tembok. Meski itu berarti dia harus menjadi tembok itu sendiri."

Petugas kedua, masih menahan sakit, tersenyum sinis. "Tapi kau tak punya hak menyentuh petugas yang sedang bertugas," katanya dengan angkuh. "Aku menahanmu. Letakkan tanganmu di belakang."

Dia melangkah maju.

Sophie segera berdiri di antara mereka. "Tolong, Kapten... jangan."

Clara ikut maju, berdiri di sampingnya. "Kau tidak bisa menahannya!"

Namun James mengangkat tangannya—tenang, tegas. Tatapannya tetap pada sang kapten.

"Kapten," katanya pelan, "kalau warga sipil menyentuh otoritas, itu kejahatan."

Sebuah jeda tegang.

"Tapi bagaimana jika otoritas... mengajari otoritas bagaimana seharusnya berperilaku?"

Kapten Ruild menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"

James perlahan merogoh ke dalam mantelnya.

Tak ada yang bergerak.

Lalu, dia mengeluarkan sebuah dompet hitam tipis, membukanya untuk memperlihatkan kartu identitas militer berwarna merah—dengan lambang Angkatan Province.

Udara seketika membeku.

Kapten Ruild melangkah mendekat, matanya terpaku pada kartu itu.

Merah.

Hanya satu jenis orang yang memilikinya.

Matanya membesar.

Tidak mungkin. Tapi... ya.

Dia menatap pria muda itu dengan sungguh-sungguh.

Tubuh ramping. Diam. Tak terguncang, Dan masih sangat muda.

Ketenangan di tengah badai.

Bertahun-tahun lalu, di Akademi—ketika para instruktur berbicara pelan tentang hantu perang. Seorang tentara bayaran muda, begitu terampil dan mematikan, mereka menyebutnya Reaper. Pria yang tak pernah menunjukkan wajahnya. Pria yang mengakhiri perang bahkan sebelum dimulai. Pria yang menghilang setiap selesai misi, seperti asap di angin.

Dia hanyalah legenda.

Sampai baru-baru ini.

Sam pernah membaca memo internal.

Reaper—pensiun. Diberi pangkat kehormatan: Jenderal. Kartu merah dikeluarkan atas perintah Presiden.

Dan kini... berdiri di depannya... bukan seorang penjahat.

Tapi dia.

Tenggorokan Kapten Ruild terasa kering. Jantungnya berdetak keras.

Dia pernah berlatih di bawah pasukan yang sama. Dia pernah membaca laporan taktis Reaper—dokumen langka yang tersimpan di arsip rahasia. Dia pernah mendengar kisah bagaimana Reaper menumpas kamp panglima perang sendirian. Bagaimana kehadirannya sendiri pernah mengubah arah perang sipil.

Dan sekarang...

Dia berdiri di sini.

"Aku... aku tidak tahu," bisik Ruild, suaranya serak.

Dia mundur setapak.

Petugas kedua, melihat perubahan itu, menatap bingung. "S-siapa dia?"

Tapi tak ada yang menjawab.

Karena namanya tak perlu diucapkan.

Kapten Ruild menarik napas tajam—berusaha menenangkan diri. Menyeimbangkan tugas... dengan kenyataan bahwa dia hampir saja mengarahkan senjata pada legenda hidup.

Ini bukan tersangka.

Ini adalah pria dengan otoritas lebih besar dari separuh jenderal di negeri ini.

Dia baru saja mencoba menangkap tembok itu sendiri.

Tangan Kapten Ruild sedikit bergetar saat dia melangkah maju, menatap kartu identitas merah yang dipegang pria muda di depannya. Kartu itu—bukan sekadar identitas. Itu simbol kekuasaan yang melampaui yurisdiksi lokal, tanda langka yang hanya dikeluarkan oleh Kompleks Kepresidenan. Dan pria yang memegangnya bukan sembarang orang.

