Mengetahui suaminya telah menikah lagi dan mempunyai seorang anak dari perempuan lain, adalah sebuah kehancuran bagi Yumna yang sedang hamil. Namun, seolah takdir terus mengujinya, anak dalam kandungannya pun ikut pergi meninggalkannya.
Yumna hampir gila, hampir tidak punya lagi semangat hidup dan hampir mengakhiri hidupnya yang seolah tidak ada artinya.
Namun, Yumna sadar dia harus bangkit dan hidup tetap harus berjalan. Dia harus menunjukan jika dia bisa hidup lebih baik pada orang-orang yang menyakitinya. Hingga Yumna bertemu dengan pria bernama Davin yang menjadi atasannya, pria dengan sebutan sang cassanova. Yumna harus bersabar menghadapi bos yang seperti itu.
Davin, hanya seorang pria yang terlanjur nyaman dengan dunia malam. Dunia yang membuatnya tidak terikat, hanya menikmati semalam dan bayar, lalu pergi tanpa keterikatan. Namun, setelah hadir Sekretaris baru yang cukup ketat karena perintah ayahnya, dia mulai memandang dunia dengan cara berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marah
Seperti masih memikirkan tentang Davin dan Farah, belum lagi ucapan Shafa membuat Yumna cukup bingung. Jika memang Farah adalah tunangan Davin, kenapa Shafa tidak mengetahuinya sebagai seorang adik. Apa yang sebenarnya terjadi?
Yumna baru keluar dari lift saat Farah ternyata berada di depan lift ini. Yumna tertegun melihat wajah Farah yang memerah dan air mata yang mengalir di pipinya. Dia benar-benar menangis.
"Anda kenapa?"
Farah menatap Yumna dengan sinis, tatapan yang penuh amarah. "Jadi kamu yang membuat Davin membenciku dan tidak mau lagi denganku"
Yumna tertegun, apalagi saat Farah memegang tangannya dengan kasar. Yumna menatapnya bingung dan terkejut juga atas ucapan Farah tadi.
"Maaf, maksudnya apa?"
"Kamu merebut Davin dariku, dan aku tidak akan pernah membiarkan siapapun memilikinya selain aku!"
Farah menghempaskan tangan Yumna sambil tubuh Yumna hampir limbung. Dia berpegangan pada dinding dan menatap Farah yang masuk ke dalam lift dengan bingung.
Yumna melihat pergelangan tangannya yang memerah, dia meniupnya pelan karena cukup terasa sakit. "Aneh banget deh, memangnya apa yang aku lakukan sampai Pak Davin tidak mau lagi dengannya. Lagian aku tidak pernah ikut campur urusan pribadinya, kecuali hal dia yang suka dengan dunia malam saja. Itu pun karena perintah dari Pak Reno"
Yumna melanjutkan langkahnya menuju Apartemen, meski masih kebingungan dengan sikap Farah yang tiba-tiba marah begitu saja padanya tanpa Yumna tahu dimana letak kesalahannya.
Sudah lelah dengan seharian ini, belum lagi pikiran yang menggangunya. Yumna juga harus menghadapi Farah yang tiba-tiba marah tanpa alasan padanya. Hari ini benar-benar banyak menguras tenaga bagi Yumna dan membuatnya lelah.
Selesai mandi, Yumna hanya duduk diam di sofa, membuka ponselnya dan membuka pesan dari Irena yang mengatakan dia sudah sampai rumah. Irena juga mengatakan jika Ibunya merindukan Yumna dan ingin dia datang berkunjung.
Aku akan datang minggu depan ya, aku juga merindukan Ibu dan Ayah.
Kehilangan orang tua, memang hal yang paling menyakitkan bagi Yumna yang hanya seorang diri dan tidak punya saudara. Namun, sosok orang tua Irena yang selalu ada untuknya dan sudah seperti orang tua pengganti untuk Yumna.
Suara bel menyadarkan Yumna yang sedang tenggelam dengan beberapa ingatan kenangan bersama orang tuanya. Dengan malas dia berjalan gontai menuju pintu, dan membukanya. .
"Pak Davin, ada apa?"
"Kenapa tidak bilang jika kau sudah pulang? Pergi kemana saja tadi?" ucap Davin yang menerobos masuk begitu saja, sebelum pemilik rumah mempersilahkan.
"Hanya jalan-jalan biasa, kenapa memangnya Pak?" Yumna menutup pintu dan mengikuti Davin ke ruang tengah. "Oh ya, ada sesuatu untuk anda. Tunggu sebentar"
Yumna pergi ke kamarnya untuk mengambil jam tangan yang dititipkan oleh Shafa padanya. Kembali ke ruang tengah, Yumna duduk di sofa panjang disana. Memberikan kotak jam tangan itu pada Davin yang duduk di sofa tunggal.
Davin langsung menerimanya, ada senyuman kecil di wajahnya ketika membuka kotak itu dan melihat jam tangan warna hitam.
"Terima kasih, sengaja kamu membelikan ini untukku?"
Yumna langsung menggeleng dengan wajah polosnya. "Saya hanya dititipkan oleh Shafa untuk memberikan ini pada Pak Davin. Katanya dia merasa sangat pas melihat jam tangan ini jika dipakai oleh Pak Davin"
Jam tangan yang sudah di keluarkan dari kotak itu, langsung Davin simpan kembali dan menyimpan kotak itu di atas meja. "Tidak perlu repot-repot katakan padanya, aku juga bisa beli sendiri jika ingin jam tangan seperti ini"
Yumna menatap Davin dengan kebingungan. Sudah dua kali dia melihat Davin menolak pemberian dari adiknya sendiri, dan ekspresi wajahnya selalu sama. Terlihat dingin dan tidak bersahabat.
"Kenapa Pak Davin menolaknya? Adik anda sudah begitu tulus memberikan itu. Lagian Shafa 'kan adiknya Pak Davin"
"Aku tidak pernah berharap punya adik" tegas Davin. "Lain kali kalau dia menitipkan lagi barang atau apapun untukku, jangan lagi kau terima. Karena aku hanya akan membuangnya"
"Pak Davin ini kenapa sih? Harusnya bersyukur punya saudara yang begitu peduli dan tulus pada anda. Tapi malah bersikap seperti ini, banyak orang yang sebatang kara dan ingin mempunyai saudara. Tapi anda malah menyia-nyiakan saudara sendiri"
Davin menatap Shafa dengan dingin, membuat Shafa mulai menciut juga karena barusan berani berbicara dengan nada tinggi pada atasannya ini.
"Kalau kau mau punya saudara, ambil saja sana. Kau 'kan sebatang kara"
Deg... Ucapan itu benar-benar menusuk tepat ke relung hatinya. Terasa perih dan sakit bagi Yumna. Meski sadar jika itu adalah kenyataan, tapi ketika di ucapkan oleh Davin, kenapa terasa begitu menyakitkan.
"Ya, saya memang sebatang kara, tapi setidaknya saya bisa menghargai pemberian orang yang peduli dan tulus pada saya. Tidak seperti anda, yang menyia-nyiakan ketulusan saudara sendiri!"
Brak.. Davin menggebrak meja dengan keras, membuat Yumna terlonjak kaget. Yumna beringsut takut melihat tatapan nyalang penuh amarah dari Davin. Dia sudah memancing amarah singa jantan ini.
"Kau tahu apa tentangku? Masalahku, kehidupanku? Hah? Tahu apa? Kau sama dengan kebanyakan orang, hanya menilaiku dari apa yang kau lihat dan dengar, tanpa tahu bagaimana aku sebenarnya!"
Davin berlalu pergi, sempat melempar kotak jam tangan itu ke tempat sampah sebelum dia pergi. Yumna terdiam dengan tangan bergetar, melihat kemarahannya benar-benar membuat dia takut. Tatapan mata yang nyalang dengan bola mata memerah, rahang yang mengeras dengan urat-urat yang terlihat menonjol. Menunjukan kemarahan besar seorang Davin.
"Aduh Yumna, kamu sudah terlalu jauh berani padanya. Lihat 'kan sekarang dia begitu marah, sampai seperti ingin memakanmu"
Yumna berjalan ke arah tempat sampah, mengambil kembali kotak jam tangan yang dibuang Davin. Kembali duduk dan mengambil ponselnya.
"Hallo Shafa, bisa datang kesini sekarang? Aku ingin bertanya banyak hal padamu tentang Kakakmu itu. Karena aku sudah bingung menghadapinya"
"Aku kesana malam ini"
*
Di balkon Apartemennya, Davin duduk di lantai dengan beberapa botol minuman yang sudah kosong dan ada yang masih baru juga. Rambutnya acak-acakan, wajahnya juga kusut.
"Kenapa dia juga harus menyudutkanku? Sial, semua orang hanya memandangku salah"
Ponsel yang berdering membuat dia menoleh, tanpa melihat jelas siapa yang menelepon, tapi dia menerima panggilan itu. Menyalakan loudspeaker dan membiarkan ponsel tetap berada di lantai, disampingnya.
"Hallo Dav, dimana kau?"
"Apartemen, ada apa menghubungiku Byan? Aku sedang kacau"
"Tunggulah, aku kesana sekarang"
"Terserah kau"
Davin terus menenggak sisa minuman di dalam botolnya. Meski sudah sangat mabuk, tapi dia tidak peduli. Hanya ingin melampiaskan dan melupakan sejenak saja semua masalah dan beban dalam hidupnya.
"Jika aku mati sekalipun, sepertinya orang-orang tidak akan peduli, dan yang mereka ingat hanya salahku"
Bersambung