Kisah-kisah itu kembali membanjiri pikirannya—file rahasia, legenda yang dibisikkan di pangkalan militer, misi-misi yang tak pernah tercatat namun mengubah arah perang. Ruild mengingat semuanya. Dia pernah berlatih di bawah komandan yang menyebut Reaper bukan sebagai manusia, tapi sebagai kekuatan—tak terbendung, tak tersentuh, tak terjamah. Dan kini, legenda itu berdiri di hadapannya.

Dada Sam mengencang. Lalu, tanpa ragu, dia mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat tajam.

Kemudian, membuat semua orang terkejut—dia berlutut.

Suara desahan terkejut bergema, keheranan menyebar di antara mereka. Para petugas menatap, terpaku. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bicara.

Namun ketika seorang seperti Sam—kapten polisi yang dihormati—berlutut tanpa perintah, tak ada lagi keraguan di udara. Satu per satu, yang lain mengikuti. Dengan wajah bingung, mereka menurunkan senjata dan ikut berlutut, tak tahu seluruh kebenarannya tapi yakin akan satu hal: pria di depan mereka bukan seseorang yang bisa dilawan. Bahkan petugas kedua—yang tadi penuh kesombongan—kini gemetar. Harga dirinya runtuh. Rahangnya mengeras, bibirnya pucat, dan akhirnya dia pun berlutut.

Kapten Ruild menundukkan kepala. Suaranya, ketika akhirnya keluar. "Aku minta maaf... Jenderal. Aku tidak tahu siapa yang kami hadapi. Anak buahku gagal hari ini. Kami kehilangan rasa tanggung jawab. Keadilan. Dan dengan begitu... kami menodai seragam yang kami sumpah untuk di jaga."

Bisikan menyapu kerumunan.

Dan di belakang mereka, dua wanita berdiri terpaku.

Clara mencoba memahami apa yang terjadi. Baginya, James hanyalah pria tenang yang menyimpan beban. Dan kini, melihat kapten polisi berlutut, bulu kuduknya berdiri. Ini bukan pria biasa. Dia adalah sesuatu yang jauh lebih besar.

Sophie berdiri membeku, Napasnya tertahan di antara keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Dia baru saja melihat Kapten Polisi—pria berwibawa dan berkuasa—berlutut. Suaranya bergetar. Dan beberapa detik kemudian, para bawahannya, satu per satu, melakukan hal yang sama. Bahkan pria yang tadi menahannya dengan kasar kini ikut berlutut dalam diam.

Dan mereka semua berlutut... kepadanya.

Pria yang melangkah maju tanpa ragu. Yang berbicara sedikit, bertindak lebih sedikit—namun entah bagaimana, melakukan segalanya. Dia tak pernah mengancam. Tak pernah meninggikan suara. Tak menyentuh senjata pun.

Namun begitu dia menunjukkan kartu merah itu—apa pun itu—semua berubah.

Sophie menggenggam anak kembarnya lebih erat, detak jantungnya berdentum di telinganya.

Bukan ketakutan yang ia rasakan.

Sesuatu yang lain. Sesuatu yang aneh.

Karena semua ini tak masuk akal.

Pria itu... dia bukan orang biasa. Bukan hanya seorang yang peduli. Ada kewibawaan diam dalam dirinya, sesuatu yang tak tergoyahkan, sesuatu yang tak bisa kau pertanyakan meski kau tak mengerti.

Namun dibalik baja dan diam itu—ada sesuatu yang lain.

Cara dia menatap Sophie. Melindungi. Bukan seperti orang asing... tapi seperti seseorang yang memiliki alasan. Cara matanya menatap anak kembar itu—dengan sesuatu yang hampir tampak seperti... rasa sakit.

Itu mengguncangnya.

Karena meski dia tidak tahu siapa pria itu—

Sesuatu di dalam hatinya berbisik... mungkin dia seharusnya tahu.

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